Demonstrasi besar-besaran yang berlangsung di depan Gedung DPR RI, Senayan, pada Kamis (20/03), menjadi saksi bisu atas ketidakpuasan rakyat terhadap keputusan yang dinilai mengancam demokrasi dan supremasi sipil. Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk menolak pengesahan RUU TNI, termasuk mahasiswa Universitas Indonesia (UI).
Mulanya, pasukan berjaket kuning ini berangkat dari Pelataran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI menuju depan Gedung TVRI. Setelah tiba, massa aksi melakukan longmars menuju Gedung DPR RI untuk membersamai demonstran lainnya. Terik matahari dan rintik hujan tak lantas mengurangi semangat massa untuk terus maju.
Aksi yang dipelopori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas se-UI, datang berbekal tiga tuntutan utama, yaitu:
Disahkannya RUU TNI oleh DPR RI
Namun sayangnya, sesaat sebelum massa UI bergerak menuju Senayan, DPR RI telah lebih dulu mengetuk palu atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Dewan Sidang yang terhormat, apakah RUU tentang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?” tanya Ketua DPR RI, Puan Maharani, melalui siaran langsung yang disiarkan oleh akun YouTube @DPRRI yang kemudian disahuti ungkapan persetujuan dari peserta sidang. Hal ini secara tidak langsung mementaskan bagaimana pemerintah tutup telinga dari jeritan rakyat yang sedang turun ke jalan dan menyuarakan penolakan besar-besaran.
Naasnya, pengesahan RUU TNI ini dilakukan tanpa melibatkan partisipasi rakyat. Isinya pun dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali dwifungsi militer ala rezim Orde Baru.
Salah satu contohnya adalah perubahan pada Pasal 47 Ayat (1). Sebelumnya, pasal ini secara limitatif mengatur bahwa prajurit aktif harus mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan sipil. Namun, kini terdapat penambahan batas usia pensiun serta perluasan jumlah instansi yang dapat ditempati oleh prajurit aktif.
Selain itu, rapat pembahasan RUU TNI dilakukan secara tertutup bagi publik, dan drafnya baru dapat diakses hari ini (21/03). Hal ini tentu dipandang sebagai upaya untuk mereduksi supremasi sipil dalam pemerintahan.
“Tentunya, mahasiswa UI di sini, kita semua sepakat untuk menolak karena muatan substansi yang ada di dalam RUU TNI tersebut sangat melanggar asas-asas demokrasi yang selama ini kita perjuangkan. Itu semua diwujudkan dalam perluasan jabatan TNI ke dalam ranah sipil dan juga beberapa hal-hal lain yang cukup potensial terhadap demokrasi itu sendiri,” ungkap Rei selaku Koordinator Bidang Sosial Politik BEM FISIP UI kepada Suara Mahasiswa (Suma) UI.
Dengan disahkannya RUU TNI oleh DPR, militer dapat membatasi kebebasan sipil, membungkam kritik, dan menindas perlawanan rakyat dengan legitimasi atas nama keamanan.
Militerisme dapat menjadi alat untuk melanggengkan otoriter. Pengesahan RUU TNI ini juga memiliki arti bahwa militer kembali mendapat ruang untuk mengontrol politik, ekonomi, dan kehidupan sipil.
Kekerasan Aparat terhadap Mahasiswa dan Jurnalis Suma UI
Menjelang malam, kondisi di lokasi aksi bertambah ricuh. Para demonstran mulai menembakkan petasan ke dalam pekarangan dan menyalakan api di depan pagar gedung. Mereka juga berusaha membobol gerbang Gedung DPR hingga berhasil masuk melalui celah bagian kiri gerbang.
Namun, saat masuk, mereka justru disambut dengan tembakan water cannon oleh aparat. Seorang mahasiswa beralmamater hijau pun terkena lemparan batu yang mengakibatkan kepalanya bercucuran darah.
Brutalitas aparat juga berdampak terhadap Muhammad Aidan, salah satu jurnalis Suma UI. Sekitar pukul 19.00 WIB, ia dan dua mahasiswa FISIP UI lainnya dilarikan ke Rumah Sakit (RS) akibat dipukuli aparat yang bersiap dengan tameng dan pentungan. Aidan dan satu mahasiswa FISIP dibawa ke RS Pelni, sedangkan satu orang lainnya ke RS Tarakan.
Atasi Provokasi dengan Mencermati Informasi
Aksi kali ini tak luput dari dugaan tindak provokasi yang berujung pada situasi anarkis dan memakan korban. Sekitar pukul 11 pagi, massa tandingan yang mengaku sebagai sipil muncul di depan Gerbang Pancasila (gerbang belakang Gedung DPR RI) sambil membawa spanduk yang menyerukan dukungan pada pengesahan RUU TNI.
Ketika ditanya mengenai alasan turun ke jalan, mereka mengaku tidak tahu. Tersebarlah kabar bahwa massa tersebut dibayar untuk mendelegitimasi Aksi Tolak RUU TNI. Dugaan provokasi ini juga ditemukan pada oknum yang sengaja memindahkan palang penutup jalan sehingga pengguna jalan terlibat bentrok dengan massa aksi. Pengguna jalan yang terlanjur memasuki area aksi pun terpaksa putar balik karena mustahil bagi mereka melawan massa.
Hingga saat ini, isu provokasi belum dapat dikonfirmasi dalangnya. Aidan, sebagai korban langsung dari kekerasan aparat dalam aksi kali ini, mengimbau agar masyarakat selalu mengecek fakta dan tidak sembarangan menyebar informasi.
Ia juga mengunggah klarifikasi atas berita simpang siur terkait dirinya di media sosial. Sikap Aidan ini menunjukkan semangat untuk menjunjung nilai-nilai jurnalisme yang tidak luntur walaupun dihantam pentung dan tameng-tameng aparat.
Teks: Cut Khaira, Alya Putri Granita
Editor: Dela Srilestari, Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Kontributor: Muhammad Aidan
Foto: Alya Putri Granita
Desain: Naila Shafa Zarfani
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!