Gusur Sekolah Demi Bangun Masjid, Kebutuhan Masyarakat atau 'Proyek'?

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 Februari 2023
14 menit

“Anak saya menangis sambil memeluk saya erat-erat, dia berkata kepada saya ‘tolong Ayah, pertahanin sekolah aku,” demikian permintaan anak sulung Andhika, dituturkan langsung oleh Andhika kepada Suara Mahasiswa dengan tersedu-sedu (12/12).

Sudah lewat tengah malam, cuaca cukup dingin saat reporter Suara Mahasiswa UI menyambangi sekolah setelah didatangi oleh puluhan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang hendak melakukan upaya penggusuran paksa pada minggu malam (11/12). Malam itu, belasan ibu-ibu duduk di atas gelaran tikar di lapangan sekolah, hendak menginap, tetapi masih meladeni perbincangan dengan dua orang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang sibuk meminta ibu-ibu mengumpulkan data keberatan wali murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Cina (Pocin) 1 atas rencana alih fungsi.

Namun, data keberatan apa lagi yang diperlukan, jika kita melihat puluhan orang tua rela berminggu-minggu menginap di sebuah sekolah dan menanggalkan seabrek pekerjaannya demi dapat melihat anaknya tetap sekolah di bangunan tua tersebut. Permintaan tersebut tentu cukup menyinggung rasa kemanusiaan kita.

Andhika Santoso (41) adalah salah seorang wali murid SDN Pocin 1 yang ikut memprotes rencana alih fungsi lahan Wali Kota Depok untuk meruntuhkan bangunan sekolah tersebut dan mengubahnya menjadi Masjid Raya Kota Depok. Ketiga anaknya bersekolah di SDN Pocin 1.

Melansir tirto.id, Mohammad Idris selaku Wali Kota Depok menyatakan bahwa pembangunan masjid tersebut merupakan program strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Depok, Citra Indah Yulianty. menuturkan rencana alih fungsi tersebut telah ada sejak 2019. Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengklaim pembangunan masjid raya di Jalan Margonda tersebut atas dasar aspirasi warga Depok. Kendati demikian, hingga saat ini, Pemkot Depok belum membuka secara publik detail data aspirasi yang dimaksud.

Sejak kabar rencana alih fungsi SDN Pocin 1 mencuat hingga hari ini, Andhika bersama puluhan wali murid lainnya konsisten melantangkan keberatan baik melalui forum resmi, media, maupun demonstrasi-demonstrasi di depan sekolah. Pasalnya, alih fungsi lahan ini diduga kuat minim sosialisasi dan partisipasi publik, khususnya dari pihak-pihak yang terdampak yaitu para orang tua dan murid. Tanpa kesepakatan, pada tanggal 7 November 2022, sekonyong-konyong Pemkot Depok memulai eksekusinya dengan merevitalisasi trotoar tepat di depan SDN Pocin 1. Pembangunan trotoar yang amat tinggi itu mulanya dinilai orang tua dapat membahayakan keselamatan siswa yang saat itu masih pergi sekolah seperti biasa.

Foto: Demonstrasi di Depan SDN 1 Pondok Cina


“Saya melihat trotoarnya itu tinggi banget, kurang lebih 160 sentimeter. Saya jadi heran, ini kalau anak kecil yang masih kelas 1 atau kelas 2 SD, kalau jatuh kepalanya dibawah, lehernya duluan, patah, nyawanya bisa melayang,” terang Hendro, salah satu wali murid yang pertama kali melihat trotoar tersebut.

Setelah trotoar, bentuk relokasi paksa lainnya yang dilakukan Pemkot Depok yaitu menarik guru-guru SDN Pocin 1 dan memindahkannya ke SDN Pocin 3 dan 5. Berdasarkan Surat Edaran bernomor 421.218/PC1/X1/2022 oleh Dinas Pendidikan Kota Depok, per tanggal 14 November, sudah tidak ada guru yang mengajar di SDN Pocin 1. Dengan demikian, siswa SDN Pocin 1 dipaksa memilih pindah kedua sekolah tersebut, sementara sebagian besar –sekitar 200– murid yang masih bertahan, terpaksa harus menggelar kegiatan belajar mengajar tanpa kehadiran guru.

“Ya Allah ini gimana, kok anak saya sekarang nggak ada guru,” ujar Andhika mengungkapkan kebingungannya saat mendapatkan kabar dari istrinya bahwa guru-guru sudah tidak diperbolehkan mengajar di SDN Pocin 1 dan dimutasikan ke dua sekolah lainnya.

Keberatan orang tua ini bukan tanpa dasar. Bagi orang tua yang memiliki tiga anak lebih yang disekolahkan di SDN Pocin 1, memindahkan anak-anaknya ke dua sekolah yang berbeda dengan jarak yang cukup berjauhan akan menjadi kendala saat antar-jemput anak. Kemudian, sebagian besar orang tua ini juga menolak karena tidak mau memaksa anaknya yang tidak ingin pindah sekolah. Baik karena sudah nyaman, maupun karena melihat teman-temannya yang pindah sekolah justru di-bully di SDN Pocin 3 dan SDN Pocin 5.

“Ngga mau, Ayah. Aku sudah nyaman disini,” demikian jawaban anak sulung Andhika,  Qiyamah Syakira Santoso saat ditanya Andhika tentang pindah sekolah.

Foto: Anak-anak bermain di SDN 1 Pondok Cina/Credit: Intan Shabira


“Saya bisa saja memaksa, tapi buat apa kalau anaknya nggak mau? Karena saya kerja banting tulang itu, buat anak-anak saya. Saya kerja, tapi anak-anak saya tertekan di sekolah, saya nggak mau,” tutur Andhika

“Akhirnya saya bela-belain sekarang bolak-balik Tangsel-Depok menginap disini – di SDN Pocin 1, pagi-pagi kembali bekerja ke Tangerang, begitu pula orang tua yang lain” ujar Andhika.

Adapun Pemkot Depok tidak mempersiapkan upaya relokasi dengan baik. Awalnya seluruh murid direncanakan untuk pindah ke SDN Pocin 5. Namun, akhirnya murid diberikan pilihan untuk pindah ke SDN Pocin 3 pula. Hal ini terjadi lantaran ternyata satu sekolah tidak cukup menampung murid SDN Pocin 1.

Selain dilakukan tanpa persiapan dan sosialisasi, upaya relokasi ini dilakukan ketika masa belajar aktif. Alhasil, murid-murid SDN Pocin 1 menjadi terpisah-pisah dan bingung. Kelas-kelas di SDN Pocin 3 dan Pocin 5 juga tidak cukup untuk menampung seluruh murid-murid SDN Pocin 1 sehingga sebagian murid SDN Pocin 1 yang mau pindah terpaksa masuk kelas siang hari. Waktu belajar siang dipandang oleh orang tua bukan waktu belajar yang efektif. Selain panas, hal tersebut akan menyita waktu ekstrakulikuler dan mengaji murid.

“Ibarat rumah, kalau pindah ke sekolah lain, itu kan namanya numpang. Terus ada kabar juga kalau kelasnya ngga cukup, jadi kelas siang panas-panas” terang Andhika.

Duduk Perkara Alih Fungsi: “Kita Bertahan karena Belum ada Kesepakatan!”

Rencana relokasi SDN 1 Pondok Cina bukan rencana kemarin sore. Pada 2015, sekitar enam bulan SDN 1 Pondok Cina sempat dikosongkan dan dijanjikan akan direnovasi untuk menjadi sekolah unggul percontohan. Namun, enam bulan lamanya para orang tua dan guru-guru menunggu, sekolah kosong dan terbengkalai, janji tersebut tak kunjung dieksekusi. Peristiwa itu pun diakhiri dengan kesadaran para orang tua dan guru akan kenyataan bahwa sepertinya setelah relokasi terlaksana, rencana renovasi itu tidak jadi ditindaklanjuti. Hendro, salah satu wali murid SDN 1 Pondok Cina menyatakan bahwa saat itu para orang tua dan guru sempat mengumpulkan uang untuk memperbaiki properti sekolah tersebut.

“Tahun 2015 itu sempat direlokasi selama 6 bulan, jadi selama 6 bulan sekolah ini kosong, sampai akhirnya beberapa pintu rusak, jendela rusak. Karena nggak ada kelanjutan dan kepastian –terkait wacana renovasi, akhirnya para murid dan guru kembali lagi kesini dengan biaya patungan untuk membeli dan memperbaiki yang rusak,” tutur Hendro.

Selain wacana renovasi, sempat pernah beredar pula kabar burung bahwa SDN 1 Pondok Cina akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) bahkan McDonalds. Hingga mulai pertengahan tahun 2022, beredar kembali rumor baru bahwa SDN 1 Pondok Cina akan dialihfungsikan menjadi masjid raya yang kali ini ternyata benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Depok. Pada tanggal 26 Juni sebelumnya, Pemkot Depok memang sempat mengadakan sosialisasi terkait perencanaan ini, tetapi menurut Hendro, sosialisasi yang dilakukan hanya bersifat satu arah. Belum ada dialog yang melibatkan pandangan pihak-pihak terdampak seperti wali murid.

“Nah, dalam sosialisasi yang sifatnya searah ini, kami mendapatkan informasi bahwa ini akan direlokasi, direlokasi seperti apa pun kita juga nggak tahu. Jadi, semua ini masih satu arah dan sifatnya pemberitahuan,” terang Hendro.

Meski pemberitahuan masih ala kadarnya dan belum ada ajakan untuk berdialog dengan orang tua murid, pada 7 November 2022, eksekusi alih fungsi sekolah tiba-tiba dilaksanakan dengan pembangunan trotoar. Hendro adalah salah satu orang tua murid yang langsung mendatangi para pekerja dan kontraktor yang sedang membangun trotoar tersebut. Awalnya dia memprotes pembangunan trotoar yang sangat tinggi karena dapat membahayakan keselamatan anak-anak. Namun, dari sana dia mendapat informasi bahwa revitalisasi trotoar tersebut merupakan bagian dari rencana alih fungsi SDN Pondok Cina 1 menjadi Masjid Raya Depok yang diklaim sudah direncanakan sejak tahun 2019.

Sadar belum ada dialog kesepakatan yang terjadi, sementara tidak ada pemangku keputusan yang bisa ditemui, Hendro memanggil teman-temannya yang bekerja di media untuk memberitakan keanehan ini.

“Kita panggil rekan-rekan media, jadi ramai soal ini. Hari itu viral, baru turun pihak kepolisian dan PUPR, juga wakil DPRD kota Depok, Hendrik Tangke Allo. Dia mengundang kami untuk datang ke DPRD Kota Depok hari Jumat (11/11), katanya Disdik juga akan datang,” urai Hendro

Dari pertemuan di DPRD tersebut, tiga kesepakatan didapatkan antara para perwakilan wali murid SDN Pocin 1, Dinas Pendidikan, dan DPRD Kota Depok, yaitu: (1) Hari Senin (13/9), kegiatan belajar mengajar SDN Pondok Cina 1 akan tetap dilaksanakan; (2) Guru-guru yang sudah dipindahkan akan dikembalikan ke SDN Pondok Cina 1; (3) Desain trotoar akan disesuaikan agar tidak membahayakan murid.

Sempat merasa didengarkan, kenyataannya pada hari yang dijanjikan, guru-guru tetap tidak hadir di SDN Pondok Cina 1. Kemudian, mereka akhirnya mendengar bahwa sehari sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Depok mengimbau bahwa tiga resolusi dalam pertemuan di DPRD Kota Depok kemarin tidak sah.

Akhirnya, protes berlanjut dan mereka diundang untuk melakukan audiensi kepada pihak Walikota Depok di Balai Kota Depok. Pada hari audiensi (30/12), diputuskan bahwa murid-murid dipersilakan untuk melaksanakan ujian akhir semester pada tanggal 5–9 Desember dengan peringatan bahwa setelah itu Pemkot akan melaksanakan penggusuran.

“Oke, silakan sekolah sampai tanggal 9, tapi tanggal 12 kita eksekusi,” demikian kalimat yang dijanjikan Sekretaris Daerah Kota Depok kepada para orang tua.

Namun, lagi dan lagi, eksekusi dimulai lebih awal. Mereka sudah memulai upaya pengosongan pada malam tanggal 11 Desember dengan mengeluarkan Surat Perintah Pemusnahan terhadap SDN Pocin 1.

Foto: Surat Perintah Pemusnahan SDN Pocin 1


“Malam Sabtu itu, jam 11 malam kita didatangi sama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sekitar 50-an orang. Akhirnya kita bertahan habis-habisan. Kita bertahan, karena merasa ini ada yang belum selesai, belum ada kesepakatan,”

Para orang tua marah karena sejak awal merasa tidak dilibatkan dan dipermainkan. Sebelumnya, siang hingga sore hari Jumat (9/11), para orang tua menyelenggarakan diskusi publik dengan mengundang Retno Lystiarti (praktisi pendidikan), JJ Rizal (Sejarawan), Ikravany Hilman (DPRD Depok), dan Roy Murtadho sebagai narasumber. Harapannya, suara mereka akan lebih didengar oleh Pemkot Depok sehingga dapat mempertimbangkan kembali mana yang lebih moral dilakukan. Hendro mengaku bahwa para wali murid sempat memiliki intensi untuk mengikutsertakan Kadisdik Depok dalam diskusi ini. Namun, karena ia sulit dihubungi, bahkan berdasarkan pengakuan Hendro, Kadisdik Depok sudah memblokir nomor Hendro, akhirnya para wali murid mengurungkan niat tersebut.

Foto: Diskusi Publik bersama Sejarawan, Praktisi Pendidikan dan DPRD/Credit: Arya Adel


“Udah gak usah di undang, kadisdik mau ditemui juga susah banget. Bahkan mungkin ratusan wartawan gak ada yang bisa nemuin dia. Ditelpon, gak diangkat, dia selalu mengaku sibuk ke setiap wartawan yang ingin mewawancarainya. Saya pun udah telepon kadisdik juga tetep aja. Saya orang tua wali murid juga bahkan diblokir,” terang Hendro.

‘Susah Mencari Masjid di Margonda? Saya Katakan itu bohong’

Melansir BBC News, polemik ini berawal dari permintaan Gubernur Jawa Barat, Ridwan kamil yang mengaku sulit mencari masjid di Jalan Raya Margonda. Kemudian, Gubernur Jabar yang akrab disapa Emil ini memerintahkan Wali Kota Depok, Muhammad Idris, untuk mencari lahan kosong yang strategis untuk membangun masjid raya.

Namun, saat ini tanah di Margonda semakin mahal, rata-rata harga diatas 30 juta per meter, Ridwan Kamil memberikan alternatif untuk mengalihfungsikan salah satu aset Pemkot Depok. SDN Pondok Cina 1 menjadi aset yang dipilih untuk dikorbankan. Masjid ini akan berdiri di atas lahan seluas 1.603 meter persegi dan awalnya ditargetkan selesai pada Agustus 2023.

Kemudian pada bulan Juni 2022, Wali Kota Depok menerbitkan surat ke Dinas Pendidikan tentang pengalihan fungsi sekolah itu, sekaligus usulan penghapusan SDN Pondok Cina 1 dari daftar inventaris Disdik. Rencananya, awal tahun 2023 pembangunan masjid sudah bisa dimulai dengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat (Jabar) senilai Rp18,8 miliar.

Tetapi, jangankan penggunaan dana APBD Jabar untuk Masjid di Kota Depok, baru-baru ini pembangunan Masjid Al-Jabbar di Bandung juga memicu protes publik terhadap Ridwan Kamil. Hal ini karena menurut warga yang menolak, ada banyak pembangunan yang lebih mendesak untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, fasilitas air minum, hingga irigasi yang lebih perlu didahulukan. Selain keluhan dari Ridwan Kamil, Pemkot Depok mengatakan bahwa terdapat pula sejumlah masyarakat yang merasa kesulitan mencari masjid, meski hingga saat ini data tersebut baru sebatas klaim dan belum dipublikasikan secara rinci. Ketidakterbukaan ini pula yang menjadi keluhan para orang tua murid, termasuk Hendro.

“Saya gak pernah liat, kalau misal studi kelayakannya ada, akan saya baca. Mereka kan cuman ngomong doang, mana sih –data dan kajian studi kelayakannya?” tutur Hendro.

Senada dengan Hendro, melansir BBC, menurut Halili Hasan dari Peneliti dari Setara Institute mengatakan bahwa sekolah lebih dibutuhkan untuk kepentingan publik daripada masjid yang menurutnya sudah terlalu banyak.

Merujuk data Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2022, per Desember 2022, Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki masjid terbanyak, yakni mencapai 59.243 masjid dari 290.161 masjid di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama mencatat jumlah masjid di Kota Depok saja sebanyak 706 bangunan, sementara musala ada 240 bangunan. Sementara jumlah sekolah SD di Kota Depok hanya setengah jumlah masjid.  

Sementara di Kecamatan Beji –daerah penggusuran sekolah– terdapat 83 masjid dan 17 musala. Adapun berdasarkan penelusuran Google Maps, di Jalan Margonda Raya, terdapat 19 masjid dengan jarak setiap 830 meter. Namun, tidak semuanya terletak di pinggir jalan, beberapa masuk ke dalam gang.

“Pemkot mengatakan banyak yang mengadu ke mereka kalau jam-jam Magrib, Ashar atau Isya’ itu susah mencari masjid di Margonda. Saya katakan itu bohong,” tegas Hendro.

“Banyak, hampir setiap gang ada. Kalau hanya karena susah cari masjid, pasang saja plang-plang “100 meter masjid”, kasih tanda panah ke dalam gang,” tambahnya.

Melansir BBC, Halili dari Setara Institute mengatakan hal ini mengindikasikan Pemkot Depok mementingkan kebijakan berbasis simbolisasi keagamaan. Menurutnya, hal ini karena secara kultur dan politik, kepentingan pejabat daerah di Depok lebih berpihak pada “ke-Islaman konservatif”. Tokoh-tokoh agama di Depok juga didominasi kelompok FPI dan HTI.

"Kalau ada kecenderungan masjid mengorbankan fasilitas publik yang lain, mestinya Kemenag bisa memainkan peran melakukan mediasi atau memberikan pendapat tentang bagaimana harusnya tata kebhinekaan dalam program dan anggaran," tutur Halili.

Mengapa Wali Murid Menyayangkan Rencana Alih Fungsi?

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah orang tua murid dan mendengarkan diskusi publik yang diselenggarakan oleh para orang tua, Suara Mahasiswa mendapati kesulitan-kesulitan akan dihadapi para orang tua dan murid jika relokasi ini tetap dipaksakan dalam waktu dekat. Pertama, sejumlah orang tua memiliki lebih dari satu anak akan kesulitan melakukan antar-jemput anak, jika anak-anak mereka ditempatkan di sekolah yang berbeda. Hal ini dapat berdampak signifikan pada ekonomi mereka.

“Sejak direlokasi, orang tua mempunyai anak yang bersekolah di SD Pocin 3 dan satu lagi di SD Pocin 5. Orang tuanya gak bisa nganterin bareng, hal tersebut akan memakan waktu banyak saat berangkat kerja. Otomatis masing-masing anak harus dikasih ongkos ojek. Satu bulan pengeluaran untuk ojeknya itu aja, sebulan bisa 600 ribu. Kalau 2 bulan bisa 1,2 juta,” terang Hendro

“Apalagi kalau sekolahnya siang, ya kan gak bisa nganter gak bisa jemput. Makin gedelah biayanya. Itu juga jadi problematika juga dari segi ekonomi. Itu nggak hanya satu orang, problem ini dirasakan oleh sejumlah orang tua,” lanjutnya.

Tidak hanya orang tua, kesedihan juga dirasakan dalam oleh murid-murid SDN Pocin 1. Mereka terpaksa belajar tanpa guru karena guru mereka sudah dipindahkan ke sekolah lain. Murid-murid pun sempat diajar oleh relawan, sebelum guru diperbolehkan kembali untuk mengajar di SDN Pocin 1.

“Sebenarnya ketidakhadiran dari guru sudah menjadi tekanan untuk kami, para orang tua dan murid. Diancam tidak dinilai, itu salah satu bentuk tekanan untuk kami,” ungkap salah satu orang tua murid pada Suara Mahasiswa, setelah dilaksanakannya diskusi publik di SDN Pocin 1 (9/12).

Menurut Hendro, saat guru-guru dipindahkan, murid-murid SDN Pocin 1 kaget dan kebingungan, terutama yang baru kelas 1 dan 2.  Hal ini dinilai mempengaruhi psikologis murid-murid yang belum mengerti situasi.

“Pasti lah, kaget lah, yg paling menyedihkan adalah yang kelas 1 dan 2, mereka baru banget masuk sehingga banyak yang nggak mau diajar sama yang lain. Relawan pun sempet kewalahan, mereka juga sering menanyakan mengapa sekarang ada kelas-kelas yang kosong,” ujar Hendro.

“Saya pun ikut bantu relawan untuk membangkitkan semangat anak-anak kelas 1 yang suka minta video call dengan gurunya. Setelah senang berbicara dengan gurunya, baru mau -diajar– oleh relawan, tapi kalo diajak pindah sekolah (tetap) enggak mau,” tambahnya.

Menurut Hendro, para orang tua murid sebenarnya bukan terlalu mempermasalahkan rencana relokasinya, melainkan cara merelokasinya, yang dilakukan secara tidak transparan, tidak partisipatif dan tidak ada persiapan sehingga terkesan seperti penggusuran paksa.

Selain sedih karena guru-gurunya dipindahkan, akibat relokasi yang belum matang, sejumlah murid SDN Pocin 1 yang bersedia pindah diketahui di-bully oleh murid-murid SDN Pocin 3 dan SDN Pocin 5. Hal ini melanggar prinsip perlindungan anak yang seharusnya difasilitasi oleh Pemkot Depok.

“yaa sekolahnya digusur,” demikian Hendro mengutarakan salah satu ledekan murid-murid dari sekolah lain terhadap murid-murid SDN Pocin 1.

“Tidak semua anak-anak kuat menerimanya. Ada anak-anak yang trauma dan sedih dengan kejadian-kejadian tersebut. Ini yang tidak pernah dipikirkan dan diperhatikan oleh Pemkot” jelas Hendro mengenai perundungan yang terjadi.

“Murid-murid SDN Pocin 1 dianggap numpang, sehingga (berpeluang) memunculkan perselisihan antara yang numpang sama pemilik asli. Karena udah pernah, udah pernah pengalaman waktu 2015 itu loh. Gara gara sebungkus plastik aja jadi ribut,” ujar Hendro saat menceritakan pengalaman masa lalu saat relokasi tahun 2015.

Setelah beberapa kali upaya merelokasi SDN Pocin 1 dilakukan, kondisi sekolah saat ini mulai terbengkalai. Banyak fasilitas dikosongkan, termasuk Pojok Baca hingga kebun kecil yang biasa menghiasi bagian halaman depan kelas 6B.

Foto: Kebun kecil siswa kelas 6 sebelum dan sesudah dikosongkan/Credit: Intan Shabira


Meski relokasi tidak ditolak jika dibuatkan terlebih dahulu bangunan penggantinya, tetapi banyak pihak yang cukup menyayangkan jika sekolah ini dirobohkan. Dilansir dari radardepok.com, SDN Pocin 1 yang berada tepat di pinggir jalan raya Margonda Depok ini sudah ada sejak 1946 yang pada mulanya disebut Sekolah Rakyat (SR). Sekolah Rakyat itu berdiri diatas tanah yang sekarang menjadi Margo City. Namun, sekitar tahun 1960-an tanah tersebut diprivatisasi, sehingga sekolah dipindahkan ke lahan kosong tempat ia berdiri saat ini. Tokoh masyarakat Pondok Cina bergotong-royong membiayai pembangunan kembali sekolah tersebut. Kemudian, berdirilah SDN Pocin 1 di pinggir jalan raya Margonda selama 60 tahun, hingga saat ini.

Dengan kata lain, jika ingin dijadikan cagar budaya, SDN Pocin 1 sudah memenuhi kriteria menurut Undang-Undang (UU) No. 11 tahun 2010, yaitu mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

“Kita tidak melarang pembangunan masjid, namun tolong berikan gedung relokasinya. Namun, Pemkot Depok seharusnya juga mempertimbangkan sejarah sekolah ini yang sudah terbentuk sejak 1946. Mereka telah melahirkan anak-anak yang cerdas dan berprestasi, apa iya orang-orang depok rela ini dihancurkan?,” terang Andhika, salah satu Wali Murid.

Foto: Fasilitas Pojok Baca Menjadi Terbengkalai/Credit: Intan Shabira

Bagaimana Pemkot Depok Merespon Permasalahan Ini?

Sejak awal polemik revitalisasi SDN Pondok Cina 1 dimulai, Wali Kota Depok Mohammad Idris sering menunjukan sikap yang apatis terhadap keluhan orang tua murid. Kendati memberikan kejelasan terkait nasib SDN Pondok Cina 1 yang akan digusur, ia selalu enggan memberikan tanggapan secara langsung.

“Jadi tanggal 20 November, Walikota Depok ada sidang paripurna di DPR, kita dateng untuk berbicara, entah kenapa dia lari lewat belakang pakai mobil orang. Cuma nemuin emak-emak tujuh orang aja, dia kabur, kan lucu,” ujar Hendro.

Kurangnya kejelasan atas keputusan pemangku jabatan tertinggi Pemerintah Kota Depok tersebut membuat orang tua murid merasa semakin gelisah dan bingung akan nasib pendidikan anak mereka.

Selain pengabaian, terdapat dugaan tindakan represif yang disinyalir dari pihak-pihak pemerintah kepada Kepala Sekolah SDN Pondok Cina 1 dan Lurah Pondok Cina sebelumnya, Bahrudin yang dimutasi tanpa alasan yang jelas, setelah berbincang dengan pihak pemerintah tentang rencana alih fungsi sekolah menjadi masjid. Kepala Sekolah SDN Pocin 1 sebelumnya dimutasi ke SD Kemiri Muka, sementara Lurah Pondok Cina sebelumnya dimutasi ke Kecamatan Sukmajaya, Depok.

“Pada bulan Juni, ada pertemuan Disdik, PUPR, dan pihak pemerintah dengan kepala sekolah SD Pocin 1, mungkin kepala sekolah sebelumnya, dia arahnya cenderung menolak relokasi karena belum adanya sarana pengganti sekolah, sehari kemudian dia diganti sama Kadisdik, tanpa alasan yang jelas,” ujar Hendro.

“Kemudian kelurahan, lurah Pondok Cina, sama kecenderungan arahnya dengan Kepsek SD Pocin sebelumnya –kurang menyetujui rencana pembangunan– dua hari kemudian, dia diganti. Jadi, sekarang yang memimpin sekolah ini adalah PLT dan lurah Pocin baru” tambah Hendro.

Kala Idris dimintai tanggapan mengenai laporan yang dilayangkan ke polisi oleh kuasa hukum orang tua murid SDN Pondok Cina 1 dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Melansir Viva.co.id (15/11), ia hanya memberikan sedikit komentar, mengatakan bahwa masalah revitalisasi SDN Pondok Cina 1 sudah selesai dengan penundaan relokasi.

“Sudah selesai. Saya sudah melaksanakan arahan Pak Gubernur (Jawa Barat Ridwan Kamil) dan arahan-arahan kementerian. Jangan diperpanjang lagi ya,” ujarnya.

Walau demikian, penundaan penggusuran masih menyisakan kekhawatiran di benak orang tua murid dan tanda tanya akan nasib SDN Pondok Cina 1 kedepannya. Saat ini para orang tua tengah mengajukan banding administratif kepada Gubernur Jawa Barat di Bandung. Terlebih, di saat yang bersamaan, Idris bertekad untuk menggabungkan sekitar 26 sekolah melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 421/123/KPTS/Disdik/Huk/2021.

Teks: Dian Amalia, Intan Shabira, Aulia Arsa, Bhisma Wisangaji, Shalihuddin Taufiqqurahman
Foto: Intan Shabira
Editor: Syifa Nadia

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!