Kebijakan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang diterapkan pada masa pemerintahan Soeharto berawal dari sebuah gagasan yang diajukan oleh A. H. Nasution. Usulan tersebut disampaikan saat peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang. Istilah “dwifungsi” diperkenalkan pada rapat pimpinan Polri di Porong pada 1960 yang disebut sebagai konsep jalan tengah. Konsep ini menginginkan militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara, tetapi juga harus mampu menjalankan fungsi sosial politiknya untuk ikut menentukan arah kebijakan politik negara. Dwifungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi “pembina wilayah” atau pembina masyarakat. Nasution menganggap bahwa ”TNI bukan sekadar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwifungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya”.
Pada masa Soeharto berkuasa, ABRI tidak hanya berperan sebagai penjaga stabilitas pertahanan dan keamanan, tetapi juga berperan aktif dalam hal-hal lain yang bersifat non-hankam (sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya). Hal tersebut merupakan penjabaran dari konsep dwifungsi ABRI yang berawal dari sebuah konsep “jalan tengah” yang dikemukakan Nasution. Ulf Sundhaussen (1986: 219) mengemukakan dalam buku Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI mengenai konsep jalan tengah bahwa “Konsep ini, sebagaimana yang telah direncanakan Soekarno, kabinet dan pimpinan Angkatan Perang akan memberikan kesempatan yang luas kepada perwira-perwira tentara atas dasar perorangan tetapi sebagai eksponen tentara, untuk berpartisipasi secara aktif dalam bidang nonmiliter dan dalam menentukan kebijakan nasional pada tingkat yang paling tinggi, termasuk dalam bidang seperti keuangan negara, ekonomi dan sebagainya”.
Di antara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan dwifungsi ABRI, berkurangnya “jatah” kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, tepatnya pada 1966–1998, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Menurut (Prasetiadi, 2020), dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: 1) Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”; 2) Selain adanya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama KORPRI juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu; dan 3) ABRI, melalui berbagai yayasan yang dibentuk, diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
Salah satu upaya yang dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru dengan keberadaan militer di parlemen adalah menciptakan sebuah kebijakan yang dapat memberi label terhadap kelompok oposisi sebagai pro-PKI atau ekstrimisme kiri (EKI). Hal ini berakibat pada terbatasnya hak kebebasan berpendapat di masa orde baru. Selama kebijakan dwifungsi ABRI semasa Orde Baru, militer berperan dalam memenangkan partai Golkar. ABRI berperan dalam melakukan mobilisasi dukungan terhadap Golkar dan rezim Orde Baru. Dengan memobilisasi kelompok "keamanan", mereka diikutsertakan dalam gerakan pembersihan komunis yang mengakibatkan 600 ribu dan 750 ribu orang ditangkap dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan akibat dituduh terlibat dalam PKI (McGregor & Hearman, 2007: 356–357). Beberapa pemimpin kelompok keamanan tersebut adalah seorang pejabat terkemuka di pemerintahan atau militer yang berperan dalam mempertahankan rezim (Barker, 2018: 16).
Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh militer dan kelompok keamanan dalam memelihara keberlangsungan rezim misalnya terjadi pada peristiwa Kudatuli tahun 1996. Serangan yang dilakukan militer dan kelompok keamanan tersebut menewaskan tiga orang staf PDIP yang merupakan partai oposisi pemerintah. Pengaruh militer selama memberlakukan dwifungsi ABRI juga menunjukkan adanya diskriminasi gender dalam berpolitik. Di masa Orde Baru, organisasi perempuan merupakan salah satu elemen yang harus diawasi dan dipasung atas nama kepentingan negara. Hal ini tidak bisa terlepas dari wacana keterlibatan Gerwani dalam peristiwa Lubang Buaya. Militer menyatakan bahwa Gerwani terlibat dalam penyiksaan terhadap para jenderal dan dicap sebagai “pelacur moral”. Hal ini dijadikan pembenaran terhadap pihak militer untuk melakukan kekerasan dan kekerasan seksual terhadap Tapol yang diduga merupakan Gerwani (Pohan, 2020: 28).
Kebijakan dwifungsi ABRI telah memberikan peran bagi militer untuk terlibat dalam mengamankan negara dan berpolitik. Dominasi militer dalam parlemen selama pemberlakuan dwifungsi ABRI mengakibatkan berkurangnya kesempatan masyarakat sipil untuk turut berpolitik di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Di dalam parlemen militer mempunyai pengaruh dalam membuat kebijakan keamanan negara. Salah satu cara yang dilakukan militer dalam mengamankan negara adalah dengan melabel kelompok oposisi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan rezim Orde Baru.
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Agus Widjojo mengatakan bahwa implementasi dari dwifungsi ABRI oleh Soeharto telah bergeser amat jauh dari konsep yang dibayangkan oleh Jenderal Nasution. Awalnya, dwifungsi digagas sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial, tetapi di bawah Soeharto dwifungsi menjadi alat pertahanan keamanan dan sosial politik (Majalah Tempo, 2010: 70).
Teks: Fauzan Dewanda dan Putri Melina
Ilustrasi: Rizal Taufiqqurafi
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Referensi:
Barker, J. (2018). State of fear: Controlling the criminal contagion in Suharto's New Order. In Violence and the State in Suharto's Indonesia (pp. 20-53). Cornell University Press.
Firdaus, DW. Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial-Politik Tahun 1966-1998. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. http://jurnal.upi.edu/file/KEBIJAKAN_DWIFUNGSI_ABRI_DALAM_PERLUASAN_PERAN_MILITER_DI_BIDANG_SOSIAL.pdf
Majalah Tempo. (2010). Bila Nama Tidak Terdengar. Majalah Tempo. (Edisi 17, 23 Mei 2010).
McGregor, K. E., & Hearman, V. (2007). Challenges of political rehabilitation in post-New Order Indonesia: The case of Gerwani (the Indonesian Women's Movement). South East Asia Research, 15(3), 355-384.
Pohan, M. (2020). Politik Seksual Terhadap Organisasi Perempuan Pasca Kemerdekaan Di Indonesia. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, 7(1), 22-30.
Prasetiadi, DZ. (2020). Keterlibatan Militer dalam Politik Pemerintahan Indonesia Tahun 1958-1998. Universitas Jember. https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/102510/DIMAS%20ZIQI%20P.%20-%20160210302073_1.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Rikan, K. (2014). Konsep Dwifungsi ABRI dan Perannya di Masa Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1998. Universitas PGRI Yogyakarta http://repository.upy.ac.id/255/1/ARTIKEL.pdf
Teguh, I. (2019). Dwifungsi ABRI Telah Dihapus dan Tak Boleh Kembali Lagi. Tirto.id. https://tirto.id/dwifungsi-abri-telah-dihapus-dan-tak-boleh-kembali-lagi-dji6
Tempo.co. (2021). TNI dan Polri Aktif Jabat Kepala Daerah, Mengingatkan Dwifungsi ABRI Orde Baru. Tempo. https://nasional.tempo.co/read/1510928/tni-dan-polri-aktif-jabat-kepala-daerah-mengingatkan-dwifungsi-abri-orde-baru