Opini: Feminisme: Kesetaraan dan Solidaritas untuk Kemanusiaan

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 April 2020
7 menit

By Ikhaputri Widiantini

Sudah 3 tahun belakangan ini Indonesia mulai ikut perayaan Hari Perempuan Internasional. Sebelumnya, terutama pada masa orde baru, perayaan semacam ini identik dengan gerakan “kekirian”, mengingat memang semangat yang dibawa lekat dengan semangat revolusioner. Padahal dalam perkembangan sejarahnya, perayaan ini bukanlah sebagai pesta pora “perempuan”. Ini adalah wujud kita menelusuri sejarah penindasan berbasis jenis kelamin—sejarah perempuan. Sedikit sekali referensi yang menuliskan keterlibatan perempuan. Bahkan dalam era Revolusi Prancis, keterlibatan ribuan perempuan yang turun ke jalan tidak banyak dituliskan dalam sejarah. Boro-boro ditampilkan, bahkan semboyan “liberté, égalité, fraternité” tidak memberi ruang makna bagi keterlibatan perempuan. Problem kata sandang bahasa feminin-maskulin dalam bahasa Prancis ini tidak hanya bekerja secara nyata dalam pemberian “gender” dalam kata. Ia menginternalisasi pemahaman penggunanya dalam pikiran dan tindakan keseharian.

Catatan yang diberikan oleh Olympe de Gouges (1748—1793), seorang penulis dan aktivis politik perempuan dari Prancis, menunjukkan tidak adanya ruang bagi perempuan terlibat dalam revolusi, seperti yang tertulis dalam ‘Déclaration des droits de l’homme et du citoyen’ (1789), atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Deklarasi hak-hak laki-laki dan warga negara’. Dalam bahasa Prancis kata ‘l’homme’ berarti laki-laki. Pada perkembangannya, deklarasi ini umumnya merujuk pada terjemahan bahasa Inggris, yakni ‘The Declaration of the Rights of Man and of the Citizen’. Pemilihan kata ‘Man’ ini kemudian tanpa sadar digunakan sebagai kata ganti ‘manusia’. Akibat penyederhaan makna ‘man’ menjadi manusia, tersirat dominasi simbolik patriarkal yang tetap memberikan kedudukan utama manusia kepada laki-laki. Seakan ini adalah persoalan sepele. Namun, pada kenyataannya, penggunaan diksi ini pula yang semakin melanggengkan pola pikir diskriminatif kepada perempuan. Oleh karena itu, de Gouges pada tahun 1791 mengeluarkan sebuah tulisan, “Déclaration des droits de la femme et de la citoyenne” (deklarasi hak-hak perempuan dan warga negara perempuan), sebagai bentuk kritik atas deklarasi tahun 1789.

Pemilihan kata menjadi salah satu upaya afirmatif dalam perjuangan melawan diskrimasi gender. Seorang filsuf Prancis yang bernama Hélène Cixous (1937— ) menulis buku yang berjudul Le Rire de la Médusa (1975)—yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Laugh of the Medusa (1976). Dalam buku ini Cixous menggarisbawahi oposisi biner dalam bahasa yang cenderung membentuk pola pikir hirarkis. Sebutlah kata ‘laki-laki’ maka secara otomatis kita akan menempatkan ‘perempuan’ sebagai posisi berlawanan. Semangat posmodernis yang dibawa oleh Cixous memunculkan kritik pemaknaan atas pemisahan biner. Persoalan muncul ketika kita tanpa sadar melihat ‘lawan kata’ ini sebagai hirarki dalam pikiran. Akan ada nilai yang kemudian melekat pada tiap kata yang berlawanan. Apakah iya menjadi lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya. Maka merujuk pada pemikiran Cixous, kita diingatkan bahwa kata sandang yang berlaku dalam aturan bahasa Prancis membuat aturan tersebut bekerja tidak hanya pada ‘kata’, melainkan melebur dalam pemaknaan pikiran pengguna bahasanya.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan bahasa yang tidak memiliki kata sandang bergender dalam aturannya. Kita ambil saja contoh bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia memang tidak ada aturan kata sandang pada kata bendanya. Namun, internalisasi atas oposisi biner gender ini bekerja tanpa ada penyampaian verbal dan linguistik. Ann Oakley (1944— ), seorang sosiolog dari Inggris, menyebutkan bagaimana gender yang seharusnya merupakan konstruksi sosial justru mengubah cara kita melihat identitas seseorang secara simbolik. Pemisahan peranan berdasarkan jenis kelamin akan lambat laun membuat masyarakat mempercayain bahwa yang konstruktif ini adalah bagian dari akar biologis. Secara struktural, seksualitas seseorang dibedakan secara peran hingga memunculkan ide kultural dan stereotip atas perempuan dan laki-laki.

Mungkin kita akan berpikir, lalu apa hubungannya dengan bahasa Indonesia yang netral gender? Penelitian yang dilakukan oleh Oakley ini justru menunjukkan bahwa internalisasi atas perbedaan gender ini bekerja tidak hanya melalui bahasa, melainkan dimulai dari pembedaan jenis kelamin sejak awal. Pembedaan yang secara hirarkis membagi peran publik dan domestik. Pada dasarnya yang netral akan menjadi bias jika didukung dengan pola pembentukan stereorip seperti ini. Seperti yang disebutkan juga oleh Luce Irigaray (1930— ), seorang filsuf psikoanalis dari Prancis, bahwa kecenderungan netral tidak menjamin kita berpikir secara setara terutama bila kita kembali pada konteks pembedaan peran gender. Kata sandang dalam bahasa hanya menjadi penguat langgengnya pola pikir ini. Maka kembali pada contoh netral gender dalam bahasa Indonesia, tidak ada jaminan bahwa cara kita berbahasa tidak diskriminatif terhadap satu gender. Justru ketika secara kultural kita dibesarkan dalam stereotip-stereotip, pada akhirnya kita akan memilih diksi yang diskriminatif secara tidak sadar.

Berdasarkan pendekatan bahasa dan makna ini, mari kita kembali ke persoalan yang sebut di awal artikel ini, mengenai euforia perayaan Hari Perempuan Internasional di Indonesia. Sudah 3 tahun ini pada perayaan Hari Perempuan Internasional, banyak individu (baik perseorangan maupun atas nama kelompok) berkumpul dan mengikuti Women’s March. Kegiatan ini terinspirasi oleh protes besar di Amerika pada tanggal 21 Januari 2017, sehari setelah inugurasi Presiden Amerika, Donald Trump. Aksi ini dilakukan sebagai protes besar terhadap banyak pernyataan Presiden Trump yang dianggap anti terhadap perempuan (ada nuansa misoginis di dalamnya).

Pada tahun yang sama, tepatnya 4 Maret 2017, sekelompok aktivis perempuan di Jakarta menyelenggarakan hal yang sama. Lambat laun perayaan ini semakin dikenal dan bahkan semakin banyak orang (di luar para aktivis) yang turut serta dalam Women’s March Chapter Jakarta. Di tahun berikutnya bahkan diselenggarakan di banyak daerah. Saya sendiri sebagai pengajar Paradigma Feminis di Program Studi Ilmu Filsafat, FIB UI, mengajak mahasiswa di kelas untuk ikut serta. Tujuan saya agar setidaknya para mahasiswa setidaknya pernah (sekali dalam kegiatan kelas di satu semester) ikut langsung mendengar apa isu-isu yang diangkat dalam jalan bersama ini. Ragam isu perempuan terangkat lewat poster-poster yang dikemas menarik. Bahkan ragam isu lain yang terkait dengan diskriminasi gender pun ikut disuarakan. Baik isu LGBTIQ maupun keterlibatan laki-laki sebagai bentuk dukungan atas gerakan perempuan. Ada pesan lewat kata yang tersampaikan. Bukan dalam rangka agar solusi bisa didapatkan pada saat itu juga, melainkan bagaimana kita menginformasikan sebuah isu pada masyarakat. Harapannya tentu perubahan yang perlahan tapi pasti atas pola pikir patriarkal yang selama ini mendominasi kehidupan kita.

Tahun 2020 Women’s March Jakarta kembali dilakukan, tepatnya pada tanggal 8 Maret 2020 persis di Hari Perempuan Internasional. Acara ini pada awalnya terasa sangat istimewa karena bertepatan pada hari yang mengingatkan kita pada perjuangan banyak perempuan untuk mencapai kesetaraan. Saya kemudian secara khusus mengobservasi seluruh isu yang dibawa. Tidak ada yang salah sebenarnya karena tentu kita harus ingat bahwa satu isu akan berkaitan dengan isu yang lainnya. Selain itu, isu mengenai diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada satu sektor, melainkan ada pada tiap lapisan baik jenis pekerjaan, kelas, etnisitas, agama, dan berbagai kelompok lain. Artinya ini bukan perjuangan perseorangan atau hanya tanggung jawab sekelompok orang. Ini adalah perjuangan bersama.

Hanya saja saya kemudian mencatat pola yang cenderung melupakan semangat awal perjuangan: kesetaraan untuk semua. Banyaknya kelompok yang hadir ternyata semakin membenarnya bagaimana bahasa dapat menjadi senjata yang juga melukai rekan seperjuangan. Pilihan diksi yang bertebaran juga menunjukkan bagaimana pola pikir hirarkis ini ternyata masih melekat pada perjuangan melawan diskriminasi ini. Alih-alih bersuara untuk didengarkan, malah memunculkan antipati bagi yang tidak paham sejak awal. Lalu apakah ini yang diinginkan oleh para pendahulu kita? Berjuang tanpa berbagi pengetahuan? Bukankah ini sama saja kita telah menjelma menjadi apa yang kita lawan, menguasai isu atas nama pengetahuan? Nuansa yang tersisa adalah saling menyalahkan bahkan menjatuhkan. Bukan ini yang diinginkan Olympe de Gouges ketika ia dihukum mati karena menyuarakan pikirannya.

Setelah acara Women’s March Jakarta 2020, saya kemudian mencoba berefleksi dengan keseharian saya di kampus. Apa yang membuat isu-isu perempuan ini sulit sekali untuk dipahami, bahkan oleh sesama perempuan. Lebih spesifik, bahkan oleh sesama pejuang anti kekerasan terhadap perempuan. Di kampus misalnya, kasus kekerasan seksual masih saja menyisakan rasa takut pada korban untuk bercerita. Pun seperti saat ini ketika lebih banyak korban mampu menemukan media untuk berbagi (lewat sosial media dan dengan nama anonim misalnya), tetap saja teror atas ‘aib’ dan stereotip tetap merongrong kehidupan mereka. Walaupun sudah ada aturan-aturan yang lebih memungkinkan kasus kekerasan seksual diangkat, tetap saja akan ada orang-orang yang terjebak pada pola pikir yang menyalahkan korban, atau memilih diam daripada kena masalah. Akibatnya pelaku kekerasan seksual menganggap tindakan mereka tidak bermasalah, bahkan mampu mengajak kawan untuk ikut menyudutkan korban.

Saya menggarisbawahi persoalan ini berangkat dari sudut pandang kita memaknai “bersuara”, “mendengarkan” dan “solidaritas”. Rupanya kita telah terlena oleh pola pikir patriarkal yang cenderung membuat kita berpikir secara hirarkis, bahkan dalam pemahaman kita mengangkat isu kesetaraan. Kita melupakan cara kerja pikiran yang biner dan penuh penilaian yang hirarkis. Hanya ada ‘ini salah’ atau ‘ini benar’. Kita tidak menempatkan diri bersama dengan empati pada tiap isu. Bahkan mereka yang berada dalam isu pun melupakan penempatan empati ini sehingga memilih bahasa yang resisten dimaknai. Penggunaan teori yang wah tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru akan menguatkan dominasi penguasaan atas nama pengetahuan. Ketidaktahuan seseorang atas isu cenderung akan membuat dia resisten untuk mendengar. Bagaimana sekarang caranya kita dapat menggunakan bahasa yang sama walau beda level pengetahuan? Secara afirmatif tentunya kita tetap harus menggunakan bahasa yang lebih ramah pada isu kekerasan berbasis gender ini. Tidak ada salahnya menggunakan istilah-istilah akademik atau jargon-jargon perjuangan. Tetapi tentu harus diikuti dengan penjelasan yang kontekstual agar mereka yang tadinya tidak tahu ikut paham pada tujuan perjuangan.

Hal ini berlaku juga pada mereka yang berjuang pada isu yang sama tapi mungkin dengan pendekatan yang berbeda. Isu yang diangkat tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Penyadaran bahwa semua isu sama level pentingnya akan membuat kita lebih menghargai mereka yang berjuang dengan tujuan yang sama. Tidak bisa kita katakan bahwa perjuangan di isu kekerasan seksual tidak sepenting berjuang di isu perempuan dan politik, misalnya. Bukankah kalau kita mau sadar, keduanya mungkin bersinggungan? Sekali lagi, perlu upaya menghadirkan empati pada semua agar tidak lagi hanya mendorong orang ‘bersuara’ tanpa ada upaya dari kita untuk mendengarkan.

Pada bagian akhir saya ingin menyorot mengenai penggunaan kata solidaritas. Bagaimana kita bisa mewujudkan sebuah solidaritas, jika dalam pemaknaan bahasa yang kita gunakan justru melukai perjuangan yang lain? Solidaritas di sini termasuk empati atas perbedaan isu dan identitas individu. Sebelum kita meminta korban atau kelompok bersuara atas isu yang mereka alami, kembali tantanglah diri kita, apakah kita benar-benar sudah siap mendengarkan suara mereka? Atau jangan-jangan kita hanya ingin mereka bersuara lalu lenyap begitu saja setelah isu tersebut tidak lagi ada kepentingan bagi kita?

Mendengarkan di sini berarti siap menahan nilai yang kita percaya karena kita sedang berhadapan dengan orang lain yang tentu punya pemahaman nilai yang berbeda dengan kita. Pertemuan antara yang bersuara dan mendengarkan juga berlaku sirkular. Artinya tidak melulu seseorang bersuara, tidak melulu seseorang mendengar. Relasi ini harus berlaku sebaliknya. Bahwa berbagi cerita tentu tidak bisa hanya satu arah. Ini bukan berbagi cerita yang selalu sama jenisnya, melainkan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian solidaritas dapat nyata dilakukan.

Pada akhirnya saya kembali pada pemahaman yang saya miliki mengenai feminisme. Ia bekerja sebagai reaksi atas ketidakadilan berbasis jenis kelamin. Sebagai reaksi, ia bekerja dalam tataran rasional dan empiris, dalam pikiran dan pengalaman keseharian. Wajar jika di kemudian hari akan ada yang bereaksi pada pemikiran saya. Ini konsekuensi atas prinsip yang saya pegang: pengetahuan pasti memunculkan reaksi dan berkembang. Namun, demi menjaga semangat kesetaraan yang dibawa oleh para pendahulu gerakan perempuan, tentu harus diingat bahwa perjuangan ini adalah upaya mewujudkan kesetaraan dan solidaritas untuk kemanusiaan. Bukan sendiri-sendiri, bukan untuk kelompok tertentu, namun untuk semua.

Teks: Ikhaputri Widiantini (Dosen Program Studi Ilmu Filsafat FIB UI)
Foto: Syarifah Ni'mah
Editor: Rifki Wahyudi