Logo Suma

Dilema Ruang Aman Perempuan dalam Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Oktober 2025
3 menit

Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran menimbulkan banyak catatan dari kelompok masyarakat sipil, terutama dari organisasi perempuan. Dalam konferensi pers bertajuk “Setahun Prabowo-Gibran: Hidup Perempuan dalam Ketidakpastian dan Lingkaran Kekerasan di Tengah Menguatnya Militerisme” pada Senin (20/10), Perempuan Mahardhika menyoroti bagaimana berbagai kebijakan pemerintah belum berpihak pada keadilan dan kesetaraan gender.

Mandeknya RUU PPRT dan Nasib Perempuan Transgender

Konferensi pers ini dihadiri oleh para narasumber dari berbagai lembaga masyarakat, yang menyuarakan segala corak ketidakadilan terhadap ruang gerak perempuan di tengah demokrasi Indonesia. Salah satunya, yaitu Sri Rahmawati, kerap disapa Rahma, dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI). Ia menyayangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang berdasarkan penuturan Puan Maharani bahwa akan dikaji ulang. Padahal, sebelumnya Prabowo mengatakan bahwa RUU PPRT tersebut akan segera disahkan menjadi Undang-Undang.

Rahma menganggap bahwa Prabowo-Gibran tidak memandang perempuan sebagai pekerja yang harus dilindungi dan mengabaikan perjuangan kolektif terhadap pengesahan RUU PPRT.

Ia juga menyoroti maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berdampak pada perempuan sebagai pengelola kebutuhan rumah tangga. Selain itu, pekerja perempuan sering memperoleh kontrak kerja yang pendek, sehingga tidak dapat mengakses cuti haid dan cuti melahirkan. Rahma menegaskan pemerintah harusnya berani bersikap membela buruh, terutama buruh perempuan.

Selanjutnya, Echa Waode selaku perwakilan dari Arus Pelangi memaparkan bahwa dibungkamnya sejumlah aktivis maupun massa aksi menunjukkan betapa buruknya kinerja Prabowo-Gibran dalam mendengar aspirasi rakyat.

Tak hanya itu, ia juga menilai dalam satu tahun kepemimpinan Prabowo tidak ada perubahan signifikan yang dialami oleh kelompok rentan, seperti ragam gender dan identitas seksual. Parahnya, aturan dalam Peraturan Daerah (Perda) justru terkesan diskriminatif dan berpotensi memperkuat stigma negatif dalam masyarakat bagi kawan-kawan ragam gender dan identitas seksual.

Eksploitasi Tubuh Perempuan di Morowali dan IKN

Di sisi lain, Winarsih dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPIM) Morowali mengatakan dalam industri pertambangan nikel di masa Prabowo hanya melanjutkan program kerja dari masa presiden sebelumnya.

“Prabowo cuma meneruskan program kerja Jokowi dengan investasi luar negeri sebesar-besarnya,” ujarnya.

Ia menyoroti hasil dari investasi itu tidak menjadi solusi pasti, melainkan justru menambah masalah baru, terutama di daerahnya, Morowali. Menurutnya, investasi hanya memperkaya elit yang bekerjasama dengan industri ini.

Meskipun tercatat konsentrasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat, namun ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat.  Berdasarkan hasil survei nasional pada Maret 2025, angka kemiskinan Indonesia masih macet di angka 8,75%, yang berarti jauh dari kata sejahtera. Sebagai daerah penghasil nikel, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah lebih buruk lagi, berada di angka 10,92%. Kondisi ini kemudian diperparah dengan kenaikan segala bentuk perpajakan.

Perluasan industri nikel di Morowali dan wilayah lainnya sempat ditentang masyarakat karena merenggut lahan, sumber air warga, dan aliran irigasi, padahal perusahaan belum memberikan royalti.

Selain itu, menurut Winarsih, industri nikel justru memperbesar kesenjangan sosial yang membuat perempuan harus ikut bekerja. Sementara, perusahaan membatasi ruang gerak pekerja perempuan di bidang tertentu, khususnya dalam penanganan kasus pelecehan seksual.

“Kawasan industri nikel ini tidak memberikan solusi, justru menambah permasalahan kami [sebagai perempuan],” tuturnya.

Hal ini karena perusahaan justru melindungi pelaku. Perempuan sebagai korban pelecehan yang melaporkan malah ditangkap dan terancam dipecat. Hingga kini, FSPIM masih mengawal keadilan terhadap sejumlah perempuan korban pelecehan seksual.

Perempuan di Tengah MBG, Pinjol, dan Kemiskinan

Berangkat ke Kalimantan Timur, Disya dari Perempuan Mahardika Samarinda menggarisbawahi permasalahan yang tidak jauh berbeda. Proyek besar Ibu Kota Nusantara (IKN) menuntun maraknya prostitusi. Perempuan-perempuan ini didatangkan dari daerah sekitar IKN, menandakan penjualan perempuan.

“Meskipun baru satu tahun, tapi sudah memberikan penderitaan luar biasa bagi rakyat,” ucapnya.

Di samping itu, masih banyak permasalahan di Kalimantan Timur yang perlu segera ditindaklanjuti, seperti reklamasi bekas tambang. Ia menyampaikan bahwa di sana, air yang tergenang dalam lubang tambang seringkali menjadi sumber air warga. Padahal genangan air itu mengandung logam berat yang sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

“APBN pemerintah sudah segitu besarnya, tapi tidak mengalokasikan ke permasalahan yang sebenarnya terjadi, kebutuhan dari masyarakat sendiri. [Dan] malah menggelontorkan kampanye yang menambah  permasalahan rakyat, yaitu MBG [Makan Bergizi Gratis],” ungkap Disya.

Salah satu permasalahan yang juga dikeluhkan, yaitu terkait pemberantasan kemiskinan di tengah minimnya lapangan pekerjaan. Padahal saat masa kampanye, Prabowo-Gibran menjanjikan 19 juta lapangan pekerjaan. Namun, hingga satu tahun masa jabatannya, persoalan tersebut tak kunjung memperlihatkan hasil nyata.

Ketiadaan sumber penghasilan membuat banyak masyarakat, terutama perempuan, mencari jalan pintas untuk bertahan hidup. Kondisi ini sering kali mendorong mereka mengambil keputusan tanpa pertimbangan matang, termasuk meminjam uang melalui aplikasi pinjaman online (pinjol). Sepanjang tahun 2024 tercatat sekitar 20 ribu kasus pinjol, dengan 62 persen penggunanya merupakan perempuan dan anak muda.

“Negara melakukan ini, negara melakukan pemiskinan, memaksa perempuan perempuan ini untuk pinjol. Hanya untuk memenuhi, hanya untuk anak-anaknya bisa makan, hanya untuk anak-anaknya bisa mengganjal perutnya. Kan anak-anak ada MBG? hello, itu yang anak-anak sekolah. Bagaimana yang tidak sekolah, anak-anak yang belum sekolah? mereka dapat apa?” tanya Eka Ernawati, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

Teks: Vania Shaqila Noorjannah, Zulianikha Salsabila Putri

Editor: Dela Srilestari

Foto: Istimewa

Desain: Naila Shafa

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!