MVP Kuarter Kedua Dunia Perfilman 2023: Everything Everywhere All At Once (2022)

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 Agustus 2023
19 menit

Liburan musim dingin telah tiba, Setengah paruh dari tahun 2023 telah terlewati. Menutup semester genap perkuliahan kali ini, kami mengajak Sumates untuk mengingat kembali salah satu hal paling memorable yang terjadi dalam kancah dunia perfilman di tahun ini.

12 Maret 2023 menjadi hari yang akan terus dikenang di dunia perfilman layar lebar. Piala OSCAR ke-95 berhasil dilaksanakan dengan hikmat untuk mengapresiasi film-film yang dirilis selama tahun 2022. Film Everything Everywhere All at Once menjadi salah satu dari sebelas nominasi yang secara signifikan menonjol dengan raihan kemenangannya dalam tujuh nominasi, di antaranya Best Picture, Best Director, dan Best Original Screenplay untuk Daniel Kwan dan Daniel Scheinert selaku sutradara film ini, tiga dari empat penghargaan akting, dan Best Film Editing untuk Paul Rogers selaku penyunting film ini.

Tentu, film ini tidak tayang begitu saja, lalu sekonyong-konyong memenangkan penghargaan-penghargaan tersebut. Terkadang, hujan emas datang dari balik awan paling pekat dan hitam., film ini berani mengadu taring menggunakan tema multiverse, tema besar yang masih asing, sangat kolosal sehingga sebenarnya terbilang sulit untuk digarap para pekerja seni.. Marvel Studios, salah satu studio film terbesar di industri perfilman dunia  dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, sudah beberapa kali menyicip bagaimana rasanya menginjakkan kaki pada lantai suci multiverse dan bisa dikatakan beberapa kali terpeleset sendiri. Sedangkan bagi Everything Everywhere All at Once, bisa dikatakan film ini secara ajaib berhasil memukul banyak studio film besar di dunia dengan hanya satu kali tembakan.

Banyak sekali aspek yang sangat menarik untuk diperhatikan, misalnya bagaimana film ini dibuat dengan anggaran yang tidak lebih besar dari satu episode Stranger Things dan tim editor film ini nyatanya beranggotakan sembilan orang dan tidak ada satu pun di antara mereka yang pernah bersekolah film sebelumnya. Murni mengandalkan Youtube sebagai tempat mereka belajar mengedit film. Di lain sisi, nyatanya film ini sarat akan pesan filosofis yang begitu mendalam dan patut untuk kita sebagai khalayak ketahui bagaimana pesan yang sejatinya ingin disampaikan oleh sang sutradara dan penulis film ini, The Daniels.

Dengan telaah mendalam, tema besar multiverse dalam industri karya seni pun ternyata menarik sekali untuk dibincangkan mengingat tema ini seakan menyediakan ruang bagi siapa pun untuk berkreasi tanpa adanya batasan kreativitas. Apalagi secara saintifik, sebetulnya belum ada landasan yang mutlak akan kebenarannya sehingga  pelaku seni dapat membebaskan pikiran dan imajinasinya dalam membuat teori pembenaran akan realitas multiverse ini.

KETUA SINEM UI: MELEPAS BATASAN LOGIKA, MENJELAJAHI MULTIVERSE DALAM DUNIA FILM

Penggunaan multiverse sebagai genre utama dari sebuah film menandakan keinginan sang kreator untuk melampaui batasan logis dan kemauan sang kreator pula untuk memanjakan imajinasinya yang liar. Setidaknya hal ini disetujui oleh Fatan, Mahasiswa Universitas Indonesia yang sekarang sedang menjabat sebagai ketua dari UKM Sinematografi UI 2023.

Multiverse bisa menjadi jalan alternatif unggulan bagi plot-plot sulit yang ingin diceritakan. Avengers: Endgame salah satu contoh konkritnya. Saat Marvel Studios ingin membuat puncak dari saga 3 phase MCU yang telah dibuat sekitar 20 tahun, multiverse seakan menawarkan jalan indah dengan memainkan jiwa emosional penonton yang selain diajak berpetualangan dengan seru, juga bernostalgia dengan menghadirkan partikel-partikel yang menunjang kemesraan antara pihak penonton dan studio selama 10 tahun bertumbuh.

Hadirnya film Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023) dan The Flash (2023) yang menemani liburan musim dingin tahun ini pun menjadi bukti bahwa genre multiverse masih bisa mengemuka dengan keunikan masing-masing kreator dalam menampilkan wajah kreativitasnya.

Everything Everywhere All at Once menggunakan kebebasan yang ditawarkan multiverse dengan sangat baik. Komposisi yang digunakan mulai dari pemilihan cerita utama bahwa variant paling lemah dari sang tokoh utama adalah satu-satunya variant yang bisa mengalahkan penjahat utama hingga bagaimana kreatifnya para kreator film ini dalam membuat variant-variant semesta di film ini sangat memanjakan mata dan hati para penikmatnya. Dukungan dari visual yang dikeluarkan saat climax fighting scene, kemegahan scoring yang disajikan, dan indahnya permainan teknikal pengambilan shot dari semesta satu dan lainnya membuat kebebasan yang disajikan tampak sempurna.

Lantas, apa yang membuat penceritaan Everything Everywhere All at Once unggul begitu jauh dari film bergenre multiverse lainnya? Fatan menilai bahwa untuk membangun film yang baik, dalam genre apa pun, aspek penceritaan harus tetap dinomorsatukan dan Everything Everywhere All at Once sukses membawakan aspek fundamental ini dengan sangat tepat dan indah.

“Serumit apa pun film kita, asalkan kita bisa membangun character development yang kuat, hubungan antartokoh yang emosional, dan cerita yang jelas dalam penyampaiannya, penonton mana pun akan bisa menikmatinya,” ungkap Fatan dalam menjelaskan pentingnya penceritaan.

“Sebaik apapun suatu karya seni, dalam aspek apa pun, kalau cerita utamanya kurang matang, akan tetap jelek,” lanjutnya menjelaskan.

Dari segi teknikalitas, Fatan mengungkapkan pentingnya masa pra-produksi dan intimasi dan seberapa passionate para pembuat film bagi kesuksesan film ini. Fakta bahwa film ini mulai diinisiasi pada tahun 2010 dan mulai ditulis pada 2016 tentu cukup menjelaskan bagaimana kuatnya pengembangan film ini pada masa pra-produksi.

Hal inilah yang setidaknya cukup menjelaskan bagaimana faktanya film ini hanya dibuat dengan anggaran 14,3 juta dolar, yang mana jika dibandingkan, anggaran ini hanya 1/14 dari perkiraan anggaran Doctor Strange in the Multiverse of Madness. Fatan mengungkapkan bahwa anggaran suatu film tidak berbanding lurus dengan kesuksesan suatu film.

Apresiasi dalam segi teknikalitas film ini tidak berhenti pada kuatnya fase pra-produksinya. Dengan persiapan yang dibilang sangat matang ini, lagi-lagi cukup menjawab fakta bagaimana tahap produksi film ini hanya dilakukan selama 38 hari. Hal ini menandakan bahwa dengan persiapan yang matang inilah dapat melahirkan efisiensi dalam tahap produksinya.

Output yang dihasilkan pun sangatlah menggambarkan suatu paduan kreativitas yang dikelola dari sebuah tim secara maksimal. Bahkan hal kecil seperti penggunaan rasio yang sejatinya tidak pernah ada aturan kaku seperti yang dilakukan film-film lainnya sangat menarik untuk diperhatikan, bagaimana sejatinya dalam film ini, rasio akan tetap penuh 16:9 saat cerita berjalan tanpa interupsi dari karakter-karakter dari Alphaverse. The Daniels sangat jelas hanya ingin menggunakan rasio 1.85:1, yang mana standar digunakan film-film Hollywood, untuk memenuhi kebutuhan sinematik fighting scene.

Semuanya seakan dikemas dengan sangat tepat. Dari segi casting, merupakan fakta menarik bahwa awalnya film ini sempat mengincar Jackie Chan sebagai karakter utamanya dan Awkwafina sebagai pemeran Joy. Namun, terbukti dengan ketiadaan dua mega bintang tersebut, karakter yang dihadirkan membawa kesan emosional yang mendalam dan tampak sempurna berlaga dalam filmnya.

“Kalau misalnya Michelle Yeoh diganti dengan yang lain, siapa pun itu, menurut gua tidak akan sesukses ini,” ucap Fatan menanggapi hal ini.

Mengingat anggaran yang dipatok dalam film ini yang tidak terlalu besar, bisa dikatakan merupakan keputusan brilian menggaet Michelle Yeoh untuk memerankan tokoh utama di film ini. Michelle Yeoh adalah legenda hidup yang masih eksis di dunia sinema abad ke-21 ini. Bahkan, pada tahun 2008, seorang agregator Rotten Tomatoes sempat menyematkan Michelle Yeoh gelar sebagai The Best Action Heroine.

Hal tersebut sejalan dengan karirnya dalam industri sinema yang bila diperhatikan lagi penuh dengan proyek-proyek blockbuster. Dalam resume ikoniknya, bisa kita lihat Michelle berhasil bermain dalam film-film klasik yang diakui secara kritis seperti Memories of a Geisha (2005) dan Crazy Rich Asians (2018). Ia juga berhasil mengambil peran bersama Jet Li dalam The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor (2008) dan pun bersama Jackie Chan dalam Police Story 3: Supercop (1992). Bahkan, dalam Marvel Cinematic Universe, Michelle sudah berhasil memerankan 2 karakter, sebagai Aleta Ogord dalam Guardians of the Galaxy vo. 2 (2017) dan sebagai Ying Nan dalam Shang Chi and the Legends of Ten Rings (2021). Perlu digarisbawahi hanya ada sekitar 10 orang di dunia yang telah diamanahkan untuk memerankan hingga dua karakter dalam Marvel Cinematic Universe.

BAHASAN FILOSOFIS EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE (2022)

“Mentalitas eksistensialis yang dipermasalahkan di film ini, itu yang bikin film ini selangkah lebih maju (di antara film-film bergenre multiverse lainnya),” ucap Dzu, salah seorang mahasiswa prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia.

Eksisnya film Everything Everywhere All at Once dalam kancah box office di tengah banyak film lain dengan produksi yang jauh lebih besar yang mengambil tema serupa seakan memancing pertanyaan, “Apa aspek yang membuat film ini unggul begitu mutlak di antara film lainnya?” Bahasan filosofis ini dihadirkan sebagai usaha memberikan keterangan mutlak bahwa film ini secara menakjubkan berhasil mengompilasikan berbagai aspek sehingga mengemuka sebagai film yang bisa dibilang nyaris sempurna.

Pada Kamis (06/04) kami berhasil mewawancarai Dzu, seorang mahasiswa dengan ketertarikan dalam bidang perfilman dan sedang menempuh pendidikan di prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia. Kami setidaknya tertarik untuk membahas aspek filosofis yang menurut kami seakan timbul sebagai aspek yang membuat film ini unggul di antara film lainnya.

  1. Pengambilan Latar Belakang

Dari cara film ini mengambil tema dasar, memang terlihat film Everything Everywhere All at Once tidak begitu digerakkan oleh kemasukakalan, logika, atau pun kerealistisan. Fokus film dibuat tidak begitu condong ke ranah saintifik. Teknologinya diceritakan hadir begitu saja dengan tak adanya penjelasan yang begitu struktural nan sistematis. Di luar itu semua, sebuah keputusan yang baik bahwa fokus film ini dialihkan pada permasalahan jati diri yang begitu mengakar.

Pengambilan latar belakang kehidupan seorang chinese imigran di Amerika dalam film ini pun merupakan poin menarik bila lebih diperhatikan lagi. Memang sulit untuk tidak mengasumsikan jika hal ini bukanlah agenda politik akan representasi tersendiri, mengingat memang ada beberapa produk yang hadir di industri hollywood yang juga mengangkat kehidupan seorang minoritas sebagai latar belakang utamanya. Crazy Rich Asians (2018) dan Turning Red (2022) merupakan salah dua contoh, walaupun memang tidak ada yang tahu pula apakah agenda politik merupakan faktor utama dari kehadiran film-film ini.

Di sisi lain, menurut Dzu sendiri, di luar apakah hal ini merupakan agenda politik atau bukan, pengambilan latar belakang seorang chinese yang memutuskan untuk menjadi imigran ke Amerika Serikat adalah langkah yang sangat tepat karena sejatinya film ini ingin menggambarkan bagaimana pilihan seseorang, baik besar maupun kecil, bisa menjadi akar dari segala cabang kemungkinan permasalahan yang bisa terjadi di kemudian hari. “Apa lagi yang lebih mempresentasikan (permasalahan) pilihan selain (kehidupan seorang) imigran?” Tanya Dzu untuk memperjelas pernyataannya.

  1. Nihilisme vs Eksistensialisme

Nihilisme dan eksistensialisme kurang lebih adalah pandangan filosofis terhadap kebermaknaan kehidupan yang mana keduanya berasal dari penilaian bahwa sejatinya dunia hadir apa adanya. Manusia tidak secara primordial diprogram melakukan berbagai hal. Perbedaannya, nihilisme berhenti pada titik di mana individu tidak memberi penilaian apa-apa terhadap dunia. Bukan berarti dunia ini dinilai buruk karena tidak memiliki makna apa-apa, tetapi pemikiran ini berhenti pada kebebasan yang dilandasi kehampaan batin karena kesadaran bahwa dunia ini tidak bermakna apa-apa.

Sedangkan bagi eksistensialisme,  aspek normatif tetap eksis. Dengan dunia yang cukup hampa ini, manusia masih tetap bisa melangkah maju. Justru dengan merangkul fakta bahwa dunia adalah hampa tanpa makna, manusia masih bisa memberikan makna pada kehidupannya sendiri, khususnya pada tindakan yang ia ambil. Seorang eksistensialis melakukan rebellion. Walaupun mereka tahu bahwa yang mereka lakukan mungkin tidak ada maknanya di hadapan masifnya dunia, tetapi mereka lari dari fakta itu dan tetap menjalani kehidupannya seperti biasa dengan memaknai sendiri apa yang dilakukannya dalam kesehariannya.

Kedua kubu pemikiran ini terlihat berusaha disampaikan dengan begitu eksplisit dalam Everything Everywhere All at Once. Saat Jobu Tupaki diceritakan berhasil melihat eksisnya multiverse, ia digambarkan menilai tindakannya tidak akan memiliki makna apa-apa karena sejatinya dunia ini terlalu luas. Dengan dasar pemikiran ini, Jobu Tupaki merasakan kebebasan dalam kehampaan dunia ini. Akhirnya, dalam luasnya multiverse, ia mencari Evelyn yang memiliki daya otak yang sama besarnya dengan dirinya untuk melihat betapa masif dunia ini sebenarnya dan mengharapkan setidaknya jika ia tidak mendapatkan pandangan lain selain nihilisme ini, ia ingin ditemani untuk menuju pada kegelapan nihilisme itu yang disimbolkan sebagai bagel.

Akhirnya, walaupun Evelyn pada awalnya berpikir serupa, yang mana ia setuju bahwa dunia ini memang terlalu luas untuk hanya memikirkan satu aturan norma kecil saja, ia mulai memaknai kembali kehidupan itu setelah jiwa altruistik Waymond mulai menginterupsi pemikirannya. Scene di mana Waymond memohon kepada semua orang untuk berbuat baik setidaknya saat kita tidak tahu mau berbuat apa merupakan titik mula di mana Evelyn melangkah menuju eksistensialisme dan mulai memasuki fase penerimaannya-nya.

“I know you’re all fighting because you’re scared and confused. I’m confused too. All day, I don’t know what the heck is going on! But, somehow, this feels like it’s all my fault. I don’t know. The only thing I do know is that we have to be kind. Please be kind, especially when we don’t know what’s going on!” Ucap Waymond dalam filmnya yang mana sangat menunjukkan altruisme yang ia pegang.

Sebenarnya, pemikiran eksistensialisme tidak begitu selalu membawa segala hal ke arah kebaikan seperti ini. Everything Everywhere All at Once membawa eksistensialisme ke ranah dialog “Memang apa salahnya untuk berbuat baik? Setidaknya dengan berbuat baik, kita bisa memberi makna pada kehidupan kita sendiri!” Namun, kembali lagi tidak ada salahnya untuk membawa pemikiran eksistensialisme ke arah ini.

Mungkin bisa dibilang satu-satunya kesalahan yang diambil oleh film ini dari segi filsafat adalah mendistingsi antara eksistensialisme dan nihilisme ini sebagai protagonis dan antagonis. Hal ini tentu tidak bijak secara filsafat, menilai sebuah pemikiran adalah buruk dan baik, apalagi seakan menyampaikan kepada penonton bahwa untuk menjadi bahagia sepenuhnya, tindakan kita harus difondasikan oleh pemikiran eksistensialisme.

Namun, menurut Dzu, hal ini baik-baik saja dilakukan. Dari sudut pandang karya seni, kita melihat film ini memang film yang dirancang untuk dinikmati oleh khalayak luas. Maka, yang harus diperhatikan lebih mendalam setidaknya pesan yang disampaikan tidak ambigu. Nihilisme jahat dan eksistensialisme baik hanyalah kompromi bagi sang sutradara untuk menyampaikan pesan moral yang jelas dan to the point.

Dzu menilai bahwa secara personal, ia pun setuju setidaknya untuk menjadi bahagia, maka seseorang harus menjadi eksistensialis. Walaupun secara objektif, ia pun tidak bisa memberikan komentar apa-apa. Bisa jadi pesan ini memang yang sejatinya merupakan propaganda yang berusaha disampaikan the Daniels, sang sutradara.

Dzu berpandangan bahwa Everything Everywhere All at Once cukup beruntung dalam hal penyampaian ini karena selain berhasil dibawakan dengan sangat baik, dunia saat perilisan film ini pun sangat mendukung. Beruntung bahwa film ini rilis di era postmodern saat banyak manusia memang merasakan segala hal sangat oversaturated. Pada akhirnya, kita dituntun untuk menilai bahwa sejatinya kita tidak bisa menaruh makna pada apa pun. Bahkan bagi segelintir orang, Tuhan pun tidak bermakna apa-apa lagi. Banyak orang yang bisa merasakan konflik yang dibawakan film ini. Secara kewaktuan, film ini rilis di waktu yang sangat tepat untuk bisa setidaknya menjadi populer dan diterima pesan filosofisnya. Bahkan, Dzu menilai bahwa bisa jadi sebenarnya film ini will not age that well. Hal ini bisa saja terjadi karena secara pesan yang disampaikan, film ini akan selalu hadir dengan label “Film Tahun 2020-an”. Mungkin di masa mendatang, pesan yang disampaikan film ini bisa jadi dinilai sepele.

Pesan yang dibawa inilah, walau menurut Dzu bukan faktor yang paling besar juga dalam memberikan kesuksesan di film ini, tetapi merupakan yang memberikan kredibilitas ke dalam filmnya secara keseluruhan. Landasan yang kuat dan pengaplikasiannya yang fun merupakan fondasi dasar kesuksesan film ini. Dengan pembawaan yang populer dan “bercanda”, khalayak senang menikmati karya ini dan dengan landasan filosofis yang kuat, kritikus pun senang dengan kehadiran karya ini.

Jika dibandingkan dengan film-film lainnya, multiverse dalam Everything Everywhere All at Once merupakan pertama kalinya yang membawa konsekuensi lebih jauh. Tidak berhenti pada pembahasan masalah-masalah di lingkup multiverse saja, film ini justru menyampaikan konsekuensi eksistensialnya. Dengan menghadirkan multiverse, yang berusaha direnungkan film ini bukanlah konflik-konflik luar semesta kita seperti kemungkinan rusaknya semesta lain ataupun kemungkinan konflik yang terjadi jika kita bisa bertemu diri kita dari semesta lain. Berbeda dari hal itu semua, film ini berusaha merenungkan jika memang multiverse ada, bagaimana kita seharusnya menyikapi jika memang artinya semua pilihan apa pun yang kita ambil sangatlah kecil di hadapan masifnya multiverse dan mungkin tidak ada maknanya. Sangat menarik melihat film ini tidak begitu berkonflik secara fisik, tetapi mendalami dengan mantap konflik pemaknaan di dalam pikiran.

SEJARAH MULTIVERSE DI DUNIA ENTERTAINMENT POP CULTURE

Kata multiverse pertama kali pada tahun 1895 disebut oleh seorang filsuf Amerika, William James dalam esainya yang berjudul Is Lige Worth Living. Namun, dalam esainya itu sebetulnya ia tidak membahas tentang bagaimana semesta-semesta lain mungkin ada di luar semesta kita ini. Dalam esainya ini, ia menghadirkan kata multiverse hanya dalam usaha menyelesaikan permasalahan makna moralitas dari fenomena yang alamiah.

Meski dalam dunia perfilman Marvel Studios terlihat menjadi penggagas dan tim produksi yang paling fokus dalam mendalami konsep multiverse dalam proyek-proyek filmnya, dalam dunia pop culture sendiri, sebenarnya konsep multiverse pertama kali digunakan dalam komik keluaran DC Comics, Flash #123 yang berjudul “Flash of Two Worlds” yang dirilis pada tahun 1961. Kata multiverse sendiri memang belum digunakan dalam komiknya kali ini, tetapi Gardner Fox, penulis komik ini, bisa dikatakan berhasil menggunakan konsep multiverse untuk pertama kalinya dengan sangat baik dalam dunia perkomikan.

Dalam komiknya kali ini, dikisahkan Barry Allen, karakter utama Flash dalam komiknya ini, sedang menghibur anak-anak dalam sebuah acara amal. Barry melakukan satu trik di mana ia tidak sengaja menggetarkan molekul-molekul tubuhnya dengan sangat cepat yang menyebabkan hilangnya Barry Allen dari tempat itu. Ternyata, Barry tersasar ke dalam satu kota yang bernama Keystone City. Tempat ini adalah tempat di mana Golden Age Flash berada. Dalam semesta Barry Allen sendiri, Golden Age Flash sendiri hanyalah merupakan tokoh komik fiksi.

Jay Garrick — nama asli Golden Age Flash — mengungkapkan sebenarnya ia sudah pensiun sebagai Flash beberapa tahun yang lalu, yang mana dalam semesta Barry Allen, ternyata bertepatan dengan diberhentikannya produksi komik Golden Age Flash. Singkat cerita, mereka harus berurusan dengan beberapa musuh dari Jay Garrick di semesta ini dan setelah berhasil, Barry Allen pun berhasil kembali ke semestanya, Earth-One.

Konsep multiverse ini sekali lagi bisa dikatakan menjadi konsep baru yang sukses meledak di pasaran pada waktu itu. Terbukti, setelah lahirnya komik “Flash of Two Worlds” tersebut, setidaknya satu tahun sekali crossover antara 2 semesta menjadi salah satu topik utama dari komik-komik Justice League of America, yang dimulai dari isu #21 “Crisis on Earth-One!” (Agustus 1963) dan memuncak di tahun 1985 dengan lahirnya miniseri Crisis on Infinite Earths.

Cover dari komik ini pun menjadi sangat ikonik yang mana menjadi referensi dari beberapa komik-komik yang diproduksi DC Comics ke depannya, seperti Flash vol. 1 #147 (Sep. 1964), Dark Horse Presents #67 (November 1992), Flash vol. 2 #123 (Mar. 1997), Impulse #70 (Mar. 2001), Flash Rebirth #5 (Jan. 2010), dan The Flash #9 (Oct. 2016).

Dampak dari masifnya popularitas “Flash of Two Worlds” tidak hanya berdampak positif pada DC Comics. Marvel Comics, rival abadi dari DC Comics sendiri, pun akhirnya mengadopsi genre multiverse ini pada 1971. Dalam Avengers #85 (1971), Marvel memperkenalkan Squadron Supreme, kumpulan superhero seperti Avengers, tetapi berasal dari semesta lain. Walaupun memulai lebih lambat, uniknya Marvel Comics menggapai puncak keemasannya berkat bahasan multiverse satu tahun lebih cepat dari DC Comics. Antusiasme pembaca akan perilisan komik Secret Wars (1984) oleh Marvel Comics diperkirakan menjadi trigger utama bagi DC Comics untuk merilis Crisis on Infinite Earths di tahun berikutnya.

Bahasan utama multiverse dalam pop culture sendiri terus melejit hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, bahkan dekade demi dekade di mana puncak komik superhero yang bertema multiverse sendiri terjadi pada Secret Wars yang kembali dirilis oleh Marvel Comics pada tahun 2015 dengan mengambil banyak referensi pada komiknya terdahulu yang dirilis pada tahun 1984.

Menurut gamesradar.com, akibat yang ditimbulkan dari seri komik ini merupakan dampak paling besar yang pernah ada terhadap berjalannya semesta utama komik Marvel. Konsekuensi-konsekuensi berat terjadi seperti masuknya Miles Morales dan beberapa karakter ultimate lainnya ke semesta utama Marvel dan keputusan Reed Richards dan keluarganya untuk tetap berada di pocket dimension yang menyebabkan berjalannya semesta utama Marvel tanpa Fantastic Four selama bertahun-tahun.

Dengan melihat sejarah perkembangan multiverse dalam dunia perkomikan, terlihat hal yang menarik jika kita sandingkan dengan perkembangan multiverse dari sisi sains sendiri.

Pada tahun 1957, fisikawan bernama Huge Everett III mengusulkan gagasan tentang interpretasi akan adanya banyak dunia atau yang ia singkat menjadi MWI (Many-Worlds Interpretation). MWI adalah ide yang terdengar bodoh pada waktu itu, bahkan hingga membuat Everett dikucilkan di bidangnya karena membawa gagasan tersebut. Idenya tidak digubris sedikit pun hingga penemuan Dekoherensi Kuantum pada tahun 1970 yang membuka kemungkinan akan benarnya asumsi yang dibawakan Everett 13 tahun sebelumnya. Pun hingga saat ini, sejatinya tidak ada yang bisa memastikan kebenaran multiverse secara saintifik.

Uniknya, selama Everett secara susah payah mengemukakan gagasannya, DC Comics secara tidak sengaja menggambarkannya dalam komiknya. Saat sisi saintifik menolak dan menganggap gagasan multiverse adalah ide yang bodoh, dunia perkomikan justru mempromosikan konsep multiverse ini hingga popularitasnya tertanam dalam benak masyarakat. Dengan dasar status konsep multiverse di tangan sains yang awalnya sulit sekali digubris ini, bisa diasumsikan jika DC Comics tidak mengeluarkan ide tentang konsep multiverse untuk menjadi bahasan dalam komiknya, kita bisa jadi tidak akan mengenal apa itu istilah multiverse sendiri.

Demikian pula, tentunya genre multiverse ini merambah tidak hanya di dunia komik, tetapi juga masuk ke dalam dunia perfilman. Sudah banyak film-film box office yang bergenre multiverse dan bisa dikatakan berhasil menyita bahkan memanjakan mata para penikmat film. Yang tertua contohnya adalah film The One (2001). Film ini menceritakan petualangan Jet Li dalam menyeberangi banyak semesta untuk menjalankan misinya sebagai agen.

Selain itu, terdapat juga Happy Death Day 2U (2019) yang uniknya mengelaborasi tema utama multiverse dalam genre thriller. Diceritakan seseorang berusaha membunuh semua teman dekatnya dengan mempelajari sains tentang kemungkinan menjelajahi multiverse.

Hingga akhirnya pada 2018, Sony merilis film comic-based superhero pertama yang menggunakan konsep multiverse sebagai konflik utamanya, di mana dalam film ini kita dapat melihat tujuh Spider-man dari semesta yang berbeda berinteraksi dan bekerja sama dalam menghadapi Kingpin dan kawan-kawannya. Lalu, akhirnya di tahun berikutnya, Avengers: Endgame (2019) hadir menjadi puncak film comic-based superhero yang menggunakan konsep multiverse, yang mana merupakan film terlaris ke-2 sepanjang masa.

Kemunculan Everything Everywhere All at Once (2022) sendiri sejatinya tidak pernah diduga dan tidak ada pula yang menunggu-nunggu. Namun, sejak diumumkannya trailer dari film ini pada Desember 2021, kemunculannya barulah digadang-gadang menjadi tamparan besar yang menyakitkan bagi produksi-produksi besar seperti DC dan Marvel yang mana pada akhirnya begitulah kenyataannya.

MELIRIK MULTIVERSE MELALUI PERSPEKTIF LAIN
Tentu menarik untuk mengamati kelanjutan dari konsep multiverse dalam bentuk film layar lebar dengan perspektif dan kreativitas lain. Saat ini, Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023) dan The Flash (2023) merupakan dua pilihan menarik jika ingin menikmati angin segar konsep multiverse. Ditambah, kedua The Flash (2023) masih hadir dalam bioskop di Indonesia sehingga Sumates masih memiliki kesempatan untuk menikmatinya dengan experience yang maksimal!

Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023) berhasil menampilkan 240 Spider-Man berbeda dalam satu film. Ini menjadi hal paling gila yang pernah dilakukan di dalam industri perfilman karena dalam film sebelumnya pun - Spider-man: Into the Spiderverse (2018) - hanya berhasil membawakan tujuh variant Spider-Man. Suatu perkembangan yang sangat masif. Selain itu, film ini berhasil menampilkan enam semesta dengan enam gaya animasi yang berbeda.

Lalu, film ini pun dikonfirmasi akan satu lagi sekuel sebagai penutup yang akan dirilis sekitar pada antara tahun 2025 dan 2026. Hal ini serupa dengan yang dilakukan Marvel Studios dalam membuat Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019), mengindikasikan alur cerita yang luar biasa kolosal sedang berusaha dibentuk sehingga filmnya harus dipecah menjadi dua bagian. Dilansir dari outlookindia, Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023) akan dirilis secara digital pada tanggal 18 Juli 2023, meskipun belum jelas dalam platform apa film ini akan hadir.

Jika tidak ingin lama menunggu perilisan digital Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023), Sumates masih bisa menikmati The Flash (2023) yang masih hadir dalam bioskop tanah air. Disutradarai oleh Andy Muschietti, The Flash (2023) ditujukan untuk me-reboot DC Universe yang kabarnya sangat kacau di belakang layarnya. Konflik yang diawali dengan pergantian sutradara dalam film Justice League ini seakan tidak menuju titik terang, ditambah keluarnya aktor penting dari karakter-karakter utama seperti Ben Affleck sebagai Batman dan Henry Cavill sebagai Superman membuat situasi semakin buruk.

Mengadaptasi komik Flashpoint (2011), film ini menyuguhkan perjalanan Barry Allen yang ingin hidup di semesta lain di mana ibunya masih hidup. Namun, tentu perjalanannya tidak mulus. Barry diceritakan mengambil risiko dengan level multiversal di mana Sumates akan disuguhkan banyak adegan visual menarik dengan tidak ketinggalan cameo yang selain menghibur juga memang dibawakan dengan sangat baik dan porsi yang pas.

Walaupun kasus yang menerjang aktor dari Flash sendiri, Ezra Miller, belum kunjung  selesai, film ini patut kita apresiasi perilisannya karena selain Sumates bisa melihat dua Flash beraksi dalam satu layar, Sumates juga akan menyaksikan Ben Affleck sebagai Batman untuk terakhir kalinya ditambah Michael Keaton yang kembali berperan sebagai Batman juga yang diceritakan berada di semesta lain. Selain itu, dalam semesta Barry Allen pergi juga akan dihadirkan Supergirl yang akan melawan General Zod.

Genre multiverse pun tampaknya akan memiliki masa depan yang cerah dan masif melihat megaproyek Phase 5 dan 6 dari Marvel Cinematic Universe. Marvel Studios kali ini tampak sangat bersemangat membawakan konsep multiverse dalam proyek-proyek Marvel Cinematic Universe (MCU) di masa mendatang. Dalam 2023 ini kita sudah disuguhkan dengan film yang mengandung premis mayor dari konflik besar yang menanti para Avengers Ant-Man and the Wasp: Quantumania (2023). Ke depannya, tentunya ada beberapa proyek yang patut kita tunggu mengingat keseriusan Marvel Studios dalam mengarungi konsep multiverse ini.

Pertama, di luar perfilman layar lebar, kita akan disuguhkan dengan Loki Season 2 yang akan dirilis di Disney+ sekitar pada bulan September 2023. Diperkirakan serial ini merupakan kelanjutan langsung dari film MCU yang terakhir rilis, Ant-Man ant the Wasp: Quantumania, karena dalam after credit scene film ini terdapat cuplikan langsung dari Loki Season 2 sendiri.

Selain itu, sekuel ketiga Deadpool yang kali ini diproduksi oleh Marvel Studios juga menarik untuk ditunggu. Video promosi yang dipublikasi Ryan Reynolds sempat menggemparkan dunia karena mengonfirmasi kehadiran kembali Hugh Jackman sebagai Logan atau yang lebih dikenal sebagai Wolverine. Kehadirannya ini menjadikannya sebagai aktor dengan peran terlama yang dimainkannya.

Di sisi lain, direct telah mengonfirmasikan bahwa dalam film ini akan kembali menghadirkan Mobius dan Miss Minutes dari serial Loki. Hal ini memancing para fans untuk berteori bahwa film ini akan menampilkan petualangan antar-universe seorang Deadpool dan Wolverine ditambah beberapa sumber juga memberikan rumor bahwa Hugh Jackman tidak akan hanya memerankan satu varian Wolverine.

Perlu dicatat, juga telah dikonfirmasi direct, Morena Baccarin, aktris dari karakter Vanessa, Karan soni, aktor dari karakter Dopinder, Leslie Uggams, pemeran Blind Al, dan masih banyak lagi akan kembali bermain dalam film ketiga Deadpool ini, melanjutkan peran dari dua film sebelumnya meski sekuel ketiga Deadpool ini  telah berpindah produksi ke Marvel Studios. Kabar-kabar ini secara tidak langsung mengacaukan asumsi-asumsi dalam bentuk seperti apa film ini akan dihadirkan. Kalaupun Deadpool dalam film ini sejatinya adalah yang baru dan jelas-jelas berbeda dari yang ada dalam kedua film sebelumnya, dengan kehadiran banyak karakter lama tanpa recast ini menandakan keseriusan pihak Marvel Studios yang ingin menyuguhkan Deadpool tanpa mengubah nuansa substansial dari kedua film sebelumnya.

Yang terakhir, diperkirakan konflik per-multiverse-an dalam MCU ini akan terus berlanjut hingga memuncak pada Avengers: Kang Dinasty dan Avengers: Secret Wars yang sama-sama akan dirilis pada tahun 2025. Belum banyak yang telah dikonfirmasi dari kedua film megaproyek Marvel Studios ini. Yang pasti, fans sangat mengharapkan kemunculan Fantastic Four dan X-MEN. Jika Marvel Studios mampu menghadirkan tiga tokoh live action Spider-Man dalam satu frame suatu film layar lebar, tentu dalam film dengan judul Secret Wars ekspektasi fans sangatlah tinggi melihat bagaimana gila alur komik dengan judul serupanya berjalan.

Tentu proyek-proyek ini patut kita apresiasi dan tunggu perilisannya. Selain karena produksi-produksi besar ini pada hakikatnya seharusnya sudah cukup merasa tertampar oleh hadirnya Everything Everywhere All at Once, seharusnya memang banyak yang bisa diharapkan. Apalagi, mengingat tidak ada lagi halangan pandemi saat produksi film dan seiring berjalannya waktu, sudah sepatutnya produksi-produksi besar tersebut belajar dari kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu.

Teks: Shalihuddin Taufiqurrahman
Editor: Chris Wibisana
Desainer: Kejora Sava

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!