By Humairah Dila, Magdalena Handrica
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Peluncuran dan Bedah Buku Dinamika Pemilu Serentak: “Evaluasi Pemilu 2019 dan Proyeksi 2024”, Sabtu (27/1/2021). Acara berlangsung menggunakan platform Zoom dan live streaming di channel Youtube KPU DIY. Acara ini membahas mengenai buku “Dinamika Pemilu Serentak”, serta evaluasi para narasumber terhadap pemilu sebelumnya, dengan harapan dapat digunakan sebagai proyeksi dan perbaikan untuk pemilu yang akan datang. Acara dihadiri oleh 5 narasumber kunci, yaitu Hamdan Kurniawan (Ketua KPU DIY), Hasyim Asy’ari (Komisioner KPU RI), Sri Nuryanti (peneliti LIPI), Bambang Eka Cahya Widodo (Ketua Bawaslu periode 2011-2012), serta Abdul Gaffar Karim (Koordinator Konsorsium Pendidikan Tata Kelola Pemilu di Indonesia).
Buku “Dinamika Pemilu Serentak” merupakan kompilasi tulisan para penyelenggara pemilu sesuai divisi masing-masing dengan tetap memperhatikan keterkaitan antardivisi. Buku dengan ketebalan 624 halaman ini terbagi menjadi lima bab, yaitu Data Pemilih, SDM dan Partisipasi Masyarakat, Logistik, Hukum dan Teknis Penyelenggaraan. Buku yang ditulis secara terstruktur, sistematis, juga komprehensif ini berisi catatan dan pengalaman lapangan penulis yang dituliskan secara akademis dan disertai bukti data. Buku ini dapat memberikan pemahaman kepada kita sebagai orang awam tentang dinamika internal apa saja yang dihadapi ketika proses penyelenggaraan pemilu. Buku ini juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk evaluasi pemilu di masa yang akan datang, terutama terhadap hal-hal yang bersifat teknis.
Hasyim Asy’ari, Komisioner KPU RI menyatakan bahwa buku ini merupakan sebuah cara bagi KPU di Yogyakarta untuk menggalang memori kolektif. Dengan adanya memori kolektif, ada pewarisan bagi generasi berikutnya baik penyelenggara maupun publik.
“Memori kita itu dibikin pendek (oleh Tuhan—red) karena kita menyadari itu, jangan sampai kemudian pengalaman penyelenggaraan pemilu di masing-masing daerah di level apapun ya, itu kemudian dilupakan orang karena kita tidak mencatat,” kata Hasyim.
Di sisi lain, buku “Dinamika Pemilu Serentak” ini memiliki kekurangan. Siti Nuryanti, seorang peneliti dari LIPI, menggarisbawahi kurangnya referensi yang valid dalam buku tersebut. Para penulis juga seharusnya dapat mengontrol ide tulisan dengan cara mewawancarai narasumber seperti para ahli, akademis, atau tokoh masyarakat yang berhubungan dengan penulisan buku ini agar dapat menciptakan sudut pandang baru mengenai dinamika diluar teknis penyelenggaraan. Selain itu, Siti juga menyoroti kesalahan-kesalahan minor seperti ketidaksesuaian antara nomor halaman yang ada di buku dan di daftar isi, serta tidak dicantumkannya bab buku dalam layout.
Senada dengan Siti, Bambang Eka Cahya Widodo, selaku mantan Ketua Bawaslu juga menyoroti beberapa kekurangan dalam buku tersebut. Menurutnya, pembagian bab terlalu kaku dan kurang memberi ruang kepada para penulis untuk menceritakan pengalamannya serta hal-hal lain di luar divisinya masing-masing.
Meskipun begitu, terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, buku “Dinamika Pemilu Serentak” tetap memiliki relevansi dengan realita. Pemilu yang terjadi di DIY memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah partisipasi masyarakat yang sangat tinggi. DIY merupakan kota pelajar dengan banyak pemilih yang berasal dari luar DIY dan memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya di DIY. Ini menjadi persoalan karena jumlah pemilih tambahan tidak diimbangi dengan jumlah logistik yang cukup untuk memenuhi surat suara mereka.
“Pemilih tambahan meningkat, logistik berkurang, dan ditambah dengan hoaks serta misinformasi yang menyatakan bahwa pemilih dari luar Jogja dapat memilih hanya dengan bersyaratkan KTP, tanpa mengurusi formulir pindah memilih (menggunakan Form A.5—red),” ungkap Hamdan.
Melanjutkan persoalan tentang logistik, Hasyim Asy’ari menambahkan, “Seperti yang kita ketahui, memindahkan orang tanpa memindahkan logistik agak berat juga. Saya sendiri lebih memilih domisili faktual untuk tempat nanti jika nyoblos. Tetap berbasis e-KTP dan form A.5, tetapi dapat diberikan pertanyaan futuristik, seperti, ‘Nanti pada 17 April 2019, Anda akan memilih di mana?’. Sehingga meskipun saya bukan orang Jogja, saya tetap menggunakan hak pilih, karena saya sudah tinggal dan membayar pajak di Jogja. Berdasarkan UU Administrasi Kependudukan, jika sudah berdomisili di suatu daerah lebih dari 6 bulan, maka harus mengganti domisili di KTP berdasarkan daerah yang mereka tempati,” tuturnya.
Sementara itu, Sri Nuryanti berpendapat bahwa keberadaan buku ini dapat menjadi masukan dalam pembuatan kebijakan, termasuk perubahan UU Pemilu dan UU Partai Politik yang sudah ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ia pun menambahkan, “Saya tidak setuju jika pemilu diisi oleh orang-orang partai karena itu akan kembali seperti pemilu pada tahun ‘99, di mana bukan proses penyelenggaraan pemilunya yang muncul di permukaan, tetapi konflik antar partai.” Ungkap Sri Nuryanti
Sementara Bambang Eka Cahya Widodo menyatakan, “Buku ini dapat dijadikan referensi tentang tata kelola pemilu, karena mekanisme pendaftaran pemilu yang cukup rumit karena keterbatasan logistik. Lalu adanya kompetisi yang kurang baik merupakan implikasi yang benar terjadi dan cukup serius. Ini semua membuat kita sadar, bahwa tidak mudah menyelenggarakan pemilu di tengah kondisi yang cukup sulit ini.”
Sesi pemaparan materi ditutup oleh Abdul Gaffar Karim yang memberikan sedikit evaluasi tentang pemilu, “Kita terlalu fokus akan partisipasi dan urusan logistik pemilih, sehingga mengabaikan pengawalan terhadap kualitas calon pemimpin yang sebenarnya mengecewakan. Hasil pilkada saat ini lebih ditentukan oleh orang yang memiliki kapasitas finansial dan pengaruh dinasti politik, ketimbang kemampuan yang dimiliki. Ini merupakan PR untuk pemilu selanjutnya.”
Teks: Humairah Dila, Magdalena Handrica
Foto: Humairah Dila
Editor: Syifa Nadia
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas