Imbas Kritik Jokowi, UI Panggil Fungsionaris BEM UI dan DPM UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Juni 2021
7 menit

Pada Minggu (27/6) beredar surat pemanggilan kepada beberapa fungsionaris BEM UI dan DPM UI atas nama Wakil Rektor UI, Prof. Abdul Harris. Surat pemanggilan nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang ditandatangani oleh Tito Latief selaku Direktur Kemahasiswaan bersifat penting dan segera. Pemanggilan dilakukan secara tatap muka pada pukul 15.00 WIB di kantor Direktorat Kemahasiswaan Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa). Pada surat tersebut, disebutkan nama-nama fungsionaris BEM UI dan DPM UI yaitu Leon Alvinda (Ketua BEM UI), Yogie Sani (Wakil Ketua BEM UI), Yosia Setiadi (Ketua DPM UI), Muffaza Raffiky (Wakil Ketua DPM UI), Abdurrosyid (Wakil Ketua DPM UI), Ginanjar Ariyasuta (Koordinator Sosial dan Politik BEM UI), Oktivani Budi (Kepala Kantor Komunikasi dan Informasi BEM UI), Christopher Christian (Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI), Syahrul Badri (Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI), dan Fathan Mubina (Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI) untuk segera hadir untuk memberikan keterangan dan penjelasan terkait unggahan BRIGADE UI—yang berada di bawah naungan BEM UI.

Pemanggilan ini dilatarbelakangi dengan unggahan konten infografis pada Sabtu (26/6) yang memuat wajah Presiden RI, Joko Widodo, secara daring pada akun media sosial BEM UI, baik LINE, Instagram, dan Twitter. Unggahan tersebut merupakan publikasi ulang terhadap konten yang dipublikasikan akun sosial media milik  BRIGADE UI salah satu komunitas yang dibawahi oleh BEM UI di bidang sosial politik. Dalam unggahan yang berjudul Jokowi: King of Lips Service tersebut, disebutkan beberapa kritik terkait ucapan Presiden yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Mulai dari permasalahan UU ITE, Pelemahan KPK, hingga anjuran judicial review yang dilontarkan Presiden. Selain itu, pada slide terakhir unggahan tersebut terdapat meme dengan wajah presiden disertai kalimat satir yang ramai di jagat dunia maya tentang Presiden, yaitu Yo Ndak Tau Kok Tanya Saya?

Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra, mengonfirmasi bahwa pemanggilan tersebut ditujukan untuk meminta klarifikasi dari pihak BEM UI terkait dengan unggahan infografis yang sedang ramai tersebut. “Pemanggilan ini adalah inisiatif Dirmawa UI untuk mendapatkan informasi terkait dengan poster tersebut dari BEM UI karena perlu segera mendapatkan informasi dari BEM UI,” pungkas Tito. Saat ditanya mengenai urgensi melalui wawancara via daring, pihak kemahasiswaan hanya menyampaikan bahwa mereka perlu segera mendapatkan informasi dari BEM tanpa penjelasan lebih lanjut. Tito juga tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai langkah selanjutnya seperti sanksi dan notulensi yang dapat diakses oleh publik.

Sementara itu, Yosia sebagai Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UI yang turut menghadiri audiensi tersebut, mengatakan bahwa pihak Rektorat UI hanya meminta kejelasan informasi serta klarifikasi dari BEM UI terkait postingan tersebut. Ia juga menyatakan bahwa dialog yang dilakukan oleh pihak Rektorat, BEM dan DPM UI, serta perwakilan alumni, berjalan dengan baik. Meskipun pihak Rektorat dan perwakilan alumni UI menilai bahwa substansi dalam konten tersebut cukup baik, mereka menyayangkan gaya propaganda personifikasi—menyerang personal—yang dipilih oleh BEM UI dalam menayangkan konten tersebut. Gaya propaganda ini, menurut mereka, merupakan sesuatu yang patut dipertanyakan kembali dari sisi etika.

DPM, selaku lembaga yang berwenang untuk mengawasi kinerja lembaga mahasiswa, mengimbau kepada mahasiswa untuk tetap santai dan mempercayakan adanya kasus ini kepada lembaga-lembaga tinggi mahasiswa yang bertanggung jawab.

“Tapi ini pasti kami tindak lanjuti. Tindak lanjut yg paling memungkinkan adalah RDP (Rapat Dengar Pendapat—red) Insidental. Secara resminya kita minta keterangan (kepada BEM UI—red), di mana keterangan-keterangan yang kita kumpulkan di situ akan kita putuskan, apakah kita akan merilis dalam bentuk pernyataan DPM,” paparnya.

Seberapa Pentingkah Pemanggilan di Masa Pandemi?
Pemanggilan oleh Rektorat UI mendapat respon beragam dan menimbulkan pertanyaan seberapa urgensinya pemanggilan tatap muka ini di tengah pandemi dan varian baru Covid-19 yang tengah merebak. Bukankah sudah menjadi hal yang sepatutnya jika mahasiswa menyampaikan aspirasi dan kritik tanpa adanya pembungkaman, sebagai bentuk dari kebebasan berpendapat? Tentunya saja hal ini menimbulkan kritik terkait kebebasan berpendapat dan akademik yang seharusnya menjadi hak warga negara Indonesia.

Hingga saat ini, unggahan poster dan beredarnya surat pemanggilan tersebut menimbulkan kehebohan di media sosial. Sampai saat ini, terdapat hampir 20 ribu likes di Instagram dan 21 ribu likes di Twitter dengan ratusan komentar pada unggahan poster. Komentar yang ada pun beragam, mulai dari yang sangat mendukung sebagai bentuk kebebasan berekspresi di dalam demokrasi sampai yang sangat menentang karena dianggap terlalu berlebihan dan menyerang Presiden secara pribadi. Bahkan, BEM UI masuk menjadi trending topic nomor 1 di Twitter Indonesia dan masuk ke dalam pemberitaan beberapa stasiun TV Nasional dan LINE Today.

Banyak sekali netizen yang ikut serta mengomentari unggahan tersebut, termasuk salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi UI yang juga pegiat media sosial, Ade Armando. Ade melalui akun twitter pribadinya, @adearmando1 mengungkapkan kekecewaannya terhadap unggahan BEM UI tersebut melalui beberapa tweet yang berbunyi: “Ini karya BEM UI. Saya sih menghargai kebebasan berekspresi. Tapi kalau jadi lembaga yg mewakili mahasiswa UI, ya jangan kelihatan terlalu pandirlah. Dulu masuk UI, nyogok ya?”

Demi menggali informasi mengenai komentar ini, Suara Mahasiswa UI berkesempatan untuk mewawancarai Ade Armando (27/06). Ade mengakui bahwa kritik yang dilontarkan oleh BEM UI merupakan bentuk dari kebebasan berpendapat yang tidak ada salahnya. Namun, menurutnya, kritik tersebut tidak substansial—pandir, memalukan—demikian katanya. “Kalau cara (mengkritik—red) sih bisa apapun ya, yang penting itu substansi, bisa bener kritiknya. Jangan bikin malu UI, lah. Jangan bikin malu gerakan mahasiswa,” ujar Ade. Ade juga menyatakan bahwa cara kritik yang dilakukan oleh BEM UI tidak menunjukkan intelektualitas pengkritik sebagai mahasiswa. “Nggak ada, nggak kelihatan pinternya,” tambah Ade.

“Kalau kita cermati bersama, isi dari unggahan BEM UI tidak memiliki substansi apapun. Isinya langsung menyerang Presiden Jokowi tanpa ada landasan data yang dipaparkan. Sehingga, tidak ada satu pun yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah,” jelas Ade. Ia menambahkan lebih lanjut bahwa BEM UI sebagai lembaga yang mewakili nama besar universitasnya seharusnya menyusun kajian yang melibatkan proses riset mendalam sebelum merilis pernyataan sikap. “Kalau bikin pernyataan ya di-brainstorm dulu lah, duduk sama-sama,” ujarnya.

Berkaitan dengan klaimnya yang mencurigai pihak-pihak terkait masuk UI lewat jalur menyogok, muncul tuntutan dari beberapa alumni UI. Tuntutan tersebut dilayangkan pada Iluni UI, dan secara khusus meminta Iluni UI untuk memberikan sanksi pada Ade, karena pernyataannya terlihat menyerang almamater.

“Kami meminta Iluni UI, sebagai satu-satunya organisasi resmi alumni UI, yang dalam AD/ART nya berkewajiban menjaga nama baik almamater untuk mengambil sikap tegas dan memberikan sanksi organisasi terhadap saudara Ade Armando atas pernyataannya yang mencemarkan nama baik Universitas Indonesia, almamater kami semua,” begitu bunyi tuntutannya. Sejauh ini, tuntutan tersebut telah ditandatangani oleh beberapa alumni UI, termasuk Fajar Adi (Ketua BEM UI 2020) dan Manik Marganamaendra (Ketua BEM UI 2019).

Yang unik dari wawancara pada kesempatan kali ini adalah, meskipun Ade menganggap BEM UI sebagai pihak yang tidak bijak dalam mengkritik, Ade sendiri menyatakan secara terang-terangan bahwa dirinya pun bukan merupakan panutan yang tepat dalam bersikap di media sosial. Cuitan-cuitannya kerapkali menjadi kontroversi atas sikapnya yang dianggap sering menyerang tanpa tedeng aling-aling.

Respons UI terhadap Persoalan
Menanggapi pemanggilan beberapa fungsionaris BEM UI dan DPM UI, Kepala Kantor Humas UI, Amelita Lusia, memberikan keterangan pada wartawan Tempo. Ia menyatakan bahwa UI sebagai lembaga akademik menghormati kebebasan berpendapat yang dilindungi UU, tapi dalam pelaksanaannya kritik BEM UI tidak dilaksanakan secara tepat.

“Hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara, mengenakan mahkota dan diberi teks Jokowi: The King of Lip Service, juga meme lainnya dengan teks ‘Katanya Perkuat KPK Tapi Kok?’, ‘UU ITE: Revisi Untuk Merepresi (?)’,  ‘Demo Dulu Direpresi Kemudian’,   bukanlah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat, karena melanggar beberapa peraturan yang ada,” tulisnya. Armelita juga memberi keterangan bahwa pemanggilan ini adalah bagian dari proses pembinaan kemahasiswaan yang ada di UI.

Jawaban ini senada dengan yang diberikan oleh Dirmawa UI. Pihak UI, begitu kelihatannya, terlihat mencoba ‘menegur’ mahasiswa. Kritik yang dilancarkan oleh BEM UI dinilai menghina dan tidak memancarkan ciri-ciri kritik yang akademis. Bila ditarik ke belakang, pola peneguran seperti ini juga terjadi ketika BEM UI 2020 membawa isu rasisme di Papua lewat diskusi publik.

Tanggapan BEM UI Terkait Pemanggilan
Terkait dengan unggahan yang viral dan pemanggilan oleh pihak Dirmawa UI, Fathan selaku Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda yang merupakan salah satu mahasiswa yang dipanggil menyatakan bahwa pihak Dirmawa UI dalam kesempatan tersebut melakukan diskusi seputar narasi dari unggahan BEM UI yang viral tersebut. “Pemanggilan tadi membahas seputar  unggahan BEM UI yang ramai kemarin,” ujar Fathan.

Dalam hal ini, pihak universitas menyoroti terkait penggunaan muka presiden yang dianggap tidak patut dan dianggap sebagai penghinaan simbol negara serta menurut pihak rektorat hal tersebut merupakan bentuk propaganda yang terlalu berlebihan. Menanggapi hal tersebut, Leon Alvinda selaku ketua BEM UI menganggap adanya propaganda tersebut dapat mengangkat diskursus “BEM UI menganggap itu adalah bentuk propaganda untuk mengangkat diskursus ya dan kita tetap mempertahankan isu tersebut. Kemudian, untuk tindak lanjut dari pihak rektorat katanya akan membahas sesuai dengan aturan universitas,” ujar Leon.

Leon juga menegaskan bahwa isu-isu yang dibahas dalam konten infografis tersebut, yaitu UU ITE, KPK, dan represivitas aparat, telah dikaji. “Apa yang dibahas oleh Brigade adalah isu-isu yang kita kaji dulu, dengan UU ITE ada kajiannya, terkait dengan KPK, kemudian juga dengan represivitas aparat, misalnya sudah banyak rilis-rilis sikap yang juga kita keluarkan.”

Sementara itu, Fathan selaku Wakil Kepala Departemen Akprop BEM UI yang juga dipanggil, menyatakan bahwa konten infografis di berbagai media sosial BEM UI merupakan bentuk kritik terhadap pernyataan-pernyataan presiden selama ini tidak sesuai dengan pelaksanaannya, serta memaparkan beberapa contoh yang mendukung argumennya. Fathan juga menyampaikan inti dari kritik tersebut. “Jadi, ini kami menyampaikan kritik bahwa seharusnya presiden Jokowi tegas dengan pernyataannya gitu, jangan kemudian hanya menyampaikan pendapat, tetapi realitanya tidak sesuai.”

Hingga kini, petisi serta dukungan terhadap BEM UI terus mengalir dari beragam pihak. Solidaritas juga dibentuk untuk protes terhadap pemanggilan terkait postingan kritik kepada presiden. Beberapa BEM universitas serta LSM berhimpun membentuk solidaritas bernama Solidaritas Pembungkaman Ruang-ruang Demokrasi Kampus UI. Solidaritas tersebut mengecam pembungkaman atas kebebasan berpendapat yang kian marak terjadi di lingkungan kampus serta mengeluarkan sebuah pers rilis dukungan untuk BEM UI. Blok Politik Pelajar juga mengundang Ade Armando beserta seluruh anggota Civil Society Watch untuk melakukan debat terbuka guna membahas hal ini—karena Ade disinyalir menjadi bagian dari buzzer.

Teks: Redaksi Suara Mahasiswa UI
Foto: Istimewa
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas dan Berkualitas!