Setelah kali pertama mengundang Anies Baswedan pada Agustus lalu. Senin (18/09), FISIP UI kembali menghadirkan Kuliah Kebangsaan dengan topik “Hendak ke Mana Indonesia Kita? Gagasan, Pengalaman, dan Rancangan Para Pemimpin Masa Depan” di Balai Serbaguna Purnomo Prawiro UI bersama dengan Bacapres Ganjar Pranowo. Dalam Kuliah Kebangsaan ini FISIP UI juga menghadirkan 5 panelis dari kalangan Dosen dan Mahasiswa, di antaranya Sudarsono Hardjosoekarto, Suraya Afiff, dan Ummi Salamah sebagai perwakilan dosen, serta Muhammad Fikri Rafi Dartaman dan Della Azzahra Soepardiyanto selaku panelis dari perwakilan mahasiswa.
Video berjudul Harapan untuk Indonesia di Masa Depan menjadi pembuka perkuliahan. Video ini merupakan sekumpulan pendapat mahasiswa FISIP UI terkait harapan untuk Indonesia, kondisinya hari ini, dan apa yang harus dilakukan ke depan.
Ganjar memaparkan bahwa Indonesia memiliki problem ekonomi dan pekerjaan. Solusi yang diberikan adalah memanfaatkan bonus demografi dengan benar, sehingga bisa mendapatkan dividen. Contohnya adalah Jawa yang menurutnya sudah mengalami hal tersebut. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan transisi energi yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Indonesia menurut Ganjar membutuhkan 3 fondasi: Melipatgandakan anggaran, digitalisasi pemerintahan, dan membasmi korupsi. Ganjar juga menyebutkan 6 pilar yang menurut ganjar strategis untuk bonus demografi: pangan, penegakan hukum, energi, lingkungan, digital, pendidikan, dan keterampilan.
Konflik Agraria hingga Paradigma Ekonomi Pembangunan
Della Azzahra, panelis dari kalangan Mahasiswa, menyorot permasalahan terkait konflik agraria. Della memaparkan data Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2022 yang menunjukkan peningkatan tren konflik agraria pada tahun 2022 sebanyak 5 kasus. Namun, Della melanjutkan bahwa meskipun hanya meningkat sebanyak 5 kasus, luasan wilayah konflik yang terdampak naik 100% yaitu dari 500-an hektar menjadi seribu lebih hektar.
Demikian pula dengan tren kriminalisasi yang berkorelasi dengan penanganan konflik agraria yang sarat akan kekerasan. Della mempertanyakan bagaimana penanganan resolusi konflik dari pemerintah agar tidak hanya berakhir dengan pemberian kompensasi maupun hukuman, namun juga melihat dari segi akar permasalahannya.
Ganjar menjawab pertanyaan tersebut dengan bercerita pengalamannya menangani permasalahan konflik agraria pada pembangunan jalan Tol. Ganjar menjelaskan konflik dapat muncul pertama karena kurangnya mitigasi kemungkinan yang akan terjadi dan kedua penghormatan terhadap hak masyarakat setempat. Ketika wilayah harus ‘diambil paksa’ oleh negara satu-satunya jalan menurut Ganjar adalah pemberian kompensasi.
Della menambahkan pertanyaan terkait nasib perempuan yang menanggung beban ganda dengan adanya konflik agraria.
“Kalau sudah terjadi ya healing, saya kirim psikolog untuk mendampingi mereka dan anak anak, lalu apa, psikolog mewawancarai bagaimana masalahnya lalu apa yang kamu rasakan … lalu perempuannya, kita dampingi dengan mereka ..., akhirnya kita kasih pendamping, kasih perawatan, ini ketika sudah terjadi, saya bercerita ini karena sudah memiliki pengalaman dua kali,” jawab Ganjar.
Suraya Afiff, salah satu panelis dari kalangan Dosen. Membuka sesi dengan presentasi bertajuk Paradigma Ekonomi Pembangunan. Menurut Suraya masih ada 2 paradigma yang dipraktikan hingga saat ini.
Pertama, paradigma ekonomi pembangunan lewat menggusur, pembangunan dengan memindahkan paksa, dan memukimkan dengan paksa. Praktik pada zaman kolonial yakni Domein Verklaring menurut Suraya justru kerap dipakai di masa ini, di mana jika seseorang tidak bisa membuktikan dengan sertifikat kepemilikan maka tanah miliknya menjadi milik negara.
Suraya menyorot kasus penguasaan lahan hutan sebagai milik pemerintah yang kemudian diberikan kepada pengusaha. Namun di dalamnya terdapat masyarakat desa yang dikriminalisasi dan dianggap ilegal. Selain itu Suraya juga mengkritik reforma agraria yang lamban.
Paradigma kedua adalah Trickle Down Economy, Suraya menyampaikan paradigma ini ditandai dengan kebijakan negara yang lebih berpihak atau mendukung perusahaan. Suraya menekankan bahwa pemukiman kembali tidak mengembalikan pendapatan pada masyarakat yang tergusur. Ditambah dengan persoalan kebakaran hutan yang mayoritas titik api ada pada wilayah konsesi perkebunan dari suatu perusahaan.
“Dapatkah paradigma negara itu diubah yaitu mengakui kepemilikan lahan yang saat ini sudah dimanfaatkan rakyat? … dapatkah paradigma negara dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terpaksa mengambil tanah rakyat tidak melanjutkan praktik Orde Baru, untuk kepentingan swasta, untuk dikuasai swasta, dan untuk kepentingan profit pengusaha swasta?” tanya Suraya.
Menjawab hal itu, Ganjar memaparkan jika terdapat buku tanah maka bisa dibuktikan siapa yang memiliki dan siapa yang berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Dirinya menambahkan pencatatan agraria yang modern dengan menggunakan sertifikat.
Rakyat atau Partai?
Kuliah Kebangsaan menjadi semakin riuh dan panas ketika memasuki sesi tanya jawab. Salah satu peserta, Naufal (Ilmu Politik), menyinggung peran Ganjar yang disebut oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai petugas partai.
“Pada tanggal 21 April, Bapak dicapreskan oleh PDIP, oleh Megawati Soekarnoputri, saya menggaris bawahi kata-kata Bu Megawati yang menyatakan bahwa, ‘Sebagai kader dan petugas partai’ jujur saja saya mengagumi Bapak merasa kecewa,” ucap Naufal.
Naufal mempertanyakan posisi Ganjar jika terpilih menjadi presiden, apakah akan menjadi petugas rakyat atau petugas partai sebagaimana pernyataan Megawati. “Pertanyaan saya jika bapak dipilih sebagai presiden kedelapan apakah Bapak tetap dengan prinsip tuanku ya rakyat, gubernur hanya mandat, dan tidak menjadi boneka megawati? … apakah Bapak petugas rakyat atau petugas partai? Terima kasih.” Cecar Naufal.
Ganjar menjawab dengan bertanya kembali kepada Naufal.
“Naufal, kamu mengikuti saya selama 10 tahun jadi gubernur?” tanya Ganjar.
“Mengikuti,” jawab Naufal.
“Oke, saya petugas siapa?” lanjut Ganjar
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Naufal. Ganjar pun seketika berkata, “finish”.
“Saya kader partai, tapi presiden bukan, gubernur bukan. Itulah melayani,” tambah Ganjar.
“Berarti Bapak berkomitmen, semisal terpilih, Bapak bukan disetir oleh partai, tetapi oleh rakyat?” tanya Naufal lagi,
“Saya minta kamu melihat 10 tahun saya (selama jadi Gubernur Jawa Tengah – red). 10 tahun bukan waktu pendek, dan 10 tahun artinya saya terpilih 2 kali.”
Pertanyaan tersebut sekaligus menutup Kuliah Kebangsaan FISIP UI. Setelahnya, terdapat penyerahan tanda terima kasih dari pihak FISIP UI kepada Ganjar Pranowo berupa lukisan wajah Ganjar Pranowo dengan latar belakang Gedung Rektorat UI dan tulisan FISIP UI buah karya Azkia Karimat, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Teks: Salwa Fadhilah, Filda Kamila
Foto: Intan Shabira
Editor: M. Rifaldy Zelan
Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, dan Berkualitas!