Keramaian yang diciptakan oleh berbagai kalangan di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) beberapa bulan terakhir ini berhasil menyedot atensi banyak pihak. Tidak terkecuali masyarakat sekitar yang kemudian beramai-ramai mengisi waktu luangnya di distrik bisnis elite tersebut.
Dinamika popularitas SCBD terkesan unik. Mulanya dikenal sebagai kasta tertinggi perkantoran hingga menjadi kerumunan masyarakat dari berbagai pinggiran Jakarta yang tertarik untuk menghabiskan waktu di sana.
Belakangan ini, wilayah yang tak jauh dari Stasiun KRL Sudirman dan Stasiun MRT Dukuh Atas beralih diisi oleh masyarakat dari berbagai macam kalangan, bukan lagi hanya karyawan kantor yang bekerja di bilangan Sudirman. Kepopuleran wilayah ini meningkat setelah publik menaruh atensi pada video wawancara dua remaja, Tegar dan Nadia, kemudian disusul oleh sepasang kekasih asal Citayam dan Bojong Gede, Kurma dan Bonge.
Video-video lucu tersebut beredar di media sosial membuat daerah tersebut menjadi lebih ramai dengan kedatangan anak-anak muda dari luar Jakarta. Sesaat setelah daerah tersebut ramai dikunjungi, anak-anak muda ini kemudian menggelar ajang mode jalanan dengan gaya dan dandanan nyentriknya di penyeberangan jalan.
Akibatnya, kini SCBD ramai dikunjungi masyarakat luas, terutama dari daerah tetangga Jakarta, seperti Depok dan Bogor. Singkatan SCBD pun beralih kepanjangannya menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.
Tak heran, fenomena ini berakhir menciptakan tren baru. Tren media sosial bernama Citayam Fashion Week (CFW) menjadi pemandangan baru di wilayah Jakarta. Tren ini merupakan sebuah ajang tempat masyarakat memamerkan setelan nyentriknya. Pengaruh besar tentunya berasal dari remaja-remaja sekitar yang biasa mengunjungi kawasan ini.
Pengaruh dari viralnya wawancara dua remaja itu pun menjadi beberapa latar belakang khalayak turut ikut meramaikan tren baru ini.
“Jujur aja sih pertamanya kan excited ya ngeliat dari sosial media itu ramai banget. Akhirnya, aku sama teman-temanku inisiatif untuk dateng lihat lokasinya sendiri,” ujar Sintia, seorang cosplayer asal Tangerang yang mendatangi Sudirman dalam rangka CFW ini.
Salah satu yang menarik perhatian dari CFW, yakni kegiatan fashion show yang dilakukan di zebra cross sekitaran SCBD. Dengan ditemani pemandangan gedung-gedung pencakar langit beserta matahari yang terik, para ‘model’ berlenggang dengan percaya diri menikmati kebebasannya dalam berekspresi. Selain fashion show, yang juga menjadi magnet di CFW adalah kehadiran para selebriti dan pembuat konten video dari berbagai platform media sosial.
Hadirnya fenomena CFW bak angin segar bagi publik, sebab ruang publik ibukota terasa begitu inklusif. Menunjukkan bahwa fasilitas umum ibu kota terbuka bagi siapa saja, bukan hanya warga ber–KTP Jakarta. Adanya CFW juga memberikan panggung bagi mereka yang ingin unjuk gigi memamerkan setelannya dengan harga yang terjangkau, tetapi masih tetap unik. Kendati demikian, ketertiban dalam CFW memang perlu lebih diperhatikan lagi terutama dalam hal kebersihan dan kemacetan.
Citayam Fashion Week dan Inklusivitas Ruang Publik
Berlatar pemandangan Instagramable dan akses yang mudah untuk dijangkau membuat SCBD menjadi tempat bepergian favorit bagi masyarakat. Untuk sampai ke SCBD tak perlu mengeluarkan uang banyak, hanya dengan membayar sekitar empat sampai lima ribu untuk transportasi publik seperti bus atau kereta, masyarakat bisa menyentuh daerah penuh gedung tinggi itu.
Demokratisasi Jalan Sudirman, begitu ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebuah ruang publik yang nyata dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan. Tanpa mengenal kelas atau status ekonomi. Menjadi ladang subur generasi muda untuk berekspresi dan melahirkan subkultur urban yang tak terbatasi strata sosial.
Tak memerlukan waktu lama, dalam sekejap SCBD langsung didatangi masyarakat yang sekedar penasaran, atau bahkan sampai mengikuti tren catwalk di zebra cross. Dengan berpakaian eksentrik para peserta berjalan melewati zebra cross bak seorang model di Paris Fashion Week. Walaupun akhirnya kegiatan CFW dipindah ke Kuningan City karena alasan penertiban.
Inklusivitas ruang publik pada fenomena CFW ini lantas membuka ruang berekspresi bagi masyarakat luas. Melalui CFW, masyarakat menengah ke bawah dapat menciptakan tren fashion tersendiri tanpa perlu mengeluarkan rupiah yang banyak.
Ravi, salah seorang partisipan CFW yang berasal dari Bogor, dengan menggunakan pakaian bertema street wear serba hitam, mengungkapkan harga busana yang dikenakannya hanya sekitar 50.000 rupiah. “Thrifting kalau saya, di Pasar Senen,” ungkap Ravi ketika ditanyai lokasi tempat ia membeli busananya. Sama halnya dengan Ravi, Sintia pun menerangkan bahwa setelan yang digunakannya hanya menyentuh angka Rp200.000 saja. Ia mengaku membelinya di toko online.
Bagi Sintia, adanya CFW ini menunjukkan keterbukaan ruang publik untuk masyarakat luas. “Kalau menurutku, sih, ini (ruang publik–Red) udah lumayan terbuka, ya, karena dari namanya aja Citayam Fashion Week yang Citayam sendiri kan di Bogor. Itu sudah lumayan antarkota,” ujarnya.
Melalui ekspresi berpakaian, ruang CFW juga dihadiri oleh khalayak publik yang ingin mengekspresikan gender. Namun, lagi-lagi kehadiran mereka ditentang oleh beberapa pihak dengan tuduhan CFW “ditunggangi” dan dijadikan sebagai ajang promosi LGBT. Melansir artikel dari CNN, Kepala Suku Dinas Jakarta Pusat, Abdul Salam, mengatakan akan menindak para pria yang bertingkah kemayu di CFW dan akan membawanya ke panti sosial.
Tampaknya, meskipun CFW digadang-gadang sebagai ruang untuk bebas berekspresi, namun untuk beberapa komunitas, berekspresi di ruang publik belum menjadi tempat yang aman dan rawan terkena diskriminasi.
Komersialisasi CFW, Apakah Semudah Itu Mendaftarkan HKI?
Di balik bergeloranya para muda-mudi bergerak membesarkan nama CFW, hadir oportunis-oportunis yang melihat kesempatan komersialisasi. Salah satunya adalah para influencer yang mendaftarkan CFW sebagai suatu kekayaan intelektual. Mereka melakukan pendaftaran merek CFW agar bisa dikomersialisasi dalam bentuk fashion show dan hiburan.
Merek sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merupakan tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Pendaftaran merek ini dapat dilakukan karena Indonesia sekarang menganut sistem konstitutif atau first to file system, sehingga siapapun yang pertama kali mendaftarkan dapat menjadi pemilik dari kekayaan intelektual tersebut. Walaupun dalam prosesnya akan dilakukan berbagai prosedur dan dapat diajukan keberatan oleh pihak ketiga.
Dilansir dari Tribune Express LK2 FHUI, merek memiliki fungsi alat bukti pemilik merek, penolakan terhadap merek-merek lain yang memiliki kesamaan, dan mencegah orang lain menggunakan merek tersebut. Oleh karena itu apabila didaftarkan, nantinya pemilik dari merek dapat memonopoli nama CFW untuk kepentingan komersial.
Limitasi-limitasi akan muncul jika nama CFW didaftarkan sebagai kekayaan intelektual influencer yang bersangkutan. Hal ini seperti adanya pembatasan pemakaian nama dan biaya tambahan untuk mendapatkan lisensi pemakaian. Dalam hal ini yang memuncul dan membesarkan CFW adalah para muda-mudi, mereka yang lahir dan hidup di pinggir gemerlapnya ibu kota.
CFW hadir sebagai sebuah gagasan milik bersama yang tercetus dari rasa muak mereka yang hidup dalam kondisi underprivileged. CFW yang selama ini dianggap sebagai bentuk inklusivitas ruang publik, kurang pantas apabila malah dimonopoli untuk kepentingan kapitalistik segelintir orang yang selama ini hanya berselancar dalam popularitasnya.
Secara etika apabila kita berbicara mengenai HKI, maka esensinya adalah apresiasi akan pemikiran seorang insan untuk menciptakan suatu hal yang baru. Pendaftaran yang dilakukan untuk kepentingan kapitalistik tanpa melihat moralitas dari kekayaan intelektual tersebut pada dasarnya sesuatu yang berlawanan dengan prinsip dan esensi dari HKI.
Kontroversi yang muncul akibat upaya pendaftaran tersebut, akhirnya dapat mencegah monopolisasi nama CFW. Akan tetapi ini memunculkan kemungkinan-kemungkinan bahwa kedepannya akan muncul oportunis-oportunis yang akan mencoba komersialisasi seperti ini. Setidaknya, dari keramaian media, masyarakat bisa lebih sadar dan memahami pentingnya Hak Kekayaan Intelektual secara umum dan merek secara khusus.
Dari Dampak Ekonomi sampai Kebebasan Berekspresi
Berawal dari remaja-remaja sekitaran Jabodetabek yang sekadar nongkrong-nongkrong di SCBD, sampai akhirnya viral dan membuat tren fashion show di zebra cross. Hadirnya CFW selain mendatangkan hiburan bagi masyarakat juga membawa manfaat kepada komunitas-komunitas kecil.
Setelah viral di berbagai media, beberapa pihak yang menjadi bagian dari CFW merasakan dampak ekonomi dari tren media sosial ini. Misalnya Kurma dan Bonge yang mendapatkan tawaran menjadi brand ambassador Dunia Fantasi (Dufan), atau Roy yang ditawari beasiswa oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Nama-nama besar lainnya dari kegiatan CFW pun kerap menjadi bintang tamu di televisi-televisi swasta.
Meskipun tidak merasakan secara langsung dampak ekonomi yang dihasilkan, Sintia berpendapat popularitas CFW sedikit banyak memberi sumbangsih pada perekonomian sekitar. “Jadi menurutku lumayan meningkatkan ekonomi juga ya. Transpor umum juga digunakan, terus banyak yang jualan-jualan juga,” ujarnya.
Dari melimpah-ruahnya antusiasme masyarakat, pundi-pundi perekonomian yang sempat tersendat karena pandemi nyatanya mampu didongkrak dengan adanya tren CFW. Fenomena dari menjamurnya pedagang kopi keliling dan lain sebagainya menjadi bukti angin segar yang berhasil terasa karena adanya CFW. Kesempatan berbisnis ini tentunya terlihat dari keadaan lapangan yang menunjukkan gelora muda-mudi berpartisipasi dalam tren ini.
Ketenaran yang diciptakan CFW dianggap para kontributornya sebagai kegiatan positif anak muda. Kegiatan CFW ini seolah menjadi ruang sosialisasi baru bagi masyarakat, Ravi sendiri menganggap CFW sebagai ajang yang menyenangkan untuk menambah jejaring relasi pertemanan.
Sebagai cosplayer, sudut pandang lain diungkapkan Sintia, karena menurutnya CFW lebih menjadi wadah bagi anak muda mengekspresikan diri. Hal ini karena kebebasan berekspresi yang dituangkan lewat pakaian adalah ruang bagi anak muda yang membutuhkan kebebasan mengekspresikan diri.
“Jujur aja buat anak-anak muda sekarang agak sulit untuk ngeluarin ide-idenya, terutama lewat media sosial karena kan ada beberapa hal yang memang gak boleh. Terus akhirnya karena ada Covid juga jadi makin susah nih buat ngeluarin ide-idenya. Nah, pas ada CFW ini jadi kayak ada saranalah buat ngeluarin ide-idenya,” papar Sintia.
Bahkan tak hanya di Jakarta, kebebasan berekspresi dalam berpakaian sebagai dampak CFW juga menular ke daerah lainnya di Indonesia seperti Semarang, Surabaya, Medan, sampai Makassar.
Meskipun demikian, komentar negatif tak dapat dilepaskan dari adanya tren CFW. Entah berupa cibiran atau pandangan sebelah mata. Namun, bagi Ravi dan Sintia sendiri, sebagai orang-orang yang ikut meramaikan tren ini, tanggapan semacam itu bukan soal besar karena selera adalah hal yang relatif.
Hanya saja, keduanya pun sama-sama berpendapat bahwa tren CFW ini akan redup dan hilang dengan sendirinya. Karena berangkat dari sebuah klip viral di media sosial, CFW bukan tidak mungkin memiliki masanya sendiri, sama halnya dengan hal-hal yang sempat viral sebelumnya.
“Menurut saya sih, feeling saya ya, ini sih gak akan bertahan lama. Bentar lagi juga sudah reduplah. Maksudnya, tren-trenan aja gak sih? Gara-gara ada Bonge dan lainnya,” ujar Ravi menuturkan. Meskipun, seharusnya anak muda selalu memiliki ruang bebas untuk berekspresi.
Teks: Farrel C. Firmansyah, M. Rifaldy Zelan, Siti Sahira
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrasi: Brillian Kusumanegara
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!