Judul film: Quickie Express
Sutradara: Dimas Djayadiningrat
Produser: Nia Dinata
Penulis: Joko Anwar
Genre film: Komedi
Tanggal rilis: 22 November 2007
Durasi: 117 menit
Pemain: Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, Sandra Dewi, Ira Maya Sopha, Tino Saroengallo, Rudy Wowor, Tio Pakusadewo.
Jojo (Tora Sudiro) menjadi pekerja seks karena “bakatnya” ditemukan oleh seorang germo. Pertama kali melihat Jojo di bengkel tambal ban, Om Mudakir (Tino Saroengallo) langsung menawarkan sebuah pekerjaan. Dia langsung menawarkan Jojo sebuah pekerjaan terbaik yang dapat menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat. Insting germonya mengatakan bahwa Jojo cocok menjadi gigolo. Kisah tersebut, yang tertuang dalam film berjudul Quickie Express ini, menjadi film Indonesia yang mengangkat hal yang masih belum banyak dibicarakan, yaitu fenomena gigolo di Ibu Kota ke layar lebar.
Film ini mengangkat tokoh utama Jojo yang memiliki kehidupan yang keras. Untuk dapat bertahan hidup di Ibu Kota, Jojo berganti-ganti pekerjaan dari petugas kebersihan sampai tukang tato. Semangat hidupnya masih menyala-nyala meskipun kadang-kadang suka mengeluh. Tawaran Om Mudakir pun diambilnya yang menurutnya sebagai jalan pintas untuk menyudahi kemelaratan hidup.
Karena bisnis prostitusi di Indonesia ilegal, Om Mudakir menjalankan bisnisnya dengan modus layanan pengiriman pizza yang diberi nama “Quickie Express”. Sesampainya di TKP, Jojo diperkenalkan kepada Marley (Amink) dan Piktor (Lukman Sardi) sebagai sesama anak baru hasil lobi Om Mudakir.
Tak ada yang instan dalam pekerjaan apa pun, termasuk gigolo yang konon katanya pekerjaan mudah. Sebelum dilepas ke lapangan, Jojo, Marley, dan Piktor harus menjalani berbagai pelatihan di Quickie-Express Training Center. Mereka memulai karier dari tingkat paling dasar sebagaimana pekerjaan pada umumnya.
Kegigihan dan kelihaian Jojo, Marley, dan Piktor dalam menaklukan berbagai pelanggan membuat mereka mampu melesat ke posisi puncak di perusahaan tersebut dalam waktu singkat. Sejak saat itu, ketiganya bekerja dengan klien-klien yang datang dari kelas atas. Jojo disewa secara eksklusif oleh Tante Mona (Ira Maya Sopha), pelanggan setia yang melimpahi Jojo dengan uang dan kasih sayang. Tak hanya sukses dalam karier, hidup Jojo semakin sempurna karena kehadiran Lila (Sandra Dewi), perempuan yang membuat Jojo jatuh cinta. Siapa sangka dari semua pekerjaan yang pernah Jojo lakukan, gigolo adalah pekerjaannya yang paling panjang umur.
Pada dasarnya, Quickie Express memuat banyak elemen menarik yang dianggap tabu dan kontroversial. Film arahan Dimas Djayadiningrat ini menyajikan tentang pelecehan seksual oleh perempuan, disfungsi keluarga, dan LGBT. Penonton pun dapat melihat hierarki dalam proses bisnis Quickie Express di mana kenaikan pangkat para gigolo di sana ditentukan oleh kepuasan para penyewa yang menjadi sumber utama pendapatan mereka. Perempuan memang sering kali menjadi objek penindasan laki-laki dalam film-film, tapi tidak di Quickie Express.
Kalyana Shira Films (KSF) yang memproduksi Quickie Express dikenal banyak menghasilkan film-film yang berani mengangkat isu sensitif. Sebut saja Ca Bau Kan (2002) sebagai pelopor film tentang etnis Tionghoa Indonesia, Arisan! (2003) yang menceritakan kehidupan pasangan homoseksual, Berbagi Suami (2006) dengan isu poligaminya, dan Madame X (2010) yang menjadikan transpuan sebagai sosok pahlawan masyarakat marjinal. Quickie Express (2007) yang mengeksplorasi seksualitas laki-laki turut meramaikan bioskop sebagai film komedi dewasa pertama di Indonesia—bukan dengan gebrakan tanggung dan erotisme yang malu-malu. Tak heran, Quickie Express dengan mudah masuk ke dalam jajaran film terlaris tahun 2007 bersama dengan Get Married dan Nagabonar Jadi 2.
Bagi yang tertarik menonton film ini bersiaplah menyambut komedi screwball yang vulgar. Latar belakang Amink dan Tora Sudiro sebagai komedian membuat keduanya lebih berpengalaman untuk melucu secara alami. Banyak adegan yang tidak lekat dengan jalan cerita sengaja ditampilkan untuk maksud menghibur saja, seperti ketika Marley digigit ikan piranha. Namun, usaha menghibur tersebut harus diberi apresiasi. Setidaknya, Quickie Express berhasil menghibur penontonnya tanpa harus bergantung pada unsur ecek-ecek.
Satu jam pertama, kita melihat penampilan Jojo, Marley, dan Piktor yang kompak sebagai trio. Beberapa lama kemudian, Marley dan Piktor seolah-olah “menghilang” dan baru muncul kembali di akhir film. Konfliknya memang berpusat pada Jojo, tapi kurangnya keterlibatan Marley dan Piktor cukup disayangkan mengingat keterkaitan ketiganya yang sudah kuat terbangun dalam satu jam pertama film tersebut.
Quickie Express mengurai premis unik yang akan memberikan pengalaman baru saat menontonnya melalui ceritanya yang menghibur sekaligus mendalami peran pemain-pemainnya. Dengan mengangkat topik yang cukup sensitif, film ini diharapkan mampu memberikan realitas masa kini dan memberikan pemahaman gender serta isu yang dianggap sensitif secara lebih terbuka kepada penonton.
Teks: Nadia Fourina
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!