Fenomena diet bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita. Survei yang dilakukan oleh University of Minnesota yang melibatkan 2000 responden menunjukkan bahwa 72% perempuan melakukan diet. Meskipun begitu, masih terdapat kesalahan yang terjadi dalam melakukan diet. Hal ini ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh Universitas Negeri Semarang yang menunjukkan 65% pelaku diet memiliki perilaku diet yang menyimpang. Sejalan dengan hal ini, belakangan lalu, media ramai mengungkap sebuah fakta terkait diet yang dipopulerkan oleh seorang publik figur. Perhatian ini bukan hanya dicurahkan oleh pengguna sosial media, melainkan juga ahli-ahli terkait.
Di dalam bukunya yang berisi tips dan perjalanan meraih berat badan ideal, publik figur tersebut mengungkapkan bahwa sayur dapat menghambat penurunan berat badan. Hal ini menyebabkan absennya sayur dalam menu diet tersebut. Dia mengatakan bahwa kandungan serat dianggap mengganggu bakteri baik, mengganggu penyerapan nutrisi penting dari lambung dan usus, serta menyebabkan perut kembung, seperti dikutip dari laman Twitter @gizipedia_id. Hal ini sangat mengejutkan karena membuat para pengikut diet kontroversial ini tidak buang air besar selama berminggu-minggu.
Pernyataan tambahan diungkap dari laman yang sama, yakni @gizipedia_id. Dalam utasnya, akun Twitter tersebut menyebutkan bahwa dalam diet ini kalori maksimal yang dikonsumsi untuk menjalani proses diet adalah 500 kalori per hari. Konsumsi kalori ini sangat jauh dari standar normal di Indonesia, sesuai yang direkomendasikan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dari peraturan Kementerian Kesehatan Indonesia, yaitu sebanyak 2100 kalori per hari. Menilik dari standar tersebut, tentu yang ditetapkan dalam diet yang dipopulerkan publik figur tersebut sangatlah jauh dari kata normal. Hal ini kemungkinan berujung pada munculnya berbagai penyakit, seperti kekurangan nutrisi, maag akut, eating disorders, hingga penyakit kronis seperti jantung koroner, melihat dari tidak tercukupinya gizi harian setiap hari.
Hal serupa disampaikan oleh Dosen Gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Nurul Dina Rahmawati, yang mengatakan bahwa diet ini lebih ekstrem dibandingkan very low calorie diet yang mematok konsumsi maksimal sebesar 800 kalori per hari. “Menurut saya ini bisa dibilang sebagai jenis diet yang ekstrem, ya. Dan saya khawatirnya tidak sustain atau saya sebutnya tidak istikamah,” ujar Dosen Gizi yang kerap disapa Dina itu. Menurutnya tujuan dari diet bukan hanya untuk mencapai berat badan yang diinginkan, tetapi juga untuk menjaga berat badan dan memenuhi nutrisi yang diperlukan tubuh.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Kesehatan, penurunan berat badan yang ideal hanya sekitar 2 kg setiap bulannya. Jika penurunan berat badan terlalu drastis dalam jangka waktu yang singkat, maka kemungkinan untuk kembali ke berat badan semula akan lebih tinggi. Karena umumnya, pada diet yang tergolong ekstrem, seseorang hanya kehilangan kadar air dalam tubuhnya. Setelah ia tidak melanjutkan lagi dietnya, atau sedang dalam fase “cheat day” maka kemungkinan tubuhnya akan kembali terisi oleh air sehingga berat badannya akan semakin bertambah. Penurunan berat badan yang terlalu drastis juga dapat mengakibatkan lemak tubuh terbakar secara berlebihan. Pembakaran tersebut kemudian akan membuat kadar asam dalam tubuh meningkat drastis. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh.
Dina menyebutkan bahwa apa yang dimaksud dengan diet adalah pengaturan pola makan. Dalam hal ini, diet tidak melulu disangkutpautkan dengan berat badan walaupun persepsi diet selalu diarahkan kepada penurunan berat badan.
“Kalau kita mau ngomongin soal berat badan untuk diet, cuma dua prinsipnya yaitu keseimbangan energi yang berdasarkan energi masuk dan energi keluar,” terang Dina. Dalam hal ini, jika tujuan dari diet yang dilakukan adalah untuk menurunkan berat badan, maka energi yang masuk harus lebih kecil daripada energi yang keluar.
Saat melakukan diet, kita harus memperhatikan konsumsi gizi seimbang. Terdapat empat pilar gizi seimbang yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan diet. Pertama adalah mengonsumsi berbagai jenis makanan yang meliputi ketersediaan karbohidrat, protein, serat, dan lainnya dalam porsi yang tidak berlebihan. Makan makanan yang beragam dirasa cukup penting, karena berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh tidak terdapat pada satu jenis makanan saja. Lalu yang kedua adalah berolahraga rutin. Hal ini sesuai dengan prinsip diet yang berdasarkan energi masuk dan energi keluar. Selanjutnya, monitor berat badan secara berkala. Hal ini penting dilakukan karena berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif terhadap status gizi tubuh. Kemudian, yang terakhir adalah dengan menjaga kebersihan serta kesehatan.
Keinginan untuk menurunkan berat badan dalam menunjang penampilan fisik kerap terjadi di usia remaja. Penelitian program studi Psikologi di Universitas Islam Indonesia pun menyampaikan, ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh mendorong remaja berusaha untuk terus memperbaiki penampilan fisiknya. Namun, keinginan untuk mengubah tubuh ini tidak bermasalah jika mereka mampu menjalankan serangkaian proses mencapai tubuh ideal itu dengan cara yang benar. Hal ini juga yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan mereka.
Seorang mahasiswa yang pernah menjalankan diet pun turut menyampaikan pemahamannya mengenai diet sehat, “Diet yang sehat itu diet yang gak membahayakan, ya. Waktu itu aku sempat diet gak sehat juga sampai jatuhnya eating disorder hampir setahunan,” ucap Josephine Abigail, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia ketika ditanyai mengenai diet sehat versinya. Karena gangguan makan yang menderanya, Abi—sapaan singkatnya—mulai mengubah pola diet yang ia lakukan dengan melakukan sedikit defisit kalori, mengurangi jumlah karbohidrat, memperbanyak mengkonsumsi buah dan sayur, serta rutin berolahraga.
Abi menganggap diet yang sehat justru mempercepat proses penurunan berat badan yang ia lakukan. Meskipun demikian, kebiasaan baik dari diet sehat tersebut tidak berhenti sampai tujuan berat badannya tercapai, tetapi juga berpengaruh pada gaya hidupnya. “Tentu (berpengaruh). Aku ‘kan udah berhenti diet sejak 2019 akhir karena BB (berat badan) udah cukup ideal. Tapi, sampai sekarang aku masih terapin apa yang aku dulu lakuin, contohnya makan sedikit nasi dan banyak sayur sampai sekarang, sama kayak dulu. Meskipun udah gak rajin olahraga kayak dulu,” ujarnya perihal gaya hidup yang ia jalani selepas proses diet yang dilakukannya tiga tahun silam.
Pola diet yang sesuai itulah yang menjadikan diet sebagai gaya hidup, bukan semata-mata untuk mencapai berat badan yang ideal yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Selaras seperti yang dilansir dari Kompas.com, perubahan pola pikir dan gaya hidup bukan untuk menurunkan bobot badan dalam waktu tertentu, sehingga tidak hanya mendapatkannya, tetapi bisa untuk mempertahankan berat badan tersebut.
Kemampuan mengetahui hal yang tepat dalam menjalankan proses diet itu perlu menjadi perhatian bagi siapa saja yang berniat melakukan diet. Hal itu dinilai Abi agar tidak memberikan dampak negatif bagi tubuh. Meskipun, secara fisik perubahan itu terlihat. Kebiasaan buruk yang dilakukan selama proses diet secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada gaya hidup yang terjadi setelahnya. Kemudian, jika berlangsung terus-menerus kondisi kesehatan bukan tidak mungkin menjadi kian buruk. Karena terlepas dari keinginan mencapai kesempurnaan yang diinginkan dalam tampilan fisik, kesehatan tetap menjadi poin yang paling utama.
Teks: Mayerina Rahayu, Siti Sahira Aulia
Foto: Istimewa
Editor: Giovanni Alvita
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!