Identitas Novel
1. Judul Novel : Edensor
2. Pengarang : Andrea Hirata
3. Penerbit : Bentang Pustaka
4. Tahun Terbit : November, 2017
5. Tebal buku : 288 halaman
6. Kategori : Fiksi
“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
Ialah salah satu kutipan yang terdapat di dalam novel Edensor karangan Andrea Hirata. Edensor merupakan novel ketiga dari Tetralogi Laskar Pelangi yang pertama kali diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada bulan Mei tahun 2007. Berbagai penghargaan telah diraih oleh novel ini. Edensor berhasil mendapat predikat best seller, serta memenangkan kategori General Fiction dalam New York Book Festival pada tahun 2013 di Amerika. Novel pendahulunya, Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi juga mendapat predikat National Best Seller di Indonesia.
Berbicara mengenai orang hebat di baliknya, Andrea Hirata adalah salah satu sastrawan Indonesia yang turut mempromosikan minat membaca dan menulis serta mendirikan museum sastra pertama di Indonesia, yaitu Museum Kata yang berada di Belitung. Andrea Hirata banyak menerbitkan karya sastra. Di antaranya, Laskar pelangi yang telah terbit dalam 22 bahasa dan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa asing serta telah diedarkan ke lebih dari 130 negara. Laskar Pelangi juga telah diadaptasi ke dalam bentuk film dan musik. Novelnya yang lain adalah Sang Pemimpi, Maryamah Karpov, Edensor, Padang Bulan, Ayah, dan Sirkus Pohon. Andrea Hirata juga menerbitkan novel dalam bahasa Asing, yaitu Der Traumer, The Rainbow Troops, dan Dry Season.
Karyanya, Edensor—yang dibahas dalam resensi ini—bercerita tentang sebuah perjalanan menuju mimpi yang mengajak para pembacanya untuk turut serta ke dalam petualangan kedua tokoh ketika menyusuri Eropa, dengan berbagai pengalaman yang mencengangkan, mencekam, membuat terbahak, sekaligus berurai air mata. Kisah ini berangkat dari perjalanan hidup Andrea Hirata sendiri. Edensor bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-penaklukan yang gagah berani.
Harapan dan Mimpi dari Belitong
Arai dan Ikal (Andrea) adalah dua sahabat yang berasal dari pedalaman Belitong. Sedari kecil, mereka telah berjuang untuk menuntut ilmu. Keterbatasan ekonomi, jarak dan akses terhadap layanan pendidikan tidak memupus semangat mereka untuk bisa bersekolah. Kehidupan yang didapatnya di Melayu mempertemukan ia dengan orang-orang yang akan menjadi penting baginya. Sebut saja A ling, cinta pertamanya, dan Weh lelaki tua yang mengajarkan ia untuk bertualang. Ketika besar, mereka merantau untuk bekerja sembari melanjutkan kuliah. Ikal merantau ke Bogor, dan Arai merantau ke Kalimantan. Setelah menyelesaikan studi S1, mereka kembali bertemu dan sepakat melanjutkan kuliah S2 ke Eropa dengan beasiswa.
Perjalanan dimulai ketika Ikal dan Arai menempuh pendidikan S2 nya di Universitas Sorbonne, Prancis. Di tanah Eropa itu ikal bertemu dengan banyak paradoks dalam dirinya dan Indonesia. Seperti di dalam mozaik 14, Arai yang bertetangga dengan Isabella dan suaminya yang sepakat untuk tidak memiliki anak, padahal jaminan sosial di Prancis sangat tinggi. Berbeda dengan di Indonesia, kendati ekonomi tidak stabil, rakyatnya rajin untuk melahirkan. Hal ini menunjukan tentang betapa berbeda dan terbelakangnya sistem dan cara berpikir orang Indonesia dibanding dengan orang Barat.
Di sana juga, Ikal kembali mengingat cinta pertamanya, A ling yang telah lama berpisah. Meski banyaknya teman dan wanita yang ia temui, Ikal masih terus mengingat A ling. Kenangan satu-satunya dari dia adalah sebuah buku karya Herriot yang mengisahkan desa impian Edensor dan betapa kini ia ingin bertemu kembali dengan A ling.
Berbekal dengan keinginan besarnya untuk mengelana dunia, dan tekadnya untuk mencari A ling, Ikal dan teman-temannya kemudian backpaper mengelilingi daratan Eropa dan Afrika dengan menjadi seniman jalanan.
Berhari-hari ia melakukan pencarian di berbagai sudut di tanah Eropa dan Afrika memberinya pelajaran hidup bahwa selama ini yang dicarinya bukanlah A ling, tetapi dirinya sendiri. Dan ikal berhasil menemukan mimpinya serta dirinya dalam tanah yang dijanjikan mimpi-mimpi, Desa Edensor.
Sayangnya novel ini memiliki beberapa kekurangan. Ada beberapa kata yang sulit dimengerti oleh orang awam, karena memakai bahasa Melayu. Kelebihan dari novel ini adalah gaya kepenulisannya yang luwes meskipun memakai kata baku. Andrea Hirata berhasil menuliskan kalimat yang jenaka, sehingga memberi hiburan di samping memberikan nasehat dan pengetahuan dari pengalamannnya berkelana di Benua Eropa dan Afrika.
Penutup
Karya Andrea Hirata dapat diterima dan dinikmati karena merupakan sebuah karya bermutu. Daya tarik tulisannya juga terletak pada kemungkinan yang amat luas dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga setiap paragrafnya mengandung kekayaan. Andrea tak pernah kekeringan ide untuk menuliskannya menjadi sebuah bait dalam novel. Pada akhirnya, novel Edensor ini berhasil mendapat tempat di hati orang Indonesia dari berbagai kalangan. Kisah tentang pemuda yang mengejar mimpinya hingga ke Eropa dan kisahnya tentang pencarian jati diri dan cinta yang menggugah semangat cocok dibaca oleh kaum muda masa kini.
Penulis: Syifa Anggun Azzaria
Editor: Sekar Innasprilla