Penolakan terhadap revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai mengancam prinsip keadilan dan hak-hak asasi manusia mendorong masyarakat melakukan aksi unjuk rasa pada Selasa (23/7) di depan Gerbang Pancasila, Senayan.
Aksi unjuk rasa dengan tajuk #TolakRKUHAP dan #SemuaBisaJadiKorban yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil ini diikuti oleh ratusan massa aksi, termasuk aliansi mahasiswa Universitas Indonesia.
Massa UI bergerak dari Lapangan FISIP UI menuju depan Gedung TVRI dan melakukan longmars menuju Gerbang Pancasila. Orasi demi orasi disuarakan massa untuk mewakili keresahan terhadap pemerintah yang tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat.
Tuntutan Massa Aksi
Aksi unjuk rasa ini merupakan bentuk solidaritas antara mahasiswa dan masyarakat sipil dalam menyuarakan kritik, meningkatkan kepedulian, serta melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai semakin merugikan hak-hak warga negaranya. Adapun tuntutan yang dilayangkan oleh aliansi mahasiswa UI, yaitu:
1. Akuntabilitas Tindak Lanjut Laporan: Menjamin adanya mekanisme yang akuntabel untuk menindaklanjuti laporan tindak pidana dari masyarakat, termasuk hak korban untuk mengajukan keberatan substantif jika laporan tidak ditindaklanjuti penyidik.
2. Pengawasan Yudisial Menyeluruh: Menerapkan judicial scrutiny untuk menguji seluruh upaya paksa dan tindakan penyidik maupun penuntut umum di pengadilan, dengan berorientasi pada pencarian kebenaran materiil, bukan sekadar kelengkapan administrasi.
3. Izin Pengadilan untuk Upaya Paksa: Mewajibkan izin pengadilan untuk penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan, dengan pengecualian ketat untuk kondisi mendesak. Selain itu, mewajibkan penahanan untuk dihadapkan ke pengadilan dalam waktu 48 jam pasca-penangkapan.
4. Penguatan Peran Advokat: Memastikan prinsip keberimbangan dalam proses peradilan pidana dengan memperkuat peran advokat, termasuk akses penuh terhadap berkas dan bukti, serta perluasan bantuan hukum yang dijamin negara.
5. Pembatasan Teknik Investigasi Khusus: Membatasi penggunaan teknik investigasi khusus, seperti undercover buy dan controlled delivery, untuk digunakan hanya pada jenis tindak pidana tertentu, harus dengan izin pengadilan, dan tidak boleh pada tahap penyelidikan atau jika penyidik menginisiasi niat yang jahat.
6. Reformasi Sistem Pembuktian: Mendefinisikan bukti secara komprehensif tanpa memisahkannya dari alat bukti atau barang bukti, menjamin relevansi dan kualitas bukti, serta memastikan adanya prosedur pengelolaan yang jelas untuk setiap jenis bukti. "Alasan yang cukup" untuk setiap tindakan harus spesifik dan tidak hanya mengacu pada dua alat bukti di awal.
7. Pengaturan Ketat Sidang Elektronik: Menetapkan definisi yang jelas dan ketat mengenai "keadaan tertentu" untuk sidang elektronik guna mencegah bias dan putusan yang keliru, serta menjamin akses publik, termasuk keluarga, untuk menyaksikan persidangan.
8. Akuntabilitas Penyelesaian di Luar Sidang: Memperbaiki konsep restorative justice agar tidak hanya dipahami sebagai penghentian perkara, dapat dilakukan pada tahap pasca-penyidikan, dan dijamin akuntabilitasnya untuk mencegah praktik transaksional atau pemerasan.
9. Penguatan Hak Tersangka/Terdakwa, Saksi, dan Korban: Memperjelas mekanisme restitusi, menjamin akses efektif terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban melalui pasal-pasal operasional, serta menyediakan mekanisme pelaporan pelanggaran hak dengan konsekuensi hukum yang jelas.
Tuntutan ini bukan sebatas narasi, melainkan suara perlawanan yang melantangkan keresahan rakyat terhadap masa depan keadilan di Indonesia.
Dengan penetapan revisi RKUHAP yang tergesa-gesa tanpa mengindahkan pendapat rakyat, hal ini kemudian menimbulkan satu pertanyaan besar. Sebenarnya, untuk siapa RKUHAP ini ditujukan?
Massa UI dalam Aksi #TolakRKUHAP
Bagi aliansi mahasiswa UI, permasalahan RKUHAP bukan hanya urusan mahasiswa Fakultas Hukum saja, melainkan isu setiap lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena semua orang dapat menjadi korban jika aturan hukum tersebut dibuat tanpa keberpihakan terhadap rakyat.
“KUHAP memang perlu direvisi, tetapi [harus dengan] revisi yang benar, tidak hanya asal-asalan [dalam] dua hari,” ungkap Satir selaku koordinator lapangan.
Dengan adanya aksi penolakan RKUHAP, massa UI berharap agar masyarakat luas dapat lebih menyadari bahwa permasalahan ini merupakan permasalahan yang genting, sebab tanpa batasan kerja yang jelas dalam menangani kasus acara pidana, aparat berpotensi membahayakan masyarakat.
“Mereka bisa melakukan penggeledahan, penyelidikan, dan pengurungan yang bisa memenjarakan kita sesuka hati mereka tanpa adanya UU yang valid,” ujar salah satu massa UI.
Menanggapi aksi Tolak RKUHAP selanjutnya yang akan diselenggarakan kembali oleh BEM-SI, Atan selaku Ketua BEM UI 2025 (yakni BEM yang telah disahkan oleh IKM UI) mengungkapkan bahwa BEM UI siap membersamai BEM-SI selama tuntutan yang dibawa masih sejalan dengan pengawalan isu RKUHAP.
Teks: Alya Putri Granita, Vania Shaqila Noorjannah
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Muhammad Aidan
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!