Dua Jagoan dan Satu Cinta: Perjuangan Membayar Dendam Lama

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Desember 2021
3 menit

Judul Film: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Tanggal rilis: 2 Desember 2021
Genre: Drama
Durasi: 115 Menit
Sutradara: Edwin
Pemeran: Marthino Lio, Ladya Cheryl, Sal Priadi, Reza Rahadian, Ratu Felisha
Produser: Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy

Siapa yang belum kenal dengan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan? Kisah ini menggema tak hanya di telinga pembaca Indonesia, melainkan juga terdengar oleh pembaca internasional. Novel yang diterbitkan pertama kali pada 13 November 2014 ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Melihat kesuksesan novel tersebut, Edwin bersama Eka Kurniawan membawa Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ke wahana yang berbeda, yakni sebuah film.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berpartisipasi di ajang bergengsi insan perfilman, Festival Film Internasional Locarno. Pertama kali diputar pada 8 Agustus 2021 di festival film tersebut, film ini berhasil mendapat tanggapan positif dari penonton dan kritikus film. Tak berhenti sampai di situ, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berhasil membawa pulang Golden Leopard, hadiah utama Festival Film Internasional Locarno.

Film berlatar 1980-an ini menampilkan kisah-kisah penindasan yang dialami orang-orang yang tak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Mereka, yang tertindas, membawa lukanya bertahun-tahun sampai mereka mampu dan kuat untuk membalaskan dendamnya. Penindasan tersebut berbentuk kekerasan seksual yang dialami kedua tokoh saat masih anak-anak, yaitu Ajo Kawir (Marthino Lio) dan Iteung (Ladya Cheryl). Saat Ajo Kawir kecil, dia melihat pemerkosaan yang dilakukan oleh dua orang polisi dan dia dipaksa melihat kejadian tersebut. Dia pun diajak untuk turut serta dengan moncong pistol diarahkan ke kepalanya. Sementara itu, saat Iteung duduk di bangku Sekolah Menengah, dia juga mengalami kekerasan seksual oleh guru di sekolahnya, yakni Pak Toto.

Lahirnya Sang Jagoan

Luka di masa lalu nyatanya tidak menghalangi Ajo Kawir mendapatkan predikat "jagoan". Ajo Kawir sangat terkenal dengan keberaniannya dalam bertarung melawan siapa pun sehingga tak ada kata takut dalam kamus kehidupannya. Selain dikenal sebagai jagoan nan pemberani, nama Ajo Kawir juga dikenal sebagai jagoan yang impoten. Keadaan yang dialami Ajo Kawir tersebut menjadi bahan ejekan oleh orang-orang di sekitarnya.

Sebagai seorang jagoan, Ajo Kawir bertarung dengan seorang perempuan bernama Iteung. Pertempuran itu mengantarkan Ajo Kawir bertemu dengan pujaan hatinya. Ajo Kawir, Si Petarung yang keras hatinya, lambat laun menunjukkan sisi lainnya di hadapan cinta. Akhirnya, cinta Ajo Kawir dan Iteung berlabuh di sebuah pernikahan.

Kisah cinta Iteung dan Ajo Kawir bukanlah kisah cinta biasa. Mereka mewujudkan rasa cintanya dengan membalaskan dendam atas kejadian dan ketidakadilan yang pernah menimpa pasangan mereka. Perjalanan cinta Ajo Kawir dan Iteung dalam membalaskan rindu dan dendamnya dibuka dan ditutup dengan percakapan yang begitu indah.

“Aku mencintaimu, Iteung”, kata Ajo Kawir.
“Aku juga mencintaimu”, kata Iteung.

Kisah mereka bersemi dan berakhir dengan kata cinta. Mereka membuktikan perasaan cintanya dengan bentuk yang berbeda dari kisah romantis di kebanyakan film Indonesia. Segala permasalahan yang mereka lalui dan jarak yang memisahkan mereka, tak pernah membuat cinta di antara dua insan ini padam.

Kisah yang Masih Relevan

Era 1980-an yang ditonjolkan dalam film ini, khususnya kisah para tokoh, tampaknya masih relevan dengan kehidupan masa kini. Hal ini dapat dikaitkan dengan kian ramainya berita terkait kekerasan seksual dengan latar belakang kasus yang beragam pula. Selanjutnya, lain daripada film kebanyakan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas direkam menggunakan kamera analog dan film seluloid 16 milimeter dari Kodak. Penggunaan kamera analog dan film negatif membuat latar 1980-an semakin terasa, ditambah pemilihan busana, properti, dan latar tempat bernuansa 1980-an. Walaupun nuansa itu berhasil terbangun, jika dilihat dengan lebih detail, ada beberapa barang yang luput dari nuansa klasik.

Di samping kelebihan dan kekurangannya, film ini patut disaksikan karena penonton akan ikut merasakan perjuangan para tokoh dalam membalaskan dendam terhadap penindasan yang mereka alami. Kepiawaian para aktor dalam memerankan kisah hidup para tokoh tersebut juga patut diapresiasi. Peristiwa pahit yang dibayar dengan adegan-adegan pertarungan akan memancing emosi penonton untuk ikut berempati kepada para tokoh.

“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala.”

Teks: Putri Melina
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!