Evaluasi Penerapan PJJ: Kualitas Pendidikan Alami Degradasi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Februari 2021
4 menit

Pada Kamis (25/2), BEM Universitas Indonesia menyelenggarakan diskusi publik terkait evaluasi penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi Covid-19 melalui kanal Youtube BEM UI. Proses pembelajaran yang berubah menjadi PJJ selama masa pandemi Covid-19, tentunya berdampak pada kualitas pembelajaran yang masih dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, diskusi publik ini bertujuan untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada selama penerapan PJJ di beberapa kampus guna mengevaluasi hal-hal yang sekiranya harus dibenahi. Diskusi publik ini dimoderatori oleh Leon Alvinda Putra, Ketua BEM UI 2021, dan diisi oleh beberapa pembicara yang merupakan perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas.

Marshal Nizar Ismail selaku perwakilan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan beberapa permasalahan yang terjadi pada penerapan PJJdi UGM, di antaranya adalah permasalahan finansial dan akademik. Marshal menyoroti permasalahan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT), ia mengeluhkan tidak adanya transparansi dari pihak kampus terkait serapan alokasi untuk penyesuaian dan keringanan UKT. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa mahasiswa IUP, Pasca Sarjana dan Profesi juga tidak terlibat dalam kebijakan keringanan UKT tersebut. Marshal menambahkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam penyaluran informasi, pengajuan, hingga verifikasi UKT masih minim adanya. Menurutnya, informasi mengenai UKT belum tersebar secara masif dan masih sangat minim di kalangan mahasiswa.

Pada bidang akademik, Marshal mengungkapkan beberapa permasalahan di antaranya metode pembelajaran yang belum terlaksana secara adaptif, tidak ada pedoman baku untuk memandu aktivitas akademik bagi dosen, minimnya fasilitas penunjang PJJ bagi mahasiswa, belum maksimalnya pelayanan konsultasi kesehatan mahasiswa, dan minimnya bantuan kepada mahasiswa rantau yang terdampak. “Ini belum adaptif, di mana banyak aktivitas akademik dan juga praktikum yang bisa diterapkan secara online dan pembelajarannya belum adaptif, yang akhirnya mengakibatkan salah satu ketakutan terbesar, mungkin secara masif ini adalah degradasi kualitas pendidikan kita,” ungkap Marshal. Meskipun masih ada banyak hal yang harus dievaluasi dari penerapan PJJ ini, mahasiswa UGM telah melakukan beberapa upaya untuk membantu permasalahan diantaranya mendirikan posko bantuan Covid-19 (bersama rektorat dan partner), bantuan pembayaran UKT, dan pelayanan kesehatan.

Melanjutkan Marshal, Fatir Kasim, perwakilan dari Universitas Hasanuddin (Unhas), juga menyoroti permasalahan finansial yang terjadi di kampusnya. Fatir mengungkapkan bahwa BEM Unhas telah berupaya menanggulangi permasalahan dengan membangun komunikasi dengan rektorat secara intensif. Ia mengatakan bahwa rektorat telah memberikan bantuan dengan mengeluarkan kebijakan subsidi kuota, kebijakan keringanan UKT, dan kebijakan khusus bagi mahasiswa semester akhir. Fatir mengatakan bahwa bantuan subsidi kuota yang diberikan tidak komprehensif karena hanya diberikan untuk mahasiswa s1 saja dan bantuan tersebut sangat kecil sehingga belum terlihat dampak yang signifikan. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa bantuan keringanan UKT dilakukan dengan memberikan potongan sesuai masing-masing golongan seperti yang disebutkan dalam surat keputusan rektor. Bantuan tersebut bersifat variatif dan proses verifikasinya mendapat respon negatif berupa penolakan. Pada akhirnya, pihak mahasiswa meminta kompensasi khusus bagi mahasiswa semester akhir kepada rektorat. Permohonan tersebut kemudian menghasilkan kebijakan baru bagi mahasiswa semester akhir berupa keringanan UKT.

Sama seperti UGM dan Unhas, Raffy Nugraha sebagai perwakilan dari Universitas Brawijaya (UB), mengungkapkan permasalahan finansial yang terjadi yaitu permasalahan kuota daring dan persoalan UKT. Raffy mengungkapkan bahwa permasalahan kuota adalah permasalahan paling mendasar dan pihak kampus juga tidak memberikan subsidi kuota. Selain itu, Raffy juga menyoroti permasalahan transparansi UKT pada masa proses validasi pengajuan keringanan UKT dan juga transparansi keuangan kampus itu sendiri di masa pandemi. Alih-alih memberikan keringanan pada mahasiswa, pihak kampus justru memberikan opsi cuti kuliah bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT. Raffy berpendapat bahwa hal tersebut bersifat tidak manusiawi dan bukanlah sebuah solusi dari permasalahan UKT. “Bagi saya sendiri, cuti itu bukanlah sebuah solusi karena cuti itu sendiri menjadi beban akademik dan juga menjadi beban finansial untuk pembayaran UKT di semester selanjutnya,” jelas Raffy. Menanggapi permasalahan ini, mahasiswa UB menginisiasi suatu gerakan alternatif yaitu gerakan filantropi yang merupakan gerakan pengumpulan donasi bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT. Gerakan tersebut berhasil mengumpulkan total 120 juta rupiah dalam kurang lebih lima hari dan sudah disalurkan kepada lima puluh mahasiswa yang membutuhkan dari 150 pendaftar gerakan filantropi.

Berbeda dengan ketiga kampus sebelumnya, Rasya Ramadhania yang merupakan perwakilan dari Universitas Nasional (Unas), mengungkapkan bahwa perkuliahan daring pernah dilakukan di kampusnya secara berkala sebelum masa pandemi Covid-19 meskipun dianggap tidak relevan. Rasya juga mengungkapkan bahwa di masa pandemi ini, kampusnya sangat tidak berpihak pada mahasiswa. Berbagai himpunan yang meminta keringanan UKT malah terancam untuk dibekukan. Selain itu, terdapat diskriminasi terkait kebijakan penurunan UKT yaitu adanya peraturan tertentu bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan keringanan, seperti harus memiliki IPK di atas angka tiga, adanya surat PHK, surat keterangan tidak mampu, dan sebagainya. “Hal itu kan yang memang terlalu diskriminatif bagi kita semua, karena kan yang memang terkena dampak pandemi itu bukan hanya orang-orang yang memang menengah ke bawah. Semua itu terdampak, mau itu orang Jakarta atau orang rantau itu terdampak, khususnya ini ya di Universitas Nasional,” ungkap Rasya.

Kontribusi mahasiswa tentunya sangat penting dan dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Raffy berpendapat bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan mahasiswa dalam menangani permasalahan ini adalah dengan membuat gerakan alternatif. Salah satu gerakan alternatif yang dapat dilakukan adalah penggalangan dana seperti yang sudah dilakukan oleh teman-teman Universitas Brawijaya melalui gerakan filantropi. Selain itu, Marshal juga menambahkan bahwa diskusi-diskusi publik seperti yang diselenggarakan BEM UI ini penting adanya untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa atas permasalahan yang terjadi. Ia juga mengatakan bahwa basis data yang kuat juga diperlukan dalam mengadvokasikan masalah ini pada rektorat. Marshal berpendapat bahwa cara yang paling minim untuk ikut serta membantu menyelesaikan permasalahan adalah turut menyampaikan informasi terkait permasalahan finansial dan akademik yang ada di kampus. “Permasalahan ini ada dan harus ditangani bersama. Oleh karena itu, ayo kita sebarkan informasi sebesar-besarnya bahwa permasalahan UKT dan pendidikan ini adalah masalah yang urgent supaya mereka peduli dan mau beraksi,” pungkas Marshal.

Penulis: Rachelyn Maharani
Foto: Rachelyn Maharani
Editor: Syifa Nadia Rahmawati

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!