Geliat Rektor UI: Ubah Statuta Amankan Jabatan

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Juli 2021
4 menit

Pada 8 Juli 2021, publik dihebohkan dengan beredarnya Statuta baru Universitas Indonesia (UI), Statuta baru yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan peraturan dan prosedur operasional di UI tersebut ditetapkan pada 2 Juli 2021 dengan Nomor 75 Tahun 2021, menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013.

Reaksi Publik Universitas Indonesia
Kendati baru tempo hari memanas, revisi Statuta UI sesungguhnya bukanlah barang baru. Proses revisi Statuta Universitas Indonesia sendiri sudah dimulai sejak penghujung 2019 lalu, tetapi pembahasan mengenai revisi Statuta UI ini baru terasa intens pada tahun 2020. Pada tahun itu, MWA UI yang diwakili oleh Zaki Zamzami sebagai Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) UI Tahun 2020 dari perwakilan mahasiswa, telah melakukan jaring aspirasi untuk melibatkan mahasiswa dalam revisi Statuta UI. Sayangnya, jaring aspirasi yang difasilitasi oleh MWA UI tidak mampu menjadi ‘batu pengganjal’ dari lolosnya revisi Statuta UI yang terbaru.

Suara Mahasiswa UI mencoba mencari tahu mengenai pendapat serta opini sivitas UI mengenai Statuta terbaru UI ini. Ahmad Naufal Hilmy, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) UI, mengaku bahwa ia masih harus membaca serta membandingkan perubahan apa saja yang terjadi dari Statuta UI yang terbaru dengan yang lama. Selain itu, Hilmy juga memberikan harapan mengenai Statuta UI yang baru, ia berharap dengan adanya Statuta ini Pihak Rektorat dapat mengelola kampus (UI) menjadi lebih baik tetapi tetap berintegritas.

“Kita perlu melihat implementasi ke depannya apakah baik atau buruk,” komentar Hilmy.

Sorotan dalam perubahan Statuta UI baru dengan yang lama
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan dalam salinan naskah Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021. Salah satunya ialah pasal yang mengatur mengenai soal ketentuan rangkap jabatan pada Rektor dan Wakil Rektor. Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 dalam Pasal 35, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh Rektor dan Wakil Rektor UI. Pertama, larangan rangkap jabatan pada pejabat satuan pendidikan lain, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat; Kedua, rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat pada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah; Ketiga, rektor dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pejabat pada badan usaha milik negara (BUMN)/daerah maupun swasta; Keempat, anggota partai politik atau organisasi yang berafiliasi dengan partai politik; Kelima, rektor dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pejabat pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI.

Namun, frasa tersebut berubah pada Statuta UI yang terbaru, khususnya pada pasal 39 C yang mengatur mengenai larangan rangkap jabatan Rektor UI dan Wakil Rektor UI. Terdapat perubahan frasa menjadi “direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Dengan berlakunya statuta tersebut, Ari Kuncoro selaku Rektor UI yang saat ini tercatat menjadi Wakil Komisaris Utama di salah satu BUMN, lepas dari jerat pelanggaran kode etik Statuta UI.

Selain itu, kewenangan rektor pun bertambah pada statuta baru ini. Pada Pasal 37 Statuta UI yang lama hanya dijelaskan bahwa Rektor UI berwenang untuk mewakili UI di dalam dan di luar pengadilan. Sedangkan, pada pasal 41 Statuta UI yang baru, kewenangan Rektor bertambah untuk memberikan dan mencabut gelar kehormatan, gelar akademik, dan penghargaan akademik berdasarkan pertimbangan Senat Akademik UI.

Di samping itu, Rektor juga mendapatkan kewenangan baru untuk mengangkat dan/atau mencabut jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki. Hal itu memberikan kewenangan yang sangat besar bagi rektor. Kewenangan baru yang dimiliki Rektor ini tentu sangat berbahaya bagi kebebasan akademik di kampus, karena memberikan ruang bagi rektor untuk ‘menindak’ pihak-pihak yang berseberangan dengan dirinya.

Perubahan kewenangan tidak hanya terjadi pada rektor saja, Dewan Guru Besar mengalami pengurangan tugas dan kewajiban pada Statuta UI yang baru. Pada Pasal 41 Statuta UI yang lama disebutkan bahwa Dewan Guru Besar memiliki tugas dan kewajiban untuk melakukan penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh Rektor. Sedangkan, tugas dan kewajiban Dewan Guru Besar UI tersebut tidak ada pada pasal 45 Statuta UI yang baru.

Beberapa ketentuan lain, seperti sanksi pelanggaran Statuta UI serta pengaturan hak dan kewajiban mahasiswa UI, pun hanya diatur melalui peraturan rektor di Statuta UI yang baru. Padahal, di Statuta yang lama keduanya diamanatkan untuk diatur melalui peraturan MWA UI. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi partisipasi mahasiswa dalam pengambilan kebijakan di kampus karena pembuatan peraturan MWA melibatkan seluruh unsur yang ada di UI, termasuk perwakilan mahasiswa. Sementara itu, pembentukan peraturan rektor membatasi keterlibatan mahasiswa karena mahasiswa tidak dapat mencermati langsung proses perkembangan peraturan tersebut.

Jokowi Meresmikan Revisi Statuta UI
Presiden Jokowi mendukung adanya revisi Statuta UI yang  memperbolehkan Rektor dan Wakil Rektor UI memiliki jabatan di luar universitas dengan meresmikannya. Dikutip dari CNN Indonesia, Ketua MWA UI, Saleh Husein, mengucapkan terima kasih kepada pemerintah karena memberikan pedoman melalui statuta yang baru bagi UI agar mampu berkembang menjadi lebih baik. “Kami harus berterima kasih kepada pemerintah karena akhirnya statuta yang baru tersebut dapat menjadi pegangan untuk UI berlari lebih kencang lagi guna mengejar ketertinggalan menuju universitas kelas dunia,” ujar Saleh Husin pada Selasa (20/7). Ia juga mengklaim bahwa seluruh proses revisi sudah sesuai dengan pedoman yang berlaku.

Peraturan tersebut tetap disahkan kendati sebelumnya Ombudsman RI, melalui anggotanya Yeka Hendra Fatika, menyatakan bahwa rangkap jabatan yang dilakukan oleh Ari Kuncoro merupakan pelanggaran regulasi. “Ari Kuncoro masalahnya sederhana saja. Dipilih berdasarkan statuta UI dalam bentuk PP Nomor 68 Tahun 2013. Nah, di dalam statuta, Pasal 35 itu disebutkan bahwa rektor dan wakil rektor tidak boleh menjadi pejabat di BUMN atau BUMD,” ujar Yeka pada Rabu (30/6) silam, dilansir dari Detik.com. Hal inilah yang kemudian “diakali” dengan merevisi Statuta UI, sehingga secara hukum, Ari Kuncoro tidak melanggar regulasi.

Alih-alih melepaskan jabatan yang dimiliki, pemangku kebijakan UI justru mengubah statuta yang merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan UI. Perubahan tersebut juga sarat kepentingan dengan memberi payung hukum kepada rektor  terhadap rangkap jabatan yang dilakukannya.

Teks: Muhammad Rizki, Alif Febri
Ilustrasi: Emir Faritzy S.N.
Editor: Syifa Nadia

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!