Gelar Doktor Bahlil dan Kehormatan Akademik UI yang Memudar

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 November 2024
7 menit

Pertengahan Oktober ini, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Bahlil Lahadalia menjadi sorotan publik karena berhasil menyelesaikan studi S3-nya di Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) dalam waktu 1 tahun 8 bulan. Ia resmi meraih gelar doktor setelah menjalani sidang terbuka promosi doktor yang berlangsung di Makara Art Center UI pada Rabu, 16 Oktober 2024 lalu.

Dalam sidang tersebut, Bahlil mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”.

Mengutip dari laman ui.ac.id, sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya, S.S., M.A., dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. sebagai promotor, serta Dr. Teguh Dartanto, S.E., M.E. dan Athor Subroto, Ph.D. sebagai ko-promotor. Adapun tim penguji terdiri atas para ahli, antara lain Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si., Prof. Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si., dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno. Bahlil sendiri tercatat sebagai mahasiswa doktor di SKSG UI dari tahun akademik 2022/2023 semester genap hingga 2024/2025 semester ganjil.

Apabila dihitung sejak ia terdaftar sampai dengan waktu kelulusannya, Bahlil baru menjalani program studinya selama 4 semester. Menurut pernyataan Bahlil dalam Kompas.com, ia mendaftar program doktoral melalui jalur riset dengan durasi studi minimal 4 semester yang menurutnya sudah ia tempuh sesuai aturan yang berlaku.

Masa Studi yang Singkat: untuk Gelar atau Intelektualitas?

Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI, tepatnya pada Pasal 14 yang menyebutkan bahwa program doktor dirancang untuk 6 (enam) semester, dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 (empat) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester.

Namun, pencapaian gelar doktornya ini menuai kritik publik sebab proses akademik yang dilalui Bahlil dianggap sangat singkat, mengingat proses penelitian dan penulisan disertasi tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sejumlah pihak menilai bahwa gelar doktor yang diraih Bahlil perlu dipertanyakan, terutama mengenai efektivitas dari penelitian dan proses studi yang cepat untuk program doktoral yang berbasis riset.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang kerap disapa Sulis pun berpendapat bahwa tidak masuk akal bagi seseorang dari bidang ilmu sosial untuk merampungkan disertasinya secepat itu sebab dalam prosesnya memuat tahapan yang perlu dilalui dengan serius.

“Menurut saya enggak masuk akal untuk orang ilmu sosial melakukan riset, membaca buku, menulis jurnal, kemudian menulis disertasinya sendiri selama 3 semester. Itu enggak mungkin banget karena saya melihat, saya menjadi pembimbing banyak disertasi, saya melihat teman-teman, saya juga mengalami sendiri menulis (disertasi–red). Disertasi itu menuliskan karya agung dalam hidup kita,” ujar Sulis.

Ia juga mengungkapkan bahwa untuk lulus dari program doktor dalam waktu 6 semester saja sudah sulit. Dari sisi hukum, jika seseorang berhasil menyelesaikannya selama sekurang-kurangnya 4 semester, seharusnya ujian berlangsung pada semester kelima. Sementara pada kontroversi ini, Bahlil melakukan ujian di tengah-tengah semester keempat. Artinya, ia menyelesaikan penelitian disertasinya hanya dalam tiga semester saja.

Sulis menambahkan bahwa program doktor jalur riset semestinya terbuka bagi pendaftar yang memang dikenal oleh kalangan ilmuwan sebagai pakar atau sosok yang kompeten di bidangnya. Hal ini dapat terlihat salah satunya melalui rekam jejak publikasi artikel di jurnal-jurnal bereputasi tinggi, seperti yang terindeks di Scopus. Dengan begitu, lulusan mahasiswa dari program doktor jalur riset dapat terjaga kualitas dan kredibilitasnya.

Enggak bisa siapa saja boleh masuk dengan tawaran ‘ayo masuk sini bisa jadi dokter dua tahun’. Itu yang disalahgunakan oleh banyak orang. Jadi banyak dosen yang marah banget juga kayak saya. Kenapa program seperti itu dibuat?”

Jika aturan seleksi yang ketat tidak ditetapkan dalam jalur-jalur pendaftaran program doktor semacam itu, ia khawatir akan ada penyalahgunaan yang dapat merugikan kualitas akademik.

“Jalur-jalur semacam itu bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang mereka itu pejabat ya, yang sibuk dengan kerjaan-kerjaannya, hampir enggak ada waktu, tetapi ingin dapat gelar doktor, doktor honoris causa, atau profesor,” jelas Sulis.

Sulis pun merasa bahwa ada kekeliruan pemahaman tentang intelektualitas yang dapat menyebabkan kasus seperti itu terjadi secara berulang.

“Intelektualitas itu tidak terletak pada gelar-gelar. Orang intelektual itu adalah orang yang terus-menerus berpikir, terus menerus resah terhadap keadaan masyarakatnya, dan terus-menerus mencari kebenaran,” tegasnya.

Respons Ko-Promotor

Menanggapi spekulasi dan kecurigaan yang beredar di masyarakat, Teguh Dartanto, salah satu dari tiga ko-promotor Bahlil memberikan keterangan tertulis melalui platform LinkedIn pada 20 Oktober 2024 lalu. Dalam keterangannya yang terdiri atas 19 poin tersebut, ia membuka dengan pernyataan bahwa ia tidak berniat untuk membela diri, tetapi mencoba memberikan informasi di balik kejadian yang sebenarnya terjadi.

Pada poin pertama, dijelaskan bahwa ia menyarankan Bahlil agar tidak mengambil S3 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) karena terdapat kuliah terstruktur yang berlangsung pada hari kerja di semester pertama. Alhasil, Teguh pun menyarankan bahwa pendaftaran S3 jalur riset di SKSG merupakan opsi yang paling memungkinkan.

Menurut Dekan FEB UI ini, Bahlil sendiri sudah memenuhi syarat pendaftaran program doktoral sebab ia sudah lulus di Magister Ilmu Ekonomi dari Universitas Cendrawasih pada 2009. “Saya sudah melihat scanned ijazah (Bahlil–red) di sistem SKSG UI. Informasi yang di data PDDIKTI kurang akurat mengenai Bahlil,” ungkapnya.

Bagi Teguh, keberadaan disertasi dari mahasiswa seperti Bahlil yang memiliki privilese terhadap informasi, data, dan sumber daya penelitian seperti Bahlil akan memberikan dampak sosial yang sangat bermanfaat.

Penelitian Bahlil sendiri berangkat dari pertanyaan mengenai apakah kebijakan hilirisasi nikel yang dikerjakan saat ini secara akademik sudah tepat, dan apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki kebijakan tersebut. “Bahlil memiliki kewenangan membuat dan mengubah kebijakan hilirisasi sehingga jawaban atas dua pertanyaan ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan hilirisasi di masa depan,” jelas Teguh.

Perihal asumsi kehadiran konflik kepentingan yang menyebabkan dirinya menjadi ko-promotor Bahlil,  Teguh membantah sebab dirinya bukan merupakan staf ahli atau staf khusus di Kementerian Investasi, melainkan narasumber ahli yang memberikan nasihat terkait ekonomi, investasi, dan pembangunan. Teguh pun menerangkan bahwa ia memang memiliki kompetensi dalam bidang kebijakan industri dan dampak sosial ekonomi sehingga dapat menjadi ko-promotor dalam promosi doktor ini.

“SKSG bersifat interdisiplin atau transdisiplin sehingga program doktor ini berfokus pada solusi praktik untuk masalah di industri, pemerintahan, atau profesi tertentu, dibandingkan dengan program doktor konvensional yang lebih menekankan pada penelitian teoritis,” ujar Teguh.

Terkait masa studi yang singkat, Teguh pun menerangkan setiap tahapan yang sudah ditempuh oleh Bahlil selama tiga semester sebelum secara administratif, legal, dan formal dinyatakan layak untuk maju ke tahap promosi. Masa studi ini menurutnya wajar. Ia pun membandingkannya dengan kasus serupa pada tahun 2004 silam, yakni Doktor Sugeng Purwanto yang lulus dari FEB UI dengan masa studi 13 bulan 26 hari dan meraih Rekor Muri Doktor Tercepat.

“Bahlil telah memenuhi syarat 3 publikasi, yaitu 1 jurnal bereputasi internasional (Scopus-Journal of ASEAN Studies), 1 jurnal SINTA 2 (jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan), 1 prosiding yang bisa diganti dengan jurnal SINTA 2 (Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen),” jelas Teguh sebagai bantahan atas pernyataan bahwa Bahlil lulus dengan menggunakan jurnal predator.

Menurutnya, terdapat kecacatan logika dalam dugaan plagiarisme yang menyebutkan kemiripan sebesar 95% antara disertasi Bahlil dengan skripsi di UIN Jakarta. “Kesalahan fatal dalam pengecekan plagiasi yang dilakukan dengan sistem turnitin UIN Jakarta adalah memasukkan dokumen yang sama sehingga akan menimbulkan plagiasi 95%,”

Teguh pun menyampaikan pesan pada akhir keterangannya, “Janganlah perilaku kontroversial Bahlil kita gunakan untuk menghakimi, mencaci maki, menghina, dan merendahkan tim promotor, para penguji, SKSG, dan Universitas Indonesia.”

Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga: Dampak Kontroversi bagi Kehormatan Akademik UI

Bagaimanapun, singkatnya waktu yang ditempuh Bahlil dalam menyelesaikan gelar doktornya memicu beragam reaksi di tengah masyarakat. Publik mulai mempertanyakan proses pemberian gelar ini. Tidak sedikit pula yang meragukan kualitas Universitas Indonesia sebagai pemberi gelar doktor kepada Bahlil.

Menurut Sulis, kegaduhan ini tidak hanya melanggar kehormatan UI, tetapi juga menimbulkan penyesalan karena UI terlalu mudah untuk meluluskan seorang pejabat menteri dan ketua partai dari program doktoral dalam kurun waktu yang tidak masuk akal.

“Logika yang sederhana saja, itu membuat UI disesali oleh banyak orang, para ilmuwan dari universitas lain, dan menurut saya itu melanggar kehormatan kita. Kedua juga seperti nila setitik, rusak susu sebelanga. Jadi, yang melakukan itu suatu prodi saja, tapi seluruh UI kena,” ujar Sulis menyayangkan.

Kekhawatiran akan hal tersebut pun tampaknya dirasakan oleh alumni Universitas Indonesia. Pada Kamis 17 Oktober 2024, mereka mulai bergerak untuk menyebarkan petisi melalui platform change.org dengan judul “Tolak Komersialisasi Gelar Doktor, Pertahankan Integritas Akademik”.

Ada empat tuntutan yang dilayangkan dalam petisi tersebut. Mulai dari permintaan agar UI membentuk sebuah tim independen untuk melakukan investigasi, permintaan pencabutan gelar doktor bilamana proses pemberian gelar terbukti tidak sesuai ketentuan, permintaan peningkatan pengawasan terhadap proses penyelesaian studi doktoral, hingga permintaan kepada Rektorat Universitas Indonesia untuk mempublikasikan seluruh informasi baik terkait persyaratan, prosedur, hingga biaya proses penyelesaian studi doktoral Bahlil Lahadalia.

Sebagai respon terhadap situasi dan opini publik yang terus memperdebatkan kesahihan pemberian gelar doktor tersebut, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia membentuk tim investigasi yang diberi nama Tim Investigasi Pengawasan Pelaksanaan tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dilansir dari Tempo.com, keputusan ini muncul seusai para Dewan Guru Besar menyelenggarakan rapat pada 18 Oktober 2024. Tim tersebut beranggotakan Senat Akademik UI bersama Dewan Guru Besar UI dengan masa kerja hingga 30 Oktober 2024.

Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Didit Ratam, mengungkapkan bahwa ILUNI UI mempercayakan proses investigasi ini kepada Senat Akademik dan Dewan Guru Besar UI.

“Kami juga mengharapkan bahwa kedua institusi ini akan memberikan rekomendasi-rekomendasi (tentang–red) pertama, apa yang terjadi. Kedua, hal apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi seperti ini supaya tidak terulang lagi,” sambung Didit.

Mewakili ILUNI UI, ia menyampaikan harapan besarnya atas audit akademik yang dilakukan. Karena sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sulis, kejadian ini jelas tidak hanya berdampak pada Bahlil Lahadalia saja, tetapi semua civitas academica Universitas Indonesia atau citra Universitas Indonesia itu sendiri.

“Kita ini sebagai civitas academica UI akan terpengaruh dan terimbas. Kita harus bangun sama-sama, tapi lead-nya di mana? Lead-nya adalah di audit akademik oleh Senat Akademik dan Dewan Guru Besar UI,” ungkap Didit.

Dari kegaduhan ini, Sulis berharap agar pihak kampus dapat meninjau ulang tata cara pemberian gelar doktor. “Keberadaan program jalur S3 jalur riset dengan waktu yang sangat pendek selama 4 semester itu harus ditinjau kembali, bahkan dihapuskan,” tuturnya.

Terkait hal tersebut, ia pun mengingatkan perihal kasus artikel jurnal Bahlil yang terdeteksi terbit di jurnal predator. Menurutnya, meskipun yang bersangkutan memiliki publikasi di jurnal lain yang memenuhi persyaratan, pelanggaran etika sudah terjadi.

Enggak bisa itu didiamkan, malah dikasih (kesempatan untuk–red) ujian. Pelanggaran semacam itu seharusnya tidak boleh terjadi. Kalau di luar negeri, dosen memuat artikel di jurnal predator itu sudah peristiwa yang sangat memalukan bagi program studinya,” tegasnya.

Sulis juga menyarankan agar UI sebagai suatu institusi akademik tidak takut untuk mengambil tindakan dan sanksi yang maksimal, termasuk mencabut gelar tersebut apabila menjumpai bukti pelanggaran dalam prosesnya.

“Jangan takut pada soal politik. Universitas itu adalah lembaga otonom, lembaga yang berfungsi khusus untuk memproduksi ilmu pengetahuan,” lanjutnya mengingatkan.

Menurut Sulis, kekuasaan dan uang adalah hal yang tabu bagi universitas sehingga UI mesti berani dalam mengambil tindakan tegas atas kontroversi yang terjadi.

Untuk menutup pernyataannya, Sulis pun menyampaikan harapannya, “Saya ingin agar UI bisa memulihkan marwahnya dari kasus pelanggaran etika ini, ya. Para pemimpinnya, dosennya, dan civitas-nya harus memulihkan marwah atau kehormatan UI yang sudah terlanggar melalui kasus ini. Itu pesan saya.”

Teks: Widdy Fatimah, Chika Ayu

Ilustrasi: Atallah Rania

Editor: Siti Aura