Logo Suma

Homesickness: Galau Mahasiswa Perantau dan Segala Kisahnya

Redaksi Suara Mahasiswa · 7 Juli 2022
6 menit

Bagi sebagian mahasiswa, memasuki jenjang perguruan tinggi berarti harus pergi meninggalkan daerah asal beserta keluarga demi menggapai mimpi, cita-cita, dan harapan orangtua. Universitas Indonesia memiliki populasi mahasiswa rantau yang cukup tinggi dengan wajah-wajah segar setiap tahunnya.  Meski terkesan menggairahkan untuk bertemu teman-teman, mempelajari budaya baru, dan merasakan kehidupan mandiri,  tinggal di kota rantau dengan lingkungan yang masih terasa asing tentu menjadi tantangan tersendiri bagi tiap-tiap mahasiswa.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah perasaan merindukan rumah atau homesickness. Menurut Bontekoe, Vingerhoets & Fontijn (2003), homesickness dapat didefinisikan sebagai reaksi meninggalkan lingkungan lama disertai dengan perenungan tentang keakraban dengan lingkungan lama, serta kerinduan yang amat kuat untuk kembali ke lingkungan lama. Homesickness memiliki berbagai gejala, mulai dari gejala psikologis seperti perubahan suasana hati, kegelisahan, kecemasan, ketidakpercayadirian, hingga gejala fisiologis seperti insomnia, penurunan nafsu makan, dan kesulitan berkonsentrasi (Hack-Polay, 2012).

Homesickness merupakan suatu gejala universal yang wajar dirasakan oleh semua orang. Namun, tentunya setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda, sehingga mengambil sikap yang berbeda pula untuk menyikapi pengalaman tersebut. Bagaimana pengalaman teman-teman mahasiswa rantau dalam menghadapi homesickness?

Keluarga Paling Dirindukan, Kangen Deep Talk dengan Orang Tua
“Aku baru sekitar satu bulan merantau ke Ibukota,” demikian T memulai ceritanya. Meski sudah berada di semester empat, kehidupan perantauan T yang berasal dari Kota Pekanbaru tertunda akibat pandemi sehingga baru merasakan pengalaman merantau setelah dua tahun berkuliah secara jarak jauh. T yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya  mengakui bahwa ia mengalami gejala homesick selama sebulan masa perantauannya, bahkan hingga mengganggu persiapan belajarnya untuk menghadapi ujian akhir semester. “Untuk gejala homesick yang aku alami, aku ngerasain deja vu sih,” ujar T. Ia menjelaskan bahwa orang tuanya sempat tinggal bersamanya selama seminggu sebelum ia benar-benar tinggal sendirian, sehingga terkadang teringat keluarganya ketika berdiam diri di kost. “Misalnya nih, aku lihat karpet, terus keinget mama karena mama yang beliin karpet sebelum aku ngekost. Atau pas mau makan, aku keinget makan bareng sama orang tuaku” demikian jelas T.

Selama satu bulan tinggal di perantauan, T mengaku kerap menangis akibat merasa takut tidak bisa beradaptasi di lingkungan baru selama satu minggu pertama. “Ya, dua-tiga minggu selanjutnya udah mulai terbiasa sih, tapi kadang kayak tadi malem kejadian lagi, aku habis selesain tugas, karena gak ada kerjaan tiba-tiba kepikiran rumah— terus nangis lagi,” terang T di sela tawa. T menyadari bahwa alasan utama beratnya gejala homesick yang dirasakannya diakibatkan oleh fakta bahwa ia termasuk anak yang dekat dengan orang tua. “Aku termasuk anak manja yang apa-apa sama orang tua, dan sekarang harus hidup sendiri, menghadapi berbagai macam orang sendirian. Aku cukup kangen deep talk sama orang tuaku, sekarang kan gak bisa setiap saat nelpon.” terang T. Oleh karena itu, T cukup rutin berkomunikasi dengan keluarganya via telepon, paling tidak satu kali sehari.

Dari Sudut Pandang Perantau 4 Tahun: Jika di Rumah, Justru Kangen Suasana Kos yang Tenang
X memiliki cerita yang cukup berbeda dengan responden lainnya. Mahasiswa FISIP dari Samarinda, Kalimantan Selatan ini telah merantau selama 4 tahun. X mengatakan bahwa ia bukan merasa homesick karena ikatan emosional kepada orang-orang maupun karena memori tertentu. Gue merantau sejak lulus SMP hingga sekarang. Dan semenjak pandemi, hampir dua tahun gue ga balik kampung sama sekali. Kalau ngerasa homesick, yang seperti ingin segera pulang ke rumah sih, gue pribadi hampir ga pernah, ya,” jelasnya. X melanjutkan bahwa ia lebih rindu terhadap hal yang bersifat non-emosional, seperti kepraktisan hidup. “Kalau di rumah kan, segala sesuatunya udah siap. Kalau mau makan, tinggal makan, ga harus beli atau masak sendiri dulu, ga kayak hidup sendiri di perantauan. Di mana berbagai urusan rumah, seperti masak dan cuci pakaian gue harus siapin sendiri,” papar X.

X menekankan bahwa tidak munculnya homesick karena hal-hal yang berbau sentimentil tidak berhubungan sama sekali dengan keharmonisan keluarganya. “Keluarga sendiri, gue bersyukur harmonis banget, tidak ada konflik apa-apa. Justru kalau keluarga gue jelas-jelas ada masalah dan bersitegang, gue nggak akan merantau dan memilih tetap di rumah untuk make sure semuanya baik-baik aja,” demikian penjelasannya. X juga bercerita bahwa ia memang tipe orang yang menyukai waktu dengan diri sendiri. Dari menghabiskan waktu di kos hingga mengeksplorasi kota yang menjadi tempat tinggal barunya, hampir semuanya ia menikmatinya sendiri. “Memang gue terbiasa untuk melakukan aktivitas sendiri dan gue menikmati banget hal itu. Bahkan kalau gue lagi balik ke kampung halaman, gue malah merasa kangen sama suasana kos yang hening di kota perantauan,” paparnya sembari terkekeh.

Homesick Tidak Sekadar Kangen Rumah, tetapi Juga Tentang Penyesalan
Perantau kami selanjutnya berasal dari Manado, Sulawesi Selatan. A telah merantau di Kota Depok selama 6 bulan terhitung sejak akhir tahun 2020. Baginya, homesick bukan tentang rindu mendalam pada keluarga maupun suasana rumah di kampung halaman, tetapi tentang memori yang belum sempat ia bangun dengan teman-teman terdekat sebelum ia berangkat ke kota perantauan untuk pertama kali dalam hidupnya. “Kalau ingat kampung halaman, gue keinget dan nyesel kenapa dulu nggak ngobrol lebih banyak sama teman-teman di Manado. Bahkan ada beberapa teman yang belum sempet gue temui langsung padahal kita deket banget di dunia maya. Itu, sih yang bikin gue kepikiran terus kalau menyangkut kota kelahiran,” terang A.

Mahasiswa UI yang sempat setahun mengenyam pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Manado ini, juga menyayangkan tidak adanya perpisahan yang layak, terutama dengan teman-teman SMA-nya ketika mereka lulus di tahun 2020 karena pandemi COVID-19 yang sedang berada di puncaknya. “Karena ga ada graduation party di SMA dulu gara-gara pandemi, jadi rasanya hubungan gue sama teman-teman diputus secara brutal gitu aja. Pun di teman-teman kampus gue yang dulu, juga ga ada pamitan yang proper karena terhalang pandemi yang lagi serem-seremnya,” jelasnya. A  juga menyebut bahwa cukup sulit untuk kembali melakukan kontak intensif dengan teman-teman di kota asalnya karena masing-masing dari mereka telah memiliki kesibukan.

Kata Psikolog: Homesick Itu Wajar, Bukan Gangguan Mental
Saat memulai sesi wawancara sore itu dengan Qaishum Masturoh, salah satu Psikolog Klinik Makara UI, hal pertama yang kami tanyakan ialah bagaimana ilmu psikologi memandang fenomena homesick. “Sejauh yang aku tahu, belum ada penelitian komprehensif mengenai topik ini, ya. Homesick ini mungkin istilah ketika kita merasa asing dengan lingkungan baru dan harus beradaptasi, ya dari kampung halaman,” papar Qaishum. Oleh karena belum adanya studi literatur yang koheren tersebut, homesick bagi setiap orang kemungkinan akan berbeda-beda; tergantung dengan lingkungan, cara menyikapi, dan kondisi seseorang. Mungkin akan ada orang yang merasa berat dan sulit untuk jauh dari rumah, tetapi ada pula orang yang merasa sebaliknya—dia merasa biasa saja dengan perubahan-perubahan yang ada.

Di samping itu, Qaishum juga memaparkan bahwa homesick merupakan sesuatu yang wajar. “Sejauh ini belum ada penelitian yang menyatakan bahwa homesick merupakan suatu gangguan mental. Batas wajarnya tentu ada pada keberfungsian sosial seseorang. Jika dia sekiranya sudah tidak bisa memenuhi tanggung jawab dan perannya, misalkan sebagai seorang mahasiswa, maka hal itu merupakan pertanda bahwa dia memerlukan bantuan,” jelasnya. Maka dari itu, perlu tindakan yang proaktif dari diri individu itu sendiri mengenai apa yang dia rasakan. Analisis dan kepekaan terhadap kondisi diri merupakan kunci utama untuk mengetahui batasan ini.

Di samping itu, peran lingkungan sekitar, seperti teman juga berperan krusial. Menyadari bahwa orang lain sedang bergelut dengan suatu isu—di konteks ini merasa homesick—merupakan langkah awal untuk membantu mereka. “Mungkin jika kita melihat seorang teman yang rasa rindu dengan kampung halamannya sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, kita bisa bantu dengan beberapa cara. Kita bisa bantu dia untuk reconnect dengan keluarga dan teman-teman dari daerah asalnya. Selain itu, kalau memang dirasa membutuhkan, kita juga bisa menawarkan dia untuk mulai mencoba bantuan profesional, seperti konseling,” ujar Qaishum.

Paguyuban Pelipur Rindu
Beragamnya asal daerah para mahasiswa yang menempuh pendidikan di UI menjadi alasan keberadaan berbagai paguyuban yang berfungsi sebagai wadah mahasiswa asal daerah untuk berorganisasi dan beradaptasi. Tidak jarang, paguyuban daerah menjadi rumah kedua bagi mahasiswa asal daerah yang membantu meringankan perasaan homesick yang dialami, terutama bagi para mahasiswa baru. Kania, perwakilan Arek Suroboyo Universitas Indonesia (ASUI), menjelaskan bahwa salah satu tujuan utama ASUI adalah berperan sebagai media antar mahasiswa UI asal Surabaya untuk saling bantu di perantauan. ”Paguyuban ini harapannya bisa jadi komunitas pertama mahasiswa baru di UI, jadi teman-teman maba ga perlu takut ga punya teman,” jelas Kania. Terdapat banyak program yang memfasilitasi tujuan tersebut, seperti Welcoming Maba dan Gathering Keluarga ASUI.

Ketika ditanya mengenai bagaimana paguyuban dapat meringankan gejala homesick yang dialami oleh mahasiswa asal daerah, Kania menjelaskan bahwa anggota paguyuban daerah seringkali dapat memahami satu sama lain, karena merasakan perasaan rindu yang sama akan daerah tersebut. “Makanya ASUI sering ngadain gathering buat curhat dan sharing, biar temen-temen yang ngerasa sendirian di perantauan jadi ga kesepian dan punya tempat cerita tentang rumah,” ujar Kania. Terkadang, ia menjelaskan bahwa hal-hal sederhana seperti saling berbicara dengan aksen medok dengan sesama mahasiswa asal Surabaya amat membantu mengobati rasa rindu.

Perubahan adalah satu-satunya hal yang konstan dalam kehidupan. Merantau untuk menimba ilmu memang merupakan hal yang sulit, apalagi dengan cita-cita dan harapan yang dipikul di pundak. Homesickness merupakan salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi dalam perantauan, dan terkadang dapat terasa berat. Namun, di sisi lain, perasaan homesick yang manusiawi justru menjadi salah satu warna yang mewarnai kehidupan perantauan dengan segala kisahnya. ***

Referensi:
Eurelings-Bontekoe, Elisabeth & Vingerhoets, Ad & Fontijn, Ton. (1994). Personality and behavioral antecedents of homesickness. Personality and Individual Differences. 16. 229-235. 10.1016/0191-8869(94)90161-9.

Hack-Polay, Dieu. (2012). When Home Isn’t Home – A Study of Homesickness and Coping Strategies among Migrant Workers and Expatriates. International Journal of Psychological Studies. 4. 10.5539/ijps.v4n3p62.

Penulis: Aurizza Amanda, Dita Damara
Editor: Ninda Maghfira
Ilustrasi: Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!