Heboh Fakultas Sastra UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Januari 2021
11 menit

Contributor MH Rasid

“Kini hadir perantara kejanggalan pada tiap penghambaan, pada makara putih penuh kehampaan di bawah gelap terang kesadaran.”

Dengan meminjam tutur Munir Said Thalib, penulis akan membuka artikel opini ini,

“Mereka berebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, kemudian mereka bersembunyi di balik ketek kekuasaan. Apa kita biarkan mereka untuk gagah? Saya kira tidak, mereka gagal untuk gagah. Mereka hanya ganti baju, tetapi di dalam tubuh mereka adalah sebuah kehinaan. Sesuatu yang tidak bertanggung jawab. Sesuatu yang mereka bayar sampai titik mana pun.”

Syahdan, satu artikel menarik diterbitkan oleh Pers Suara Mahasiswa pada Kamis, 21 Januari 2021 lalu, masih sangat segar pula masih sangat sangar. Membahas tentang sebuah polemik berkepanjangan yang terjadi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dengan tajuk “Ada Apa dengan Pemira Jilid 2: Semarak Pesta Demokrasi FIB yang Tertunda”. Wacana yang diangkat oleh Sekar Arum dan kawan-kawan ini barangkali tidak berangkat dari keresahan yang bersifat impulsif belaka, artikel tersebut sangat boleh disebut sebagai sebuah hipogram daripada situasi historis yang terjadi dua tahun ke belakang atau barangkali ke masa yang akan datang di Fakultas Sastra (izinkan penulis menyebut FIB UI sebagai Fakultas Sastra dalam artikel ini, duhai pembaca yang budiman).

Sebelum menulis lebih lanjut mengenai polemik ini, para pembaca yang budiman perlu mengetahui bahwasanya penulis hanya seorang mahasiswa biasa (yang dapat ditemui kalian pada keseharian yang tak kalah biasa), tanpa hal-hal titular yang bisa penulis banggakan, hanya seorang mahasiswa yang masih mendalami Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra. Oleh karena itu, sangat diperbolehkan untuk kalian meninggalkan laman ini sebab opini penulis barangkali invalid. Anggap saja alinea ini sebagai spoiler warning, tidak semua orang suka di-spoiler, bukan? Kita akan membicarakan soal Pemira IKM FIB UI dan BEM FIB UI pada kesempatan yang berbahagia ini.

Remnants of Penance
Pemira merupakan sebuah ajang kontestasi tahunan yang diadakan oleh lembaga legislatif mahasiswa di Universitas Indonesia, bila di tingkat universitas diadakan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UI, maka di Fakultas Sastra program ini memiliki kesamaan yakni dihelat oleh lembaga legislatif yang tidak lain adalah DPM FIB UI. Pagelaran ini punya kesamaan lain yakni formasi tim pelaksana dibentuk melalui sistem open tender dengan iktikad baik untuk menjaga independensi. Ingin tahu kesamaan lainnya? Keduanya seret menjalankan rangkaian acaranya sesuai lini masa yang telah disepakati di awal. Dalam dua tahun ke belakang selalu ada masalah entah tidak terpenuhinya berkas bakal calon hingga persyaratan usang untuk pencalonan diri yang tidak relevan (masih ingatkah kawan-kawan dari Program Vokasi mengenai polemik minimum SKS?).

Pembahasan dari sini akan mulai mengerucut pada Fakultas Sastra. Merujuk pada pernyataan Muhammad Ali selaku Project Officer Pemira IKM FIB UI 2020 yang terangkum pada artikel yang sudah disebutkan di pendahuluan, “Ketiadaan calon BEM di Pemira IKM FIB UI tahun ini bukan pertama kali, tahun lalu di Pemira IKM FIB UI 2019 juga mengalami hal serupa, yaitu tidak adanya calon Ketua dan Wakil Ketua BEM, hanya ada calon untuk DPM.” Pernyataan Ali diaminkan oleh Zuhdi Sahrul Ramadhan, Ketua DPM FIB UI 2020 yang tertulis di artikel tersebut, “Sebelumnya kami juga sudah mengingatkan dan memberi saran kepada pihak BEM untuk dapat mempersiapkan calon Ketua BEM dan calon Wakil Ketua BEM jauh-jauh hari karena ini terkait regenerasi dari BEM sendiri agar kejadian seperti Pemira IKM FIB UI 2019 tidak terulang lagi”.

Penulis dengan penuh maklum percaya bahwasanya Ali dan kawan-kawan pelaksana Pemira IKM FIB UI 2020 serta tim pelaksana Pemira IKM FIB UI 2019 sudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dengan meminjam aksara Mbah Pramoedya dalam buku Bumi Manusia, penulis akan berkata, “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Berbekal keyakinan itu, penulis mencoba melakukan kalkulasi sederhana dengan menilik akun Instagram @pemiraikmfibui sedari periode 2015-2018, yang mana merupakan rentang waktu sebelum polemik ini hadir, realitas menunjukkan bahwa antusiasme IKM FIB UI mengalami penurunan di tiap tahunnya.

Pada tahun 2015, tercatat jumlah surat suara sah yang masuk berjumlah 1429 suara untuk proses eleksi BEM FIB UI dan 1426 suara untuk proses eleksi DPM FIB UI. Selanjutnya, pada tahun 2016, jumlah surat suara sah untuk proses eleksi BEM FIB UI berjumlah 1388 dan untuk proses eleksi DPM FIB UI berjumlah 1272. Pada tahun 2017, surat suara sah yang masuk terhitung berjumlah 1216 untuk kedua proses eleksi. Terakhir, jumlah surat suara sah yang masuk di tahun 2018 berjumlah sebanyak 1188 suara (Pemira IKM FIB UI, 2015-2018). Apa yang sebenarnya menjadi akar menurunnya antusiasme IKM FIB UI dalam pertunjukan demokrasi ini serta tidak hadirnya calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FIB UI pada Pemira IKM FIB UI 2019 dan 2020 dengan tepat waktu? Mari kita simak kesaksian berikut.

Membuntut pada kesaksian Muhammad Arief Herdiansyah, “Karena anak 2017-nya udah pada burnout, udah pada malas, traumatik dari BEM ‘19, mereka ga ada yang mau maju jadi ketua BEM dan ga ada yang mau jadi PI (baca: Pengurus Inti).” Setali tiga uang, Armano Sarza berujar bahwa akar permasalahan ini tidak hadir dari BEM periode sebelumnya, “Sangat disayangkan mengapa tidak ada yang memiliki kesadaran untuk melanjutkan kepengurusan di BEM FIB UI.” (Arum, dkk., 2021). Penulis menyanjung keberanian Pers Suara Mahasiswa untuk mengangkat problematika ini, tetapi rasanya janggal ketika sang pemilik hajat, yakni Ketua BEM FIB UI periode sebelumnya, Idham Akbar, tidak angkat suara perihal ini. Penulis yakin redaksi Pers Suara Mahasiswa sudah melakukan berbagai pendekatan dengannya, entah mengapa enggan turun gunung. Menyambung alinea pembuka, omong kosong demokrasi!

Mengadili Hukum
Masih mengekor pada artikel yang dituliskan oleh Arum dan kawan-kawan, ada pernyataan yang berbunyi, “Dalam AD/ART BEM sebenarnya tidak terdapat fungsi kaderisasi, sehingga ketika tidak adanya calon yang maju atau kemandegan Pemira, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alasan kegagalan BEM periode sebelumnya”. Penulis menghargai pandangan itu dan mencoba mengulik produk hukum yang lebih tinggi di Fakultas Sastra, yakni Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IKM FIB UI. Penulis mengalami perjumpaan serupa love-hate relationship pada barisan huruf yang menjadi pedoman mahasiswa Fakultas Sastra selama menjalani kehidupan kampus. Tersebutlah AD BAB VIII Regenerasi dan Kaderisasi Pasal 20 (DPM FIB UI, 2019), di sana tertulis bahwasanya, “Regenerasi adalah proses pergantian kepengurusan LFK FIB UI melalui mekanisme Pemira,” sampai di sini penulis masih mengerti sepenuhnya baik dari segi diksi maupun kontekstualitas kalimat tersebut.

Semakin penulis tenggelam ke bawah demi perjumpaan yang tidak terlupakan dengan ART IKM FIB UI penulis semakin menemukan kegelisahan di hati. Pada ART IKM FIB UI BAB II Regenerasi dan Kaderisasi Pasal 7 Regenerasi Lembaga Formal Kemahasiswaan poin (a) dan (b) yang secara berturut berbunyi, “Pemira Lokal untuk memilih ketua Hima, ketua BO, dan ketua BSO” dan “Pemira Fakultas untuk memilih ketua dan wakil ketua BEM, serta anggota independen DPM FIB UI”. Penulis menemukan kesimpulan akan polemik ini yaitu masyarakat Fakultas Sastra sedang mencoba saling tusuk pada sesamanya dan melarikan diri dari tanggung jawabnya. Pasalnya, jika ini bukan kesalahan BEM FIB UI periode sebelumnya dan ini bukan kesalahan DPM FIB UI periode sebelumnya juga, maka yang tersisa yang dapat disalahkan dan sasaran empuk pengkambinghitaman adalah tim pelaksana Pemira IKM FIB UI. Sungguh kasihan kalian, maka biarkan penulis melawan api tersebut dengan api hingga Fakultas Sastra rata dengan tanah saja.

Polemik ketidakhadiran calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FIB UI pada dua tahun sebelumnya yakni pada Pemira IKM FIB UI 2019 dibawa ke meja musyawarah berdasar pada hasil sidang istimewa bertajuk “FIB Summit” pada tanggal 22 November 2019, di mana permufakatan yang dihadiri 12 LFK FIB UI yakni: DPM FIB UI, BEM FIB UI, SKS, IKSEDA, ISJ, Senar Budaya, IKABSIS, HIMAJA, Formasi, IMASIP, HWARANG, Nartana Buddhaya, KOMAFIL, KAMA, IKABA, IKSI, dan IKMI, menyetujui untuk diadakan Musyawarah Mahasiswa (Musma) pada 25 November 2019 (DPM FIB UI, 2019). Sepanjang Musma, penulis tidak sekalipun mendengar burnout menjadi alasan daripada absennya calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FIB UI. Alasan yang hadir ialah kurangnya Sumber Daya Manusia pada angkatan masuk tahun 2017 sebab kesalahan administrasi pada proses penerimaan mahasiswa baru oleh pihak FIB UI. Dari sini penulis berpikir bahwa alasan burnout tidak menyentuh dan tidak pernah menjadi masalah, melainkan masalah yang diada-ada.

Pada akhirnya, Musma yang dihelat pada 25 November 2019 menghasilkan keputusan untuk mengadakan kembali Pemira di periode selanjutnya dengan catatan tim pelaksana resmi dibentuk dan bertugas dari 25 Januari 2020 hingga 24 Februari 2020 (DPM FIB UI, 2020). Kabar burung yang berembus mengenai sengketa persyaratan yang memberatkan pada ART IKM FIB UI BAB IV BEM Pasal 16 Persyaratan Umum poin (b), Syarat umum calon ketua dan wakil Ketua BEM FIB UI: sekurang-kurangnya telah memperoleh 60 SKS berhasil didamaikan dengan hadirnya Ariq Alvaro (Sastra Jawa 2018) yang mana terhitung pada Februari 2020 telah memperoleh 60 SKS bersanding dengan Idham Akbar (Arkeologi 2017).

Parade Penghakiman Massal
Kembali ke laptop, pada pagelaran Pemira kali ini sangat mungkin pandemi Covid-19 dijadikan excuse daripada absennya calon ketua dan wakil ketua BEM. Kiranya pada tahun 1997, Clayton M. Christensen memperkenalkan teori yang kelak dikenal sebagai disruption. Istilah disruption menjadi marak digunakan sebab berjalan seiringan dengan perkembangan teknologi informasi (Kasali, 2019). Terminologi ini menggeser kata destruction yang dibumikan oleh Schumpeter. Disrupsi pada era informatika sama dengan revolusi, angkatan kita haruslah merespons ini dengan cepat dan melakukan revolusi framework. Penulis tidak ingin menjadi seorang fatalis yang menyerahkan semua pada takdir Tuhan dan lepas tangan. Penulis mengajak pembaca yang budiman, terutama warga Fakultas Sastra, untuk menolak mati meski umur telah senja, menghidupi amor fati, dan menerima realitas kalau hidup itu absurd.

Dunia akan bergerak dengan sangat cepat hingga batas di mana kerangka berpikir manusia berujung pada dua kemungkinan: mengikutinya atau mati. Seorang sejarawan Inggris bernama Arnold Toynbee pernah mengemukakan konsep bernama Challenge and Response (Schmandt dan Ward, 2000) yang kurang lebih berusaha untuk menangkap dan menjelaskan bagaimana sebuah peradaban lahir dan mati (maaf, .Feast, peradaban mati kali ini). Dengan kontekstualisasi ke Fakultas Sastra saat ini, penulis beropini bahwa membekukan BEM FIB UI dengan harapan akan hadirnya fungsionaris yang lebih kompeten dan terbebas dari dosa masa lalunya bukanlah respons yang tepat. Harapan ini tidak dapat dijadikan jalan keluar instan, ini hanya prediksi kosong.

Pada tiap-tiap komunitas, berlaku dan hadir sebuah konsep bernama liminalitas. Liminalitas atau transisi pada dasarnya mengkonstruksi dua model kelompok manusia, yaitu masyarakat dan komunitas. Menurut Victor Turner, kelompok manusia yang bermasyarakat terstruktur sedemikian rupa yang menyajikan fakta-fakta sosial tentang status dan peran masing-masing individu dalam anggota masyarakat (Sahar, 2019). Teori liminalitas ini selalu dijadikan landasan untuk pelaksanaan ritus inisiasi sebuah komunitas─termasuk juga nilai-nilai BEM─sebagai proses kaderisasi dan penghilangan keambiguan para kader baru dan penerimaan di tempat baru yakni BEM FIB UI. Regenerasi yang cacat ini merupakan luaran daripada inisiasi nilai yang tidak sempurna. Jika BEM FIB UI periode sebelumnya tidak bertanggung jawab atas polemik ini, maka siapa yang harus bertanggung jawab? Rumput yang bergoyang? Penulis tidak mengerti apa yang diajarkan dan dipelajari di BEM FIB UI. Ini tafsir penulis, inisiasi/internalisasi nilai di periode sebelumnya berhawa sangat tipis. Meminjam bahasa Soe Hok Gie, “Lembaga yang tidak tahan kritik boleh masuk ke tempat sampah”.

Tafsiran liar penulis merunut pada ART IKM FIB UI BAB II Regenerasi dan Kaderisasi Pasal 7 Regenerasi Lembaga Formal Kemahasiswaan poin (a), regenerasi BEM adalah tanggung jawab BEM. Hal ini bahkan dapat diterima logika normatif yang umumnya berarti berkaitan dengan standar evaluatif. Normativitas adalah fenomena dalam masyarakat manusia yang menunjuk beberapa tindakan atau hasil sebagai baik atau diinginkan atau diizinkan dan yang lain sebagai buruk atau tidak diinginkan atau tidak diizinkan (Bicchieri, 2017). Sedikit informasi, pada bagan kepengurusan BEM FIB UI terdapat sebuah Departemen bernama Kaderisasi dan Pengembangan Karakter (KPK) dan penulis rasa mereka dapat ditanya-tanya lebih lanjut mengenai hal ini. Biarlah hal ini menjadi diskusi internal, nasi sudah menjadi bubur.

Menulis Racauan
Bila dianalogikan Fakultas Sastra sebagai miniatur Republik Indonesia, maka kontestasi politik di Fakultas Sastra tidak hanya melibatkan Elit Politik melainkan Elit Tradisional juga. Sejalan dengan Local Strongmen yang dikemukakan oleh Joel S. Migdal yang mana menggambarkan tokoh yang identik dengan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki serta memiliki keahlian di bidangnya, local strongmen merupakan sebuah terminologi yang identik dengan elit, meskipun terdapat banyak pengertian tentang konsep elit tapi pada dasarnya ada kesamaan pemahaman bahwa konsep elit merujuk pada sekumpulan orang sebagai individu-individu yang superior yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan maupun sedang berkuasa begitu pun dengan local strongmen (Zainal dan Khaldum, 2017).

Singkatnya, mereka pemilik modal sosial di luar aspek politis. Di tingkat republik, modal sosial datang dari kalangan, tuan tanah, tengkulak, pengusaha, ulama, dan sebagainya. Modal sosial termanifestasikan melalui hubungan-hubungan dan jaringan yang merupakan sumber daya berguna dalam penentuan dan reproduksi dan kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial atau jaringan sosial ini dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain atau kuasa. Apabila diaplikasikan ke Mini Republik kita (baca: Fakultas Sastra), elit politik tentunya adalah mereka yang hadir dari organisasi mahasiswa eksternal yang bergerak di bidang politik, semisal PMII, HMI, dan GMNI. Lalu bagaimana dengan elit tradisional alias local strongmen ini? Mereka adalah orang-orang yang dikenal nongkrong dan membentuk lingkaran-lingkaran pemilik suara dari segi kultural. Kondisi patron dan client sangat tergambar dan lumbung-lumbung suara berasal dari praktik mementingkan kerabat.

“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain,” tutur Hok Gie yang mana penggambarannya akan Fakultas Sastra berpuluh-puluh tahun lalu masih sama hingga hari ini. Mungkin pandangan ini terlalu subjektif, penulis tidak pernah berprasangka baik pada golongan-golongan ini. Saat kita di masa Sekolah Menengah dahulu, ada komplotan-komplotan yang mengatur dari segi kehidupan keseharian, local strongmen ini hidup dalam kegemilangannya dan memaksa kita mengikuti alur mereka. Sangat tidak prinsipil. Apabila orang-orang yang dahulu memaksa penulis membeli jaket angkatan dan patungan untuk Buku Tahunan Sekolah hanya untuk dikorupsi (ini hanya contoh, kita sebagai mahasiswa pernah SMA, bukan, dan orang-orang itu menyebalkan?) mengisi kursi-kursi fungsionaris ini maka tidak heran regenerasi tidak terjadi, BEM tidak menjual dan tidak resiprokal (ini hanya analogi, jika ada yang tersindir silakan introspeksi).

Selama ini kita hidup di bawah jargon-jargon kosong dan ketakutan berpolitik yang padahal dijamin negara. Penulis amat menyayangkan bahwa selama ini aturan tertulis berupa surat pernyataan mengenai calon yang hadir tidak boleh datang dari organisasi atau yayasan eksternal bersayap politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Aturan ini membuat orang-orang enggan berpolitik dan apa yang bergerak secara klandestin tidak kompeten dalam menjawab challenge and response. Polemik ketidakhadiran calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FIB UI merupakan bentuk paripurna daripada demokrasi yang sudah diretas sangat jauh oleh golongan-golongan yang takut dan senang lempar tangkap tanggung jawab.

Di penghujung artikel opini ini, penulis berposisi menyarankan perbaikan produk hukum yang pernah menimbulkan polemik di Pemira IKM FIB UI 2019 dan berharap sangat dari Pemira ulang di tahun 2021 ini calon yang hadir merupakan sepasang yang lintas angkatan sebagai otokritik berjalan daripada ART IKM FIB UI BAB IV BEM Pasal 16 Persyaratan Umum poin (b). Sekaligus berusaha moderat, jika dirasa kehebohan ini sudah tidak menemui jalan keluarnya dan dikhawatirkan memunculkan adu otot, maka alternatif seperti Serikat Mahasiswa Progresif (Semar) UI menjadi pilihan yang tepat untuk kalian yang suka berserikat tanpa bersekat. Penulis tidak ingin berharap apa pun atau berujar bahwasanya mahasiswa Fakultas Sastra tidak memiliki kesadaran untuk ini-itu, sebab terkesan membuat diri superior. Terima kasih sudah menembus belantara kata yang penulis buat sebagai pleidoi.

Atas nama cinta yang hilang, panjang umur perjuangan! Salam Buku, Pesta, dan Cinta!

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Penulis: MH Rasid
Foto: Anggara Alvin I.
Editor: Syifa Nadia

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Acuan
Laman dan Dokumen dari Web
Arum, Sekar, M. Kahlil, dan Gilang Nugraha. 2021. Ada Apa dengan Pemira Jilid 2: Semarak Pesta Demokrasi FIB yang Tertunda. Didapat dari http://suaramahasiswa.com/Ada-Apa-dengan-Pemira-Jilid-2-Semarak-Pesta-Demokrasi-FIB-yang-Tertunda diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
DPM FIB UI. 2019. Hasil Sidang Istimewa FIB Summit 22 November 2019. Didapat dari bit.ly/NOTULENSIFIBSUMMIT22NOV2019 diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
DPM FIB UI. 2019. Press Release DPM FIB UI Terkait dengan Pemira IKM FIB UI 2019. Didapat dari bit.ly/PRPemiraFIB diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
DPM FIB UI. 2020. Surat Keputusan DPM FIB UI Tentang Pengangkatan Panitia Pemira IKM FIB UI. Didapat dari bit.ly/SK_PEMIRAIKMFIBUI diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
Pemira IKM FIB UI. 2015. Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Pemira IKM FIB UI 2015. Didapat dari https://www.instagram.com/p/_UYLHPI8IS dan https://www.instagram.com/p/_UYziCI8JV diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
Pemira IKM FIB UI. 2016. Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Pemira IKM FIB UI 2016. Didapat dari https://www.instagram.com/p/BOFqX9HgVdR dan
https://www.instagram.com/p/BOFqh6HA1lm diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
Pemira IKM FIB UI 2017. Press Release Perhitungan Suara Pemira IKM FIB UI 2017. Didapat dari bit.ly/PerhitunganSuaraFIBUI diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.
Pemira IKM FIB UI 2018. Press Release Perhitungan Suara Pemira IKM FIB UI 2018. Didapat dari bit.ly/RayakanDemokrasi diakses pada Sabtu, 23 Januari 2021.

Buku dan Jurnal
Bicchieri, Cristina. 2017. Norms in the Wild: How to Diagnose, Measure, and Change Social Norms. Oxford University Press.
Gie, Soe Hok. 2017. Zaman Peralihan. Yogyakarta: Metabangsa.
Khasali, Renald. 2019. Disruption. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sahar, Santri. 2019. "Kebudayaan Simbolik: Etnografi Religi Victor Turner". Sosioreligius, 4 (2).
Schmandt, Jurgen, C. H. Ward. 2000. Sustainable Development: The Challenge of Transition. Houston: Rice University.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Zainal, Nur Aliyah, Ibnu Khaldum. 2017. "Local Strongmen dan Kontestasi Politik: Studi Terhadap Kemenangan Fenomenal Aras Tammauni dan Muh. Amin Jasa Pada Pilkada Mamuju Tengah". Sulesana, 11 (1).