Logo Suma

Iluni FK UI Tuntut Menkes Diganti

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Mei 2025
3 menit

Kamis (20/5), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (BEM FK UI) mengadakan konferensi pers Salemba Bergerak: Peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Aula IMERI FKUI Salemba. Konferensi ini diselenggarakan sebagai respons terhadap banyaknya isu dalam ranah pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran di Indonesia, khususnya terkait berbagai kebijakan dari Menteri Kesehatan yang menuai pro dan kontra, sebagaimana diserukan Dewan Guru Besar (DGB) FK UI pada Jumat (16/5).

Konferensi dimulai dengan orasi dari Fatimah Az-Zahra, anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) FK UI yang menyampaikan kekhawatirannya terkait kebijakan dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang dinilai membungkam suara tenaga pendidik kedokteran.

Dalam orasinya, Ketua BEM FK UI, Muhammad Thoriq juga menyampaikan bahwa mahasiswa menuntut partisipasi aktif dan bermakna antara institusi pendidikan dengan instansi penyusun kebijakan. Ia menyatakan bahwa Kemenkes bersikap abai serta tidak melibatkan akademisi-akademisi pendidikan kedokteran dalam diskusi pembuatan kebijakan.

Hal ini dianggap menjadi penyebab terlahirnya kebijakan Kemenkes yang dinilai tidak sesuai dengan realitas lapangan dan kebutuhan masyarakat. BEM IKM FK UI mengimbau agar IKM terus bersuara mengenai isu-isu di ranah pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan. “Bangkitlah, bersatulah, dan majulah!” seru Thoriq, mengutip semboyan dari organisasi pergerakan Budi Utomo.

Ketua Ikatan Alumni (Iluni) FK UI, Wawan Mulyawan juga menyatakan dukungan pada seruan DGB FK UI dan turut menuntut pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. Ia juga menyatakan lima seruan dari Iluni FK UI kepada IKM FK UI yang hadir di acara Salemba Bergerak kali ini.

  1. Menyebarkan informasi tentang seruan Salemba Berseru ke seluruh jaringan IKM FK UI.
  2. Menuntut dialog yang sejati dan berkeadilan antara Kementerian Kesehatan dengan institusi pendidikan kedokteran, bukan hanya formalitas.
  3. Agar segenap IKM FKUI dapat menyuarakan isu ini melalui media massa, media sosial, dan saluran komunikasi lainnya.
  4. Mendorong organisasi profesi dalam institusi pendidikan kedokteran lain untuk menyatakan solidaritas serupa.
  5. Mendorong Presiden Prabowo untuk mengganti Menteri Kesehatan saat ini.

Dalam acara ini, Dewan Guru Besar kembali muncul dan membacakan surat keprihatinan mereka terhadap arah kebijakan dan tata kelola kesehatan nasional. Dalam surat tersebut, DGB FK UI mengingatkan kembali bahwa kebijakan kesehatan harus berbasis cara berpikir ilmiah dalam ilmu kedokteran dan kesehatan, serta harus berbasis budi etika, dan kolaborasi. Disoroti pula perihal ketidakmerataan fasilitas pelayanan kesehatan di berbagai daerah, khususnya wilayah-wilayah terpencil.

Dewan Guru Besar FK UI juga menolak kebijakan yang mengabaikan mutu dan prinsip ilmiah, legasi, dan tradisi keilmuan dalam pendidikan tenaga medis. Mereka menolak keputusan birokratis yang melemahkan rumah sakit pendidikan, kelembagaan, dan sistem kesehatan akademik.

Selain itu, DGB FK UI menyayangkan narasi publik yang kerap menyudutkan tenaga medis dan institusi pendidikan. Padahal, pemerintah yang lepas tangan dan malah mengkambinghitamkan rumah sakit juga komunitas dokter atas kegagalan tata kelola sistem kesehatan dan alokasi anggaran.

Surat keprihatinan ini juga memotret Dewan Guru Besar FK UI yang secara tegas menolak kolegium dokter spesialis yang dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan himpunan dokter spesialis juga institusi pendidikan terkait. Hal ini dapat mengakibatkan kolegium kehilangan independensi, serta menimbulkan pengaruh politik dan birokrasi yang dapat mengancam ilmu kedokteran.

Dalam konferensi pers ini, DGB FK UI menegaskan posisi mereka sebagai bagian integral dari perjuangan bangsa dalam ranah kesehatan masyarakat. Dengan demikian, DGB FK UI mengajukan delapan tuntutan berikut kepada presiden, DPR RI, serta para pemangku kebijakan lainnya.

  1. Menjadikan keselamatan rakyat dan hak atas layanan kesehatan bermutu sebagai tujuan utama, bukan sekedar memenuhi ambisi jangka pendek atau memenuhi kepentingan non-medis.
  2. Menghentikan kebijakan-kebijakan kesehatan yang terburu-buru, tertutup, dan minim partisipasi publik yang bermakna, khususnya dengan pemangku kepentingan kalangan insan kedokteran, baik para ilmuwan maupun praktisi yang kredibel pengetahuan dan pengalamannya, serta organisasi profesi.
  3. Mendorong peran proporsional Kementerian Kesehatan yang berfokus pada peningkatan kualitas layanan dan distribusi tenaga kesehatan. Sementara itu, pendidikan kedokteran menjadi kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi.
  4. Menghentikan intervensi yang melemahkan institusi pendidikan dan rumah sakit pendidikan oleh Kementerian Kesehatan.
  5. Membangun kembali suasana saling percaya antar pemerintah, institusi pendidikan, dan profesi kesehatan.
  6. Mengembalikan kembali independensi kolegium dokter spesialis.
  7. Mendukung tuntutan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan pasal-pasal yang memicu keprihatinan seperti yang disampaikan dalam surat ini.
  8. Membangun kementerian kesehatan pada kepemimpinan yang memiliki pemahaman mendalam dan wawasan luas tentang kedokteran kesehatan yang mampu melakukan tugas kolaborasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan dengan dasar saling menghargai, penuh etika, tidak egosentris dan otoriter, serta mengedepankan kebersamaan dalam mencapai tujuan program Asta Cita.

Tuntutan ini didukung oleh Purnawirawan TNI yang turut hadir bersama Dekan Fakultas Kedokteran dari lima universitas di Jakarta, yaitu FK UI, FK UPN, FK Universitas Yarsi, FK Universitas Tirtayasa, serta FK Universitas Gunadarma. Mereka, para dekan, menilai dari sudut pandang dosen bahwa kebijakan-kebijakan terbaru dari Kementerian Pendidikan Tinggi lahir dari ketidakpahaman akan falsafah dokter.

Para dekan menilai bahwa sikap tidak mau berdiskusi dan mengabaikan partisipasi publik dari Kementerian Kesehatan juga menyebabkan kesalahan langkah dalam penyusunan kebijakan. Kelima dekan tersebut berdiri mewakili para dekan dari ribuan Fakultas Kedokteran berbagai universitas di Indonesia.

Selain keresahan mengenai independensi kolegium, dalam wawancara bersama Suma UI, Ketua BEM FK UI menyoroti beberapa kebijakan lain seperti prosedur Sectio Caesarea (SC) untuk dokter umum juga aturan Peraturan Menteri Kesehatan yang baru dikeluarkan dan dinilai sangat memprihatinkan.

“Sudah menjadi concern kita sejak lama. Utamanya karena kurangnya komunikasi [pemangku kebijakan] bersama guru-guru kami,” pungkasnya.

Teks: Cut Khaira

Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Foto: Cut Khaira

Desain: Hanif Ridhwan Nuruddin

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!