Efek Domino Dari Sandwich Generation Yang Berujung Hustle Culture

Redaksi Suara Mahasiswa · 2 April 2022
3 menit

Sandwich Generation, istilah yang cukup sering didengar dewasa ini. Menurut Brody (1981, dalam Yuliana 2021), sandwich generation merupakan generasi yang menanggung kehidupan dari generasi sebelum dan sesudahnya. Jika diibaratkan, si A merupakan seorang anak dari orang tuanya dan juga merupakan orang tua dari anak-anaknya sehingga si A“terhimpit” oleh generasi sebelum dan sesudah kita seperti sandwich. Istilah sandwich generation sendiri pertama kali dikemukakan oleh seorang Pekerja Sosial, yaitu Dorothy Miller pada tahun 1981 yang menyatakan bahwa sandwich generation berada di rentang usia tengah (middle age) atau sekitar 40-50 tahun. Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa sandwich generation berada pada usia produktif.

Untuk melihat banyaknya sandwich generation, dapat dengan menghitung dependency ratio suatu negara. Berdasarkan proyeksi data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dependency ratio di Indonesia pada tahun 2025 mendatang berada di angka 47,2 yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 47 jiwa penduduk yang tidak produktif. Dari hitungan tersebut, dapat terlihat bahwa dependency ratio Indonesia masih tergolong cukup besar.

Penyebab munculnya fenomena sandwich generation dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, diantaranya adanya anggapan bahwa anak berkewajiban untuk menafkahi orang tua serta faktor perencanaan keuangan. Adanya anggapan bahwa anak masih memiliki kewajiban untuk menafkahi orang tua merupakan mindset yang cukup mengakar di Indonesia. Kondisi dimana seorang anak menafkahi keluarganya secara bersamaan terus terjadi secara berulang. Selain itu, minimnya pengetahuan mengenai perencanaan keuangan yang baik oleh anak dan orang tua juga menjadi faktor “terjepit”nya para kelompok middle-age. Beratnya beban yang ditanggung oleh kelompok middle-age yang harus menafkahi orang tua, dirinya, serta anaknya memicu munculnya fenomena baru, yaitu hustle culture.

Hustle Culture merupakan sebuah fenomena di mana seseorang menempatkan bekerja di atas segalanya tanpa mengenal lelah. Istilah ini sering pula disebut dengan “gila kerja”. Orang yang mengalami hustle culture biasanya mengalami kelelahan emosional, kelelahan fisik, serta merasa bersalah apabila tidak melakukan pekerjaannya. Seharusnya fenomena hustle culture ini dapat dihindari dengan memiliki management waktu yang baik antara bekerja dengan bersantai. Jangan sampai seseorang hanya hidup untuk bekerja bukan bekerja untuk hidup.

Munculnya hustle culture juga didorong dengan anggapan-anggapan yang mewajarkan stres karena pekerjaan, seperti “jangan menyerah, namanya juga kerja pasti capek!”, “yuk semangat, kita harus kerja keras supaya sukses”, dan lain sebagainya. Ungkapan tersebut dinamakan toxic positivity yang seolah-olah menyemangati seseorang untuk bekerja padahal justru hal tersebut malah memaksakan. Padahal, lelah akibat bekerja itu adalah hal yang wajar dan lumrah, sama halnya dengan beristirahat sejenak untuk menenangkan pikiran maupun fisik.

Jika melihat dari kedua fenomena di atas hubungan antara sandwich generation serta hustle culture cukup erat dan sangat mempengaruhi satu sama lain seperti layaknya domino effect. Seseorang yang berada di fase middle-age dengan tuntutan yang begitu besar untuk menghidupi keluarga secara bersamaan cenderung akan melakukan segala upaya untuk bisa memenuhi kebutuhannya tersebut. Alhasil hal ini mendorong seseorang terperangkap dalam hustle culture yang dapat memicu burnout berkepanjangan, kelelahan emosional dan fisik, serta dapat pula memicu penyakit mental.

Maka dari itu, agar tidak terjebak dalam sandwich generation dan hustle culture, kelompok middle-age dapat memulai untuk memiliki perencanaan keuangan yang baik. Perencanaan keuangan yang baik dapat berupa alokasi keuangan sesuai dengan kebutuhan saat ini maupun masa mendatang. Untuk kebutuhan mendatang, kelompok middle-age dapat mengalokasikan keuangannya dengan mengikuti asuransi, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, kematian, keselamatan kerja, dan lain sebagainya.

Selain itu, para orang tua dari kelompok middle-age pun juga harus mengerti dan memahami bahwasannya anak-anak mereka berhak untuk bisa memiliki kehidupannya sendiri. Maka dari itu, sangat baik jika para orang tua pun juga memiliki perencanaan keuangan untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak terlalu mengharapkan kepada anak-anak mereka. Anak-anak dari kelompok middle-age pun juga harus dibimbing untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang tua terlebih dari segi finansial sesuai dengan usia perkembangannya. Dengan demikian, fenomena sandwich generation pun dapat diminimalisir dan dorongan terjadinya hustle culture pun juga dapat menghilang.


Referensi

Badan Pusat Statistik (BPS). Dependency Ratio Hasil Proyeksi Penduduk 2025-2035. bps.go.id. Diambil    dari https://www.bps.go.id/indicator/12/120/1/dependency-ratio-hasil-proyeksi-penduduk.html.

Kompas.com. (2021). Apa Itu Hustle Culture? Kenali Ciri-Cirinya. kompas.com. Diambil dari https://money.kompas.com/read/2021/12/08/160537526/apa-itu-hustle-culture-kenali-ciri-cirinya?page=all

Redaksi OCBC NISP. Kenali Hustle Culture, Gila Kerja yang Berdampak Buruk. ocbcnisp.com. Diambil dari https://www.ocbcnisp.com/en/article/2021/11/29/hustle-culture.

Yuliana, Sri. (2021). Comparison of Child Health between Sandwich Generation and Non-Sandwich Generation. Jurnal Populasi., Pg. 33-51., Vol. 29 Issue 1. Diambil dari https://pdfs.semanticscholar.org/4252/26122336ad13482de9434d0522f749ca8f9c.pdf


Teks: Anggi Reygina Almas (FISIP UI 2019)
Ilustrasi:
Editor: Dimas Rama S. W.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!