Hutan Papua Terancam, Masyarakat Adat Serahkan 253.823 Petisi kepada MA

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Juli 2024
3 menit

Berangkat dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya, sejumlah masyarakat adat Awyu dan Moi kembali menyambangi gedung Mahkamah Agung (MA) pada Senin (22/07). Para perwakilan suku itu datang untuk menggugat izin pendirian usaha di atas tanah dan hutan adat mereka oleh sejumlah perusahaan kelapa sawit. Tak bersuara sendiri, figur-figur publik juga turut hadir untuk membersamai masyarakat adat Papua, yaitu Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Richard Tapilatu. Kelompok-kelompok mahasiswa dan organisasi-organisasi masyarakat sipil juga ikut turun ke jalan, antara lain Badan Eksekutif Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI), Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL).

Dengan mengangkat slogan “All Eyes On Papua”, aksi ini dimulai pada pukul 10.00 WIB. Setelah berkumpul dan berdoa bersama di depan Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), masyarakat adat Papua dan massa aksi lainnya bersama-sama melakukan longmars ke Gedung Mahkamah Agung (MA) sebagai titik aksi.

Setibanya di depan MA, perwakilan peserta aksi menggaungkan orasi secara bergantian. Salah satu orator dari Papua adalah Lenci selaku perwakilan Perempuan Papua. Dalam orasinya, dia menyatakan makna penting dari tanah, hutan, dan air bagi masyarakat Papua.

“Bagi orang Papua, hutan, tanah, dan air adalah seorang ‘mama’ yang memberi kehidupan kepada kami. Ketika tanah kami direbut, maka akan menjadi suatu pengkhianatan ketika kami diam saja! … Tanah dan hutan adalah tubuh dari seorang ibu bagi kami. Air adalah susu dari ibu yang memberikan kami kehidupan.  Karena itu, tidak akan pernah ada kata ‘diam’. Hanya ada satu kata, ‘lawan, lawan, dan lawan!’.”

Setelah melangsungkan orasi, Melanie Subono dan kawan-kawan memasukkan 253.823 petisi ke dalam noken ‘tas tradisional Papua yang terbuat dari serat kayu’, lalu menyerahkannya kepada masyarakat adat Awyu dan Moi sebagai bentuk dukungan atas perjuangan mereka. Selanjutnya, para perwakilan masyarakat adat menyerahterimakan petisi-petisi tersebut kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA.

Berkaitan dengan itu, Tigor Hutapea selaku kuasa hukum masyarakat adat Papua menyampaikan bahwa kelima hakim tersebut telah menerima petisi secara baik dan akan meneruskannya kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara.

“Mereka mengatakan, ‘MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan Peraturan Mahkamah Agung (PMA) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup’,” tuturnya.

Lebih lanjut, Sekar Banjaran Aji selaku anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa aksi ini setidaknya memperjuangkan empat perkara berikut.

  1. Menuntut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) yang dapat mengancam 36.094 hektare hutan adat marga Woro (salah satu marga suku Awyu).
  2. Menggugat putusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengizinkan perusahaan sawit milik PT Kartika Cipta Pratama untuk beroperasi dan berekspansi di Boven Digoel.
  3. Mengajukan intervensi atas putusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengizinkan perusahaan sawit milik PT Megakarya Jaya Raya untuk beroperasi dan berekspansi di Boven Digoel.
  4. Menjadikan suku Moi sebagai tergugat intervensi untuk melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) atas pembabatan tanah adat seluas 18.160 hektare.

Bukan Persoalan Lokal, Melainkan Persoalan Nasional

Dalam sesi wawancara bersama Suara Mahasiswa (Suma) UI, Muhammad Faza Aulya’urrahman selaku Wakil Kepala Departemen Lingkungan Hidup BEM FH UI menyampaikan pernyataan sikap BEM FH UI terhadap perjuangan masyarakat adat Papua tersebut.

“Pastinya BEM FH UI bakal mengawal terus persidangan Tata Usaha Negara yang nantinya bergulir mengenai gugatan atas izin lingkungan yang dikeluarkan untuk mendirikan perkebunan sawit di atas hutan yang ditinggali oleh teman-teman dari suku Awyu dan suku Moi. Harapan kami adalah Yang Majelis Hakim nantinya dalam persidangan dapat memperhatikan eksistensi dari keberadaan teman-teman suku Awyu dan suku Moi serta mempertimbangkan juga aspek lingkungan yang dapat terdampak apabila izin lingkungan tersebut tidak dicabut,” jelas Faza,

Adapun pernyataan sikap dan harapan tersebut berlandaskan pada kenyataan bahwa permasalahan ini bukanlah sekadar permasalahan suku Awyu dan Moi, melainkan permasalahan bersama masyarakat Indonesia. Hutan tropis Papua adalah salah satu penyumbang oksigen yang berguna untuk menunjang kehidupan masyarakat di Indonesia. Jika hutan tersebut beralih fungsi menjadi lahan sawit, maka kadar oksigen bagi masyarakat Indonesia akan semakin berkurang dan berpotensi menimbulkan krisis-krisis lainnya.

Silas Kalami selaku Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamoi turut menyorot kenyataan itu. Dia menegaskan bahwa permasalahan ini bukanlah hanya persoalan masyarakat adat, melainkan menjadi permasalahan dunia karena akan menjadi ancaman iklim, “Kami bukan hanya berbicara untuk manusia, tetapi untuk makhluk hidup dalam hutan tersebut, seperti burung cendrawasih hingga hewan-hewan lainnya, hingga pohon-pohon yang bernilai ekonomis dan bermanfaat untuk pengobatan akan dibabat habis apabila dipergunakan untuk lahan sawit.”

Kenyataan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan bersama tentulah benar. Hal ini terbukti oleh pengakuan masyarakat adat Papua yang bukan berasal dari suku Awyu maupun suku Moi. Dia adalah Agusta dari suku Mandobo. Agusta mengeluhkan dampak atas perkara ini, “Memang setengah mati kalau di sana kondisinya. Sangat susah.”

“Kita minta pada pemerintah daerah dan pemerintah pusat, mohon, mungkin kita tidak menerima investor yang masuk lagi ke daerah kami. Kita tidak suka untuk merusaki hutan alam kita. Itu saja,” tutupnya dengan penuh harap.


Teks: Dela Srilestari dan Anita Theresia

Editor: Jesica Dominiq M.

Foto: Anita Theresia

Desain: Sabila Hasya Millatina


Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas