Logo Suma

DPR RI Ketuk Palu, RKUHAP Buat Demokrasi Pilu

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 November 2025
3 menit

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menggelar aksi bertajuk #TolakRKUHAP sebagai bentuk kekecewaan atas disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tepat pada hari berlangsunya aksi (18/11).

Sejak pukul 09.00 WIB, massa aksi telah bergerak dari Lapangan FISIP UI menuju Gedung DPR RI. Setibanya di depan Gerbang Pancasila, DPR RI, massa langsung menghadang beberapa mobil pejabat yang hendak masuk ke dalam Gedung DPR RI. Massa juga mencegat mobil-mobil berplat merah dan yang terlihat dikawal oleh mobil patroli.

Komunikasi sempat dijalankan dengan mobil yang ditumpangi oleh Koordinator Dewan Pengawas Penyidik Negeri Sipil, tetapi tidak berbuah hasil yang baik. Saat mobilnya dihentikan, penyidik tersebut menuturkan bahwa tidak memiliki urusan dengan DPR sebab ia baru balik dari rapat dengan pihak Kementerian Penegakan Hukum Kehutanan. Namun, di sisi lain, massa aksi menegaskan bahwa mereka tak bisa mengobrol langsung dengan pihak yang lebih berwenang.

Sebelumnya, BEM UI juga telah melangsungkan aksi pada bulan Juli lalu

“Ya, DPR kembali membuat kerja yang terlalu cepat dan juga tidak demokratis,” tutur Gatran, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI.

Menurut Gatran, jika DPR mengklaim sudah demokratis, lalu mengapa banyak sekali mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil yang menolak? Proses legislasi yang dilakukan oleh DPR sangat kapitalistik.

Koalisi Masyarakat Sipil Turut Bergabung

Aksi ini juga turut dihadiri oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Perempuan Mahardhika, Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), serta Suku Bangsa Minoritas Sakai.

Daniel dari LBH Jakarta menyoroti bahwa pengesahan RKHUP ini bernuansa otoritarianisme yang berpotensi menjadikan masyarakat sebagai korban. Ia turut menilai tindakan DPR RI merupakan praktik buruk dalam hal memberikan informasi palsu kepada publik.

Menanggapi hal itu, pihak LBH Jakarta telah melaporkan sebelas anggota Komisi III DPR RI kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “Anggota DPR RI telah melakukan pelanggaran etik yang berat. Karena mencatut, menyebarkan informasi palsu, serta menggunakan nama koalisi, untuk seakan-akan telah mewakili rakyat,” ujar Daniel.

Avifah dari Perempuan Mahardhika menyampaikan bahwa gerakan perempuan memiliki kepentingan untuk menolak KUHAP yang telah disahkan. Ia menilai sejak awal proses penyusunan RKUHAP tidak mendengarkan suara perempuan sesuai. Hal ini terlihat dari tidak adanya perwakilan maupun partisipasi dari kelompok-kelompok rentan dalam penyusunannya.

“Ketika tidak ada suara perempuan dalam proses penyusunan, jangan berharap akan ada kepentingan untuk menunjukkan posisi hukum terhadap perempuan itu sendiri,” terang Avifah.

Avifah juga menerangkan terkait beberapa pasal KUHAP yang disahkan tidak mengatur secara jelas keberpihakan pada korban, khususnya perempuan yang mengalami kekerasan, serta perlindungan untuk saksi. Oleh sebab itu, gerakan perempuan melihat adanya kemunduran yang besar dalam demokrasi.

Di sisi lain, Famelia dari Gerakan Muda Melawan Kriminalisasi, mengingatkan bahwa pasca demo di bulan Agustus lalu masih terdapat massa aksi yang di penjara sebanyak 997 orang, termasuk Delpedro, Syahdan, Mudzafar, Haris, dan Laras. Menurutnya, RKUHAP merupakan bentuk sempurna dari rezim pemerintahan Prabowo yang anti kritik dan hanya mendengarkan para elit, tanpa mendengarkan suara rakyat.

Famelia menilai penerapan KUHAP yang sebelumnya saja terdapat masalah prosedural yang dilakukan oleh polisi seperti sewenang-wenang maupun penangkapan asal. Lalu, pengesahan KUHAP yang baru malah berpotensi memperluas kriminalisasi pada gerakan rakyat karena kewenangan polisi yang semakin besar, dan membuka celah lebar agar masyarakat terus dibungkam.

“Maka gerakan muda melawan kriminalitas ini sangat mengecam pengesahan KUHAP kali ini. Untuk itu, kita menuntut untuk mencabut KUHAP. Lawan kriminalisasi!” seru Famelia.

DPR RI Anggap Sudah Demokrasi, Sejumlah Pasal RKUHAP Tuai Protes

Melalui laman Instagramnya, @dpr_ri menyatakan bahwa pembahasan RKUHAP telah menampung aspirasi publik dalam proses penyempurnaan RKUHAP. Mereka juga turut mencatut sejumlah organisasi masyarakat yang turut berpartisipasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP). Nyatanya, koalisi masyarakat sipil yang dicantumkan adalah lembaga-lembaga yang menolak RKUHAP.

Lebih anehnya, nama Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, juga turut dicantumkan. Padahal, Delpedro saat ini sedang ditahan di Polda Metro Jaya dengan alasan menghasut massa dalam aksi yang terjadi bulan Agustus dan September silam.

Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil menilai terdapat beberapa pasal kontroversial dalam RKUHAP, di antaranya: Pasal 5, 90, 93, 105, 112A, 132A, 74A, 79, 7, 8, 99, dan 137A. Pasal-pasal tersebut memuat sejumlah masalah. Mulai dari penangkapan sewenang-wenang tanpa izin halim hingga potensi ketidaksetaraan prosedur untuk penyelesaian tindak pidana bagi orang dengan disabilitas berhadapan dengan hukum.

Iqbal dari ICJR menyebut dengan disahkannya RKUHAP menjadi KUHAP maka menandakan sebuah kemunduran reformasi hukum  di Indonesia. “Dalam RKUHAP ini Polri diberikan kewenangan yang berlebih tanpa pengawasan yang berarti. Itu adalah sebuah pembangkangan terhadap komitmen reformasi Polri dan sebagai kejahatan legislasi juga kemunduran reformasi hukum di Indonesia,” tuturnya.

Teks: Vania Shaqila Noorjannah, Zulianikha Salsabila Putri

Editor: Dela Srilestari

Foto: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Desain: Naila Shafa

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!