Gie: Orde Lama dalam Kacamata Seorang Demonstran

Redaksi Suara Mahasiswa · 29 Oktober 2021
4 menit

Judul: Gie
Sutradara: Riri Riza
Produser: Mira Lesmana
Genre: biografi, drama, sejarah
Tanggal rilis: 14 Juli 2005
Durasi: 147 menit
Pemain:  Nicholas Saputra, Lukman Sardi, Wulan Guritno, dan lain-lain.

Tahun 2005 dapat dikatakan sebagai salah satu tahun kemajuan dunia perfilman Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari film Gie yang dikemas dengan apik dan berhasil memenangkan sejumlah penghargaan. Gie merupakan karya adaptasi dari buku Catatan Seorang Demonstran yang memuat catatan harian Soe Hok Gie. Film juga termasuk kategori film biopik yang diangkat dari kisah nyata Soe Hok Gie, Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia—sekarang FIB UI—angkatan 1962 yang kerap menulis pandangannya terhadap lika-liku rezim Orde Lama.

Film Gie dimulai dengan mengisahkan sosok Soe Hok Gie (Nicholas Saputra) muda yang hidup di masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Gie muda digambarkan sebagai sosok yang berani dan kerap menyuarakan kecamannya terhadap ketidakadilan. Gie tumbuh menjadi pemuda yang kritis dan idealis dalam menentang ketidakadilan pada rezim Orde Lama sampai masa peralihan ke Orde Baru. Semasa kuliah, ia merupakan sosok yang aktif berorganisasi dan pandai menulis. Hal tersebut ditunjukkan melalui keterlibatannya dalam pendirian Mapala UI dan keaktifannya dalam mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan di surat kabar. Tulisan-tulisan kontroversial tersebut memuat pandangan kritisnya tentang situasi politik yang terjadi kala itu.

Perjuangan Mahasiswa Era Orde Lama dalam Melawan Ketidakadilan

Gie menampilkan banyak adegan yang menunjukkan semangat para mahasiswa dalam melawan ketidakadilan pada era Orde Lama. Beberapa adegan tersebut termasuk adegan keterlibatan Gie dan sahabat-sahabatnya dalam demonstrasi besar-besaran di jalanan. Semangat perjuangan yang ditunjukkan dalam film sangat terasa berkat akting apik yang diperankan oleh aktor-aktor terbaik Indonesia pula. Hal tersebut juga pada akhirnya dapat menyentuh dan menarik simpati penonton terhadap kejamnya ketidakadilan yang terjadi di era tersebut. Akting apik tersebut juga membuat film yang berlatar tahun 60-an ini tidak terasa hampa dan membosankan. Di samping itu, lagu yang diputar di dalam film juga terasa pas untuk mendukung setiap adegan yang dimunculkan.

Film ini juga mampu memberikan gambaran perjuangan mahasiswa yang relevan dan relatable dengan apa yang dihadapi mahasiswa di zaman sekarang. Memperjuangkan keadilan, melawan koruptor, sampai simpati terhadap rakyat yang termarginalkan digambarkan dengan baik di film ini. Wawasan penonton terhadap sejarah politik Indonesia era Orde Lama akan bertambah, yang mana dapat dijadikan sebagai pelajaran moral—terutama bagi para pemuda—untuk terus memperjuangkan keadilan di negeri ini.

Selain penggambaran semangat para mahasiswa, totalitas Nicholas Saputra dalam memerankan tokoh utama juga patut diapresiasi. Ia berhasil membawakan sosok Soe Hok Gie dengan natural, yang mana dapat membuat penonton benar-benar melihat sosok baru di layar dan melupakan fakta bahwa pemuda tersebut adalah Nicholas Saputra, seorang aktor yang sedang memainkan peran. Gie pada dasarnya digambarkan seperti sosok pemuda pada umumnya yang menyukai kesenangan seperti menonton film dan mendaki gunung. Namun, yang membedakannya adalah Gie memiliki pemikiran yang idealis dan kritis dalam menanggapi situasi politik negara yang membuat banyak masyarakat termarginalkan. Hal-hal tersebut menunjukkan proporsi pas antara adegan menyenangkan, sedih, dan mendebarkan yang juga menjadi salah satu kelebihan film ini.

Penggambaran Apik Situasi Politik Indonesia Tahun 60-an

“Kita seolah-olah menyatakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.

Begitulah kata Gie muda.

Film Gie menggambarkan situasi politik Indonesia tahun 60-an yang tidak stabil. Gie menggambarkan keadaan di mana partai politik dan golongan bahkan sudah melebarkan pengaruhnya ke dalam kampus. Organisasi-organisasi mahasiswa seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sampai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kala itu kerap bersikap atas nama golongan, bukan kepentingan bersama. Selain situasi politik era Orde Lama, film ini juga menampilkan transisi era Orde Lama ke Orde Baru dengan menyinggung Gerakan 30 September 1965.

Gie memang berhasil mengangkat situasi politik Indonesia era 60-an dan semangat mahasiswa melawan ketidakadilan kala itu. Selain itu, visualisasi apik Kota Jakarta tahun 60-an yang didukung sinematografi, efek visual, sampai properti yang ada dalam Gie membuat penonton dapat merasakan dengan jelas situasi dan keadaan kota kala itu. Hal tersebut menunjukkan totalitas dalam proses produksi film. Namun, sayangnya sosok Gie yang merupakan sentral dalam film ini tidak terlalu digambarkan sebagai sosok yang memegang pengaruh besar terhadap perjuangan dalam melakukan perubahan untuk Indonesia ke arah yang baik. Sosok Gie hanya digambarkan sebagai sosok idealis yang kerap berkutat dengan pemikirannya dan menyampaikannya dalam bentuk tulisan maupun secara lisan. Pemikiran Gie memang ditampilkan dengan baik, tetapi perannya tidak terlalu digambarkan secara nyata dan signifikan. Selayaknya film-film biopik lain, mungkin akan lebih baik jika film ini memfokuskan sosok Gie dengan lebih mendalam dan menjelaskan apa kontribusinya terhadap perubahan Indonesia secara detail.

Kekurangan lain yang ada dalam film adalah musik yang diputar dengan volume yang lebih keras dibandingkan dialog atau monolog yang sedang ditampilkan. Di samping itu, banyak juga adegan-adegan film yang hanya ditampilkan selayaknya montase yang tidak jelas penyelesaiannya, sehingga mungkin akan sulit bagi penonton untuk memahami esensi dan pesan yang ingin disampaikan dalam bagian-bagian film ini. Selain itu, beberapa adegan juga tidak ditampilkan dengan akting yang berlebihan oleh aktor-aktor pendukung, yang mana membuat adegan-adegan tersebut kurang terasa natural. Gie juga mungkin kurang cocok ditonton untuk orang-orang yang tidak terlalu menyukai glorifikasi dan kerusuhan dalam dunia politik.

Terlepas dari kekurangan-kekurangannya. Gie merupakan film yang cocok untuk ditonton—khususnya oleh para pemuda—untuk memperluas wawasan sejarah dan membangkitkan semangat diri sendiri dalam memperjuangkan keadilan di negeri ini. Film ini juga relevan dengan keadaan Indonesia saat ini, di mana banyak pihak yang melakukan sesuatu atas kepentingan pribadi atau golongan, bukan kepentingan bersama. Di dalam film ini, Gie digambarkan sebagai sosok pemikir yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, hal tersebut mungkin dapat memotivasi penonton dan mengambil pesan moral baik dari film untuk diimplementasikan secara nyata di kehidupan bernegara saat ini.

Teks: Radite Rahmadiana
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!