Logo Suma

Feminisme dan Pendidikan untuk Masyarakat Adil dan Setara

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 Agustus 2025
3 menit

Kesadaran akan pentingnya ruang aman dan setara bagi perempuan tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh melalui pendidikan, pengalaman, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Menyoroti isu tersebut, bersamaan dengan akhir seleksi program Toeti Heraty Scholarship (THS) 2025, Yayasan Toeti Heraty Roosseno (YTHR) dan Yayasan Jurnal Perempuan menggelar Publikasi Penerima THS 2025 dan Diskusi Publik bertajuk "Dari Ruang Kelas ke Ruang Perlawanan: Feminisme sebagai Proyek Emansipasi Sosial" pada Kamis (24/7).

Program kerja sama antar dua yayasan ini telah memberikan pembiayaan studi secara konsisten sejak empat tahun terakhir kepada perempuan yang menempuh pendidikan di program studi Filsafat dan Kajian Gender, serta mahasiswa afirmasi Indonesia Timur yang menempuh pendidikan di bidang sosial-humaniora.

Beasiswa Toeti Heraty merupakan kelanjutan dari perjuangan almarhumah Toeti Heraty, Guru Besar Departemen Filsafat Universitas Indonesia (UI), dalam membela kaum marginal, mengembangkan feminisme, serta mengupayakan keterhubungan konteks yang erat antara seni, filsafat, dan gerakan perempuan. Menurut Toeti, filsafat dan gender bukan sekadar bidang kajian, melainkan kunci untuk memahami dan mengubah dunia.

Toeti Heraty merupakan seorang penyair, dosen, pakar filsafat dan kebudayaan. Toeti menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran UI (1951–1955) dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1955–1962). Selain itu, Toeti juga menempuh pendidikan di Jurusan Filsafat, Rijks Universiteit, Leiden, Belanda dan lulus pada tahun 1974.  

Pada tahun ini, terdapat 10 penerima THS dari berbagai jenjang pendidikan, yakni Strata-1 (S-1) dan Strata-2 (S-2). Sebagai salah satu penerima THS 2025 yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Magister Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Lisa Febriyanti mengungkapkan bahwa menerima beasiswa atas nama Toeti Heraty berarti menerima warisan keberanian untuk terus berpikir kritis, merasakan, dan membuat perubahan.

Di sisi lain, diskusi publik yang turut diselenggarakan menghadirkan Musdah Mulia, seorang akademisi, feminis, dan ulama perempuan Indonesia, sebagai pembicara yang menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan setara dapat dibangun melalui pendidikan dan feminisme.

Publik tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga turut berpartisipasi dalam membentuk arah gerakan feminisme ke depannya, dan menjadikan ruang kelas sebagai ruang perlawanan ketidakadilan.

Gerak Feminisme dalam Mewujudkan Emansipasi Sosial

Feminisme tidak hanya soal membela perempuan, tetapi upaya melawan ketidakadilan dan membebaskan masyarakat dari struktur penindasan yang mengakar di berbagai lini kehidupan. Musdah memaparkan bahwa feminisme dan agama tidak perlu dipertentangkan, tetapi dapat menjadi sekutu dalam perjuangan keadilan sosial.

“Bagi saya feminisme Islam itu tidak menentang, apalagi meninggalkan ajaran agama, melainkan sebetulnya kita menggali akar substansi Islam yaitu keadilan dan kesederajatan semua manusia,” terang Musdah.

Ia turut menegaskan bahwa feminisme bukan anti-agama, melainkan gerakan yang membongkar budaya patriarki yang masih mengakar dan membuat ketidakadilan sistemik yang masih membelenggu banyak orang

Selain itu, feminisme juga mematahkan narasi bahwa perjuangan keadilan hanya milik perempuan. Laki-laki, queer, penyandang disabilitas, minoritas agama, dan kelompok termarjinalkan lainnya adalah bagian penting dalam perjuangan feminisme untuk membangun masyarakat yang adil dan setara.

Musdah menekankan bahwa gerakan feminisme menuntut pengakuan, partisipasi, dan penguatan keberdayaan kelompok marginal dalam pengambilan keputusan. Sehingga, mereka tidak hanya menjadi objek kebijakan, melainkan subjek aktif perubahan.

Dalam konteks emansipasi sosial, feminisme memegang peran strategis sebagai gerakan yang menghubungkan teori dengan praktik. Di mana, Musdah menilai feminisme menolak sistem pendidikan yang hanya menjadi mesin reproduksi ketidakadilan, serta mendorong transformasi struktural agar kebijakan publik, hukum, dan nilai-nilai sosial berpihak pada keadilan.

Menurut Musdah, masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, harus memiliki kesadaran terhadap segala ketidakadilan yang terjadi. “Kita harus bersuara dan bertindak, serta menyatakan bahwa ketidakadilan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.  

Pada akhirnya, feminisme adalah ajakan untuk berpihak kepada nilai paling mendasar dari semua ajaran agama, yaitu keadilan bagi semua manusia.

Pendidikan Tinggi sebagai Bentuk Perlawanan

Saat ini, pendidikan tinggi di Indonesia hanya sibuk dengan upaya mencari keunggulan dan akreditasi tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Musdah menyayangkan pendidikan yang tidak mampu mewadahi kerja feminisme.

“Pendidikan tinggi seharusnya menumbuhkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, solidaritas, kesetaraan gender, kebebasan berpikir, kemerdekaan, dan berkeyakinan,” tuturnya.

Untuk melakukan metodologi yang membebaskan di tengah pendekatan positivistik yang dominan, Musdah menegaskan bahwa suara mahasiswa tidak boleh dibungkam. “Ruang kelas adalah ruang tempat belajar dari berbagai pengalaman yang muncul dalam perbincangan,” ungkapnya.

Musdah turut menilai bahwa perguruan tinggi tidak ramah bagi mahasiswa kelompok marginal. Pendidikan tinggi harus dihidupkan sebagai ruang emansipasi sosial. Emansipasi sosial tidak hanya menyangkut politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut pengakuan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat setiap manusia.

“Memilih diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk keberpihakan pada penindasan. Melawan ketidakadilan adalah inti dari pendidikan yang bermakna,” pungkasnya.

Terakhir, Musdah menekankan bahwa pendidikan tinggi harus menjadi ruang kritis yang mendukung gerakan feminisme sebagai upaya mewujudkan emansipasi sosial. Dengan feminisme, mahasiswa diajak untuk berpikir kritis, berani bersuara, dan berjuang bersama kelompok tertindas demi melawan penindasan yang sistemik. Dengan demikian, feminisme bukan hanya penting bagi perempuan, tetapi bagi seluruh masyarakat yang menginginkan kehidupan yang lebih adil, setara, dan manusiawi.

Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!