Hustle Culture: Motivasi atau Ambisi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Mei 2023
4 menit

Tentunya, istilah hustle culture sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa dan para pekerja. Definisi hustle culture menurut seorang pakar psikologi diartikan sebagai budaya yang membuat seseorang menganut workaholism atau gila kerja (Setyawati, 2020). Hustle culture juga dapat diartikan sebagai gaya hidup seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu secara terus menerus. Istilah ini cenderung dikaitkan dengan konotasi negatif yang memang dibuktikan dengan gaya hidup individu akhir-akhir ini. Namun nyatanya, fenomena hustle culture bukanlah sebuah fenomena baru. Fenomena ini sudah diperkenalkan Wayne Oates yang merupakan seorang psikolog asal Amerika pada tahun 1971 dalam bukunya yang berjudul “Confessions of a workaholic: The facts about work addition” (Triani, 2021).

Hustle culture tak selamanya diartikan dalam konotasi negatif. Banyak hal-hal positif lain yang dapat diambil dari dorongan gaya bekerja yang disebabkan adanya hustle culture pada setiap individu. Namun, fenomena hustle culture diperparah dengan adanya tren di sosial media dimana para milenial dan generasi Z berlomba-lomba memamerkan kesibukan mereka dalam berbagai aktivitas, seperti mengerjakan tugas atau bekerja.

Tak sedikit masyarakat yang menganggap jika hustle culture ini mempunyai pengaruh yang baik terutama dalam meningkatkan produktivitas diri. Dengan produktivitas diri yang meningkat, individu cenderung akan dapat mengatur time managementnya serta melatih untuk bisa me-manage suatu tugas atau pekerjaan yang sedang dilakukan. Tidak hanya itu, individu juga mempunyai peluang untuk dapat meningkatkan value diri dan memperbaiki kualitas individu tersebut.

Meskipun budaya juga dapat menjadi suatu kegiatan positif, tetapi perspektif masyarakat akan budaya hustling ini sudah terlanjur ‘negatif’. Masyarakat sudah menganggap jika hustle culture ini merupakan sebuah budaya atau perilaku yang kurang baik dan seharusnya tidak dilakukan. Seseorang yang menganut budaya hustle culture cenderung tidak memiliki work life balance yang akan berpengaruh terdapat kehidupan pribadinya. Selain itu, budaya hustle culture juga dapat mengganggu kesehatan fisik maupun mental seseorang jika dilakukan dengan intensitas waktu yang padat.

Dalam lingkup dunia perkuliahan, hustle culture tak jarang dicap sebagai budaya yang melekat dalam kebanyakan individu. Secara tidak sadar, mahasiswa sering kali dituntut untuk bisa berperan aktif, baik dalam hal akademik maupun non-akademik. Hal tersebut tercermin dalam beberapa perilaku, misalnya mahasiswa yang rela mengurangi waktu tidurnya untuk belajar mempersiapkan ujian bahkan rela untuk tidak tidur semalaman demi mendapat nilai yang memuaskan atau juga dapat dilihat dari bagaimana mahasiswa menghandle organisasi dan beberapa kepanitiaan secara bersamaan.

Menurut penelitian yang diadakan oleh Kusumaningtyas, et al., (2022), hadirnya hustle culture dalam dunia perkuliahan tentunya dipicu oleh beberapa pola aktivitas, di antaranya adanya kesibukan lain di luar kegiatan perkuliahan misalnya seperti organisasi di luar kampus, mengerjakan tugas sebelum deadline yang berakhir membebankan kualitas tidur, tugas organisasi atau kepanitiaan yang sedang dijalani, fomo atau fear of missing out sehingga mahasiswa cenderung mengikuti banyak kegiatan karena melihat teman sebayanya yang juga mengikuti berbagai kegiatan.

Membahas hustle culture, terdapat sejumlah pandangan dari teman-teman Fakultas Ilmu Administrasi. Pendapat pertama berasal dari seorang mahasiswa dari jurusan Ilmu Administrasi Fiskal 2022 bernama Zahhara, ia berpendapat jika hustle culture dapat dipandang dalam dua perspektif berbeda. Hustle culture dapat dinilai sebagai “tameng” untuk menangkal rasa malas dalam mengerjakan sesuatu. Selain itu, hustle culture dapat mengarahkan seseorang untuk menjadi high achiever dan memacu individu untuk selalu berprogress dan membantu individu tersebut untuk dapat memenuhi standar keberhasilan yang dibuat. Namun, hustle culture juga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang untuk terus merasa kurang sehingga tidak pernah mengapresiasi dirinya sendiri, serta membandingkan pencapaian dirinya sendiri dengan pencapaian orang lain. Mahasiswa juga cenderung memaksakan dirinya untuk mengikuti standar yang ia buat.

Pendapat lain juga datang dari Kirayna Ilmu Administrasi Fiskal 2022, menurutnya hustle culture merupakan budaya negatif di mana budaya tersebut sering kali membuat seseorang “melampaui batas kemampuannya” sehingga individu akan memaksakan kemampuannya untuk bisa mencapai standar yang ia tetapkan. Seseorang akan rela mengorbankan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang berakibat ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya. Hustle culture bukanlah satu-satunya cara agar seseorang dapat berprogress, justru dari hal-hal kecil seperti support dari keluarga maupun lingkungan sekitar kita yang akan membantu dalam meningkatkan value diri kita sendiri.

Pendapat terakhir dikemukakan oleh Inna yang juga merupakan seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal. Menurutnya, hustle culture dapat menimbulkan toxic productivity yang dapat mendorong seseorang untuk mengikuti segala aktivitas tanpa memperhatikan kualitas dirinya sendiri atau quantity over quality, sehingga manfaat dari kegiatan yang diikuti pun akhirnya tidak bisa terserap dengan baik. Seseorang yang belum bisa mengolah time managementnya juga akan tertinggal dan akhirnya terbebani dengan tugas-tugas lain..

Dari tiga pendapat narasumber di atas dapat disimpulkan jika hustle culture bisa menghasilkan manfaat positif selama kita bisa mengontrol dan mempunyai batasan yang kita bentuk dalam diri kita. Sebaliknya, hustle culture akan sangat berpengaruh negatif jika kita memaksakan untuk bisa menyamakan standar kita dengan orang lain.







Referensi

Afifah, Dhiyan. “Fenomena Hustle Culture di Kalangan Anak Muda Zaman Sekarang.” Kumparan, Kumparan, 24 May 2022, https://kumparan.com/dhiyan-afifah/fenomena-hustle-culture-di-kalangan-anak-muda-zaman-sekarang-1y8U8WjKJX6.

cakap. “Hustle Culture: Pengertian, Ciri, Dampak, dan Cara Mengatasi.” Cakap, 15 December 2022, https://blog.cakap.com/hustle-culture-adalah/

Joselyn, Gabriella. “Fenomena ''Hustle Culture'' pada Kalangan Mahasiswa Halaman 1.” Kompasiana.com, 4 June 2022, https://www.kompasiana.com/gabyjose4119/629ad153bb448656583b8be2/fenomena-hustle-culture-pada-kalangan-mahasiswa

Jurnalis Nuansa. “Hustle Culture di Kalangan Mahasiswa – Jurnalis Nuansa Nusa Putra.” Jurnalis Nuansa, 20 February 2022, https://nuansa.nusaputra.ac.id/2022/02/20/hustle-culture-di-kalangan-mahasiswa

Kusumaningtyas, Khariza, et al. “Hubungan Hustle Culture (Workeholism) terhadap Well Being Anggota UKESMA UGM – Unit Kesehatan Mahasiswa.” Unit Kesehatan Mahasiswa – Universitas Gadjah Mada, Ukesma, 3 June 2022, https://ukesma.ukm.ugm.ac.id/2022/06/03/hubungan-hustle-culture-workaholism-terhadap-well-being-mahasiswa-unit-kesehatan-mahasiswa-ukesma-universitas-gadjah-mada

Retnowati, Indah. “Mengenal Hustle Culture: Budaya Gila Kerja yang Berbahaya.” Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, 10 Februari 2022, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-samarinda/baca-artikel/14718/Mengenal-Hustle-Culture-Budaya-Gila-Kerja-yang-Berbahaya.html

Theresia. “Fenomena Hustle Culture – Psychology.” BINUS Psychology, 29 November 2022, https://psychology.binus.ac.id/2022/11/29/fenomena-hustle-culture/

Penulis   : Chikal Arhinzani Rahman, Zahhara Chairunnisa, Kirayna Indri, Inna Aminnah

Editor : Sekar Innasprilla

Desain : Amalia Ananda