Hai, Pemuda, Mana Sumpahmu?

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Oktober 2021
4 menit

Berlalu 93 tahun sejak “kerapatan pemoeda” di Kramat Raya 106 mengesahkan tiga butir putusan kolektif tentang identitas nasional Indonesia, ikrar yang acap dinamakan “Sumpah Pemuda” kini terasa semakin hambar.

Peristiwa yang mendapatkan halaman khusus dan diperingati tiap tahun itu, karena kekeliruan cara kita memaknainya, makin lama menjadi tak lebih berharga dari koran bekas. Tidak ada kebaruan setiap kali kita merayakannya, kecuali mengulang kisah sejarah romantis yang gagal diejawantahkan kembali secara kontekstual. Tidak ada kriuk renyah dari makna “pemuda” selain soal-soal transisi generatif yang dibawakan klise dan banal: bahwa pemuda adalah penerus bangsa dan motor pembangunan; bahwa pemuda telah kehilangan arah dan semakin terpicu kebarat-baratan; bahwa meneguhkan nilai-nilai dan profil Pancasila dalam diri pemuda semakin penting, dan sebagainya, dan sebagainya.

Walhasil, sebuah peringatan tentang terbitnya suatu putusan kolektif tentang identitas nasional, dengan cara memperingati “Hari Sumpah Pemuda” seperti sudah-sudah, menjadikan gagasan kunci dan api pemuda yang diwariskan Angkatan 1928 itu melempem saat diguyur hujan gemerlap ide-ide kosmopolitan yang nyatanya jauh menggiurkan pemuda—tak terkecuali saya.

Menarik untuk meninjau mengapa peristiwa yang diklaim oleh para nasionalis naif sebagai titik puncak pergerakan kebangsaan itu kini harus dipertanyakan kembali, baik dari perspektif yang dangkal maupun substansinya.

Secara dangkal, kita tidak bisa menemukan kata “sumpah” dalam dokumen “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”[1]. Yang terbukti ada dan tertera nyata hanya pengakuan tanah air yang satu, pengakuan atas bangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan. Lho, ini sumpah atau sebatas pengakuan? Apakah hari ini kita merayakan “Hari Sumpah Pemuda” atau “Hari Pengakuan Identitas Nasional oleh Pemuda”? Belum-belum sudah terjadi balau, padahal kita belum menyentuh ke akarnya, yaitu identitas nasional yang disepakati secara kolektif dan kini terperangkap dalam gejala-gejala sektarian.

Identitas Politik

Menjauh dari perdebatan di lapisan kulit tentang “sumpah” atau “pengakuan” yang sesungguhnya diumumkan para pemuda di hari bersejarah itu, terdapat satu hal pasti bahwa sejak hari itu, kekhawatiran tentang identitas nasional sama sekali lenyap. “INDONESIA” menjadi manifestasi seluruh gagasan, prakarsa, visi, sekaligus identitas politik yang selama bertahun-tahun hanya dimiliki sporadis.

Adakah Indonesia sebagai identitas gerakan politik sebelum Kongres Pemuda II bulat menyepakatinya? Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indonesische Persbureau dalam pengasingannya di Belanda pada 1913. Partai Komunis Hindia yang berdiri pada 23 Mei 1920 menyetujui ganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia pada Kongres di Kotagede, Yogyakarta, pada 1924.

Setahun kemudian, di seberang laut, pelajar-pelajar Hindia Belanda mengganti nama organ Indonesische Vereeniging menjadi “Perhimpoenan Indonesia”. Pada 1927, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia di Bandung. Mohammad Hatta yang mulai disidang pada 8 Maret 1928 di depan mahkamah Belanda menyampaikan pidato pembelaannya “Indonesië Vrij”, yang antara lain menyerukan, “’Indonesia’ menegaskan bagi kami suatu cita-cita politik, karena ia melambangkan dan mengidealkan sebuah tanah air yang merdeka di masa depan....”

Sejarah bercerita, “Indonesia” sudah menjadi anak kandung pergerakan politik sejak digodok sebagai identitas nasional. Murni dan sepenuhnya berasal dari gagasan politik yang, mengutip Hatta, mencita-citakan sebuah tanah air yang merdeka di masa depan. Pertanyaannya, sesudah kemerdekaan diraih, apa yang sebenarnya terjadi pada “Indonesia” sebagai manifestasi perjuangan?

Pemuda Bersumpah?

Di tangan pemuda, “Indonesia” sebagai lambang penanda zaman mengalami perubahan wujud yang signifikan, jika tidak disebut terbalik dan perlahan membeku. Indonesia 1928 menjadi lambang puncak pengakuan tentang identitas, yang terbukti dalam tiga ikrar “Poetoesan Congres”. Tujuh belas tahun kemudian, kemerdekaan yang  diraih dalam senyap menuntun pemuda menyaksikan transformasi besar-besaran dan transisi jiwa inferior menjadi manusia bebas. “Indonesia 1945” menjadi lambang kedua perubahan, dari pengakuan identitas menjadi pernyataan diri sebagai bagian negara-negara bekas jajahan yang membulatkan tekad menentang imperialisme dalam segala bentuknya.

Dua puluh tahun kemudian, sesudah Angkatan Darat menjadi aktor penggerak utama dalam episode pembantaian massal terdahsyat dalam sejarah republik, pemuda menandai babak baru “Indonesia 1966” sebagai lambang penarikan diri Indonesia dari gelanggang perjuangan pembebasan. Skenario baru yang diterima para pemuda ialah menjadikan “Indonesia” sebagai lambang negara “Dunia Ketiga” yang terbelakang dan setiap waktu kambuh dalam ketergantungan pada bantuan dan utang luar negeri.

Sesudah 1966, nyatanya pemuda tidak banyak terlibat dalam sejarah. Episode 1998, meski makna heroiknya tidak dapat dilupakan, nyatanya bukan lambang revolusi atau perubahan besar. Katakanlah, pemuda memiliki andil dalam kejatuhan Soeharto dan terperangkapnya Indonesia dalam pusaran neoliberalisme hingga hari ini. Tetapi siapa yang harus bertanggung jawab? Menimpakan kesalahan pada pendahulu tidak berarti generasi pengganti terlepas dari beban membereskan carut-marut “Indonesia” yang larut dalam kecamuk persaingan, perebutan kekuasaan, dan mentalitas korup-dekaden-manipulatif warisan angkatan sebelumnya.

Kapan pemuda seharusnya bicara? Lewat apa? Sampai kapan? Pertanyaan itu barangkali tidak pernah terjawab dalam demonstrasi yang penuh debu dan semprotan gas air mata. Pemuda berteriak-teriak, mengaku sebagai “penyambung lidah rakyat”, tetapi begitu jauh dari konteks sosiohistoris yang menjadikan rakyat sedemikian rupa hancurnya sebagai objek kekuasaan tanpa daya. Alhasil, pergerakan pemuda terbentur pada aktivisme cair dan berdaya tawar rendah bertagar #ReformasiDikorupsi. Indikator kemenangan yang selama ini diharapkan dari political will pemerintah, nyatanya tidak tercapai sedikitpun sampai hari ini.

Deteriorasi gerakan pemuda dan kedudukan pemuda sebagai yang liyan dan terasing itulah yang dikunyah-kunyah dalam pidato “Hari Sumpah Pemuda”. Konteks dan gagasan kunci Angkatan 1928 sudah tidak ditemukan jika pemuda hari ini ditarik dalam diri pelajar dan mahasiswa. Pengakuan tentang identitas yang satu, sama sekali tidak menarik ketika diperhadapkan dengan gemerlap dunia yang terjangkau dari balik telepon genggam. Ujung-ujungnya, jika tidak terperosok dalam obsesi fanatik “right or wrong is my country”, hakikat identitas terjebak aras superfisial keragaman suku-agama-budaya-adat-dan sebagainya.

Hilangnya api semangat dan gagasan kunci Angkatan 1928 juga menjadikan para pemuda gagap ketika rakyat tertindas membutuhkan tindakan dan gagasan baru yang memanusiakan dan memberdayakan. Secara vulgar, kegagapan itu dipamerkan dalam “aktivisme digital” dan kampanye yang mendengungkan persoalan yang kental bias-urban dan mengambang dalam sasaran “membangkitkan kesadaran”. Kampanye yang bergaung di layar-layar telepon pintar tidak menjadi apa-apa selain bising yang gagal mengangkat derajat hidup mbok Kamijo yang desanya tergusur pembangunan hotel berbintang, atau memberdayakan anak-anak putus sekolah di Kampung Bakti, Roxy, atau mensejahterakan pekerja informal yang terseok-seok saat pandemi.

Dalam zaman kalabendu ini, ketika kekuasaan semakin ugal-ugalan dan kekayaan makin menumpuk di tangan segelintir orang yang kekenyangan, pemuda dituntut untuk tidak sekadar menaikkan tagar. Ada harapan yang tidak berhasil dibaca para pemuda dari anak-anak yang putus sekolah dan kehilangan asa; dari para pekerja informal yang tergulung ancaman kelaparan; dari mereka yang tidak mendapat haknya sebagai anak-anak Pertiwi yang berlindung di bawah merah putih—pendeknya semua orang yang gagal dimanusiakan pemerintah.

Pemuda seharusnya bersumpah kepada semua yang tertindas dan terampas, bukan pada negara yang terbukti menindas dan menenggelamkan diri dalam kenyamanan hidup yang mewah dan mahal, sementara kemiskinan struktural dan pengisapan manusia oleh manusia terjadi di pelupuk mata.

Pertanyaannya, mana sumpahmu, hai pemuda?

Teks: Christian Wibisana
Foto: Mikail Arya
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!


[1]https://id.wikisource.org/wiki/Putusan_Kongres_Pemuda-pemuda_Indonesia