Hadiah Ulang Tahun untuk Jokowi, Tuntutan Transparansi Penyusunan RKUHP

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Juni 2022
4 menit

Bertepatan dengan hari ulang tahun presiden Jokowi, aksi simbolik menuntut transparansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) digelar oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari mahasiswa dari seluruh Indonesia. Aksi simbolik dilakukan tepat di depan Patung Kuda pada hari Selasa (21/6).

“Di ulang tahun Pak Jokowi, kita ingin menyadarkan beliau, bahwa, dulu katanya beliau kangen didemo, katanya beliau kangen lah didemonstrasi, diunjukrasain dan lain sebagainya. Hal-hal seperti unjuk rasa dan demonstrasi jelas akan terancam jika RKUHP disahkan,” terang Melki Sedek Huang, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI 2022.

Aksi berlangsung cukup damai dengan kondisi yang terbilang cukup sepi, meskipun sempat terjadi sedikit kericuhan saat massa aksi memasuki kawasan Patung Kuda. Salah satu peserta aksi terjatuh akibat adanya dorong-mendorong antara aparat kepolisian dengan massa aksi. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas menyulut amarah kedua belah pihak, sehingga aksi dapat berjalan dengan hikmat hingga akhir.

Kilas Balik Kisruh Isu RKUHP

Menyoal RKUHP yang kembali menjadi sorotan, upaya pengesahannya sempat terhenti hingga berstatus menjadi carry over. Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang dianggap tinggal dilanjutkan oleh DPR periode 2019—2024 tanpa proses pengulangan dari awal. Pembahasan yang sebelumnya terhenti di persetujuan tingkat I ini rencananya tetap akan disahkan dalam masa persidangan kelima DPR RI tahun 2022.

Berdasarkan Rapat Komisi III DPR RI yang berlangsung pada 25 Mei 2022, setidaknya ada 14 pasal dalam RKUHP yang menjadi isu krusial. Akan tetapi, keseluruhan isi draf belum dibuka dan masyarakat masih belum mengetahui secara pasti isi draf terbaru ini. Di antara 14 pasal tersebut, setidaknya ada dua pasal yang menjadi perhatian utama tuntutan aksi ini, yaitu pasal 273 RKUHP dan pasal 354 RKUHP.

Pasal 273 RKUHP mengatur terkait ancaman pidana penjara atau denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang dapat mengganggu kepentingan umum, menimbulkan keributan, dan keonaran. Pasal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang sekadar mewajibkan pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, sehingga  pembubaran akan dilakukan pembubaran sekiranya ketentuan tersebut tidak terpenuhi.

Sementara itu, pasal 354 RKUHP mengatur terkait ancaman pidana penjara atau denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi. Dengan adanya pasal ini, siapapun dapat melaporkan seseorang terkait kritik atau penghinaan terhadap kekuasaan umum. Kedua pasal ini merupakan contoh atas problematikanya isi RKUHP ini yang dapat mengekang dan mengecam kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan berekspresi di muka umum.

Tiga Poin Tuntutan

Aliansi Nasional Reformasi KUHP turut menyayangkan adanya ketidakpastian yang timbul akibat pembahasan pasal-pasal bermasalah yang terkesan ‘eksklusif’ karena tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Pun, hingga saat ini masyarakat tidak diberikan akses terhadap draf RKUHP terbaru. Alhasil, tinjauan terhadap pasal-pasal bermasalah masih berpaku pada draf RKUHP 2019 silam. Padahal, KUHP merupakan dasar hukum pidana di Indonesia yang berimplikasi langsung bagi tatanan kehidupan masyarakat luas.

“Sejak dari tahun 2019 sampai sekarang, kita masih belum dihadirkan partisipasi masyarakat yang luar biasa maksimal dan kita masih belum dihadirkan pasal-pasal dalam RKUHP yang mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan kita, akan demokrasi, akan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujar Melki.

Berangkat dari permasalahan tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP memberikan pernyataan sikap yang berisi tiga poin penting, yaitu (1) desakan terhadap presiden dan DPR RI untuk segera membuka draf terbaru RKUHP dan melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembahasan RKUHP yang transparan; (2) tuntutan untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP (terkhusus pada pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan berekspresi, meskipun di luar isu krusial); serta (3) menuntut presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dan memberikan pernyataan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun waktu 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam setelah pernyataan sikap ini dibacakan. Mereka juga menyatakan bahwa akan diadakan aksi lanjutan untuk turun ke jalan yang diproyeksikan dapat menimbulkan arus penolakan yang lebih besar dibandingan aksi pada tahun 2019 lalu.

“Yang jelas terdekat kita akan konsolidasi dulu. Konsolidasi itu akan menentukan kita aksi kapan. Tapi yang jelas di dalam somasi kita hari ini kalau 7x24 jam dari hari ini tidak dibalas, rasa sayang kami ini pada Presiden Jokowi. Kami akan merencanakan sebuah aksi yang jauh lebih besar dari aksi-aksi yang pernah dilihat Pak Jokowi,” papar Melki.  

Perlu Dibahas Kembali, RKUHP Mengkolonisasi Sistem Hukum yang Ada

Sebagai tindak lanjut dari permasalahan RKUHP, massa aksi mengharapkan RKUHP yang mampu mereformasi hukum pidana terdahulu merupakan produk kolonial. RKUHP diharapkan dapat berpedoman pada prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dengan menjunjung kebebasan berekspresi dan demokrasi setinggi-tingginya.

“Tapi pasal-pasal di dalam RKUHP justru semakin mengkolonikan sistem hukum itu sendiri. Dimana aksi harus ada izinnya, dimana presiden gak boleh dikritik, dengan pasal penghinaan yang parameternya gak jelas. Ada pasal penghinaan pemerintah ini itu dan lain sebagainya. Ini adalah pasal-pasal kolonial,” ucap Melki.

Melki juga mengatakan bahwa adanya tindak pidana dengan pasal terkait perizinan penyelenggaraan sebuah aksi serta penghinaan terhadap presiden dan pemerintah tidak mempunyai parameter, sehingga semakin menguatkan kesan hukum kolonial dalam RKUHP.  

Pada akhirnya, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menuntut pemerintah untuk segera membuka draf RKUHP dan melakukan pembahasan terbuka berbasis data dengan pendekatan lintas disiplin yang melibatkan publik. Bayu Satria Utomo, Ketua BEM UI 2022 menyatakan bahwa adanya tuntutan mahasiswa terhadap RKUHP ini sebagai harapan untuk melawan kejahatan yang dilakukan negara dan akan berimbas pada masyarakat luas.

“Jangan sampai kita mendiamkan kejahatan dan jangan lupa bahwa RKUHP ini semua bisa kena,” tutup Bayu.

Teks : Aisha Afdanty Ferkin, Della Azzahra Soepardiyanto, Intan Shabira Sumarsono

Kontributor : Khadijah Putri, Masning Salamah

Foto : Danil D. Saputra/LPM Progress

Editor : Kamila Meilina

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!