Inklusivitas Museum Seni Modern: Apresiasi atau Eksploitasi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 4 Juli 2022
6 menit

Seni hadir sebagai hasil dari proses kebudayaan yang hidup dalam kehidupan manusia. Berkembangnya peradaban manusia saat ini turut mendorong berkembangnya pemikiran seni yang ada. Pola-pola penciptaan seni yang lebih modern membawa kita ke dunia seni kontemporer. Tidak ada aturan dan syarat pakem untuk seni kontemporer, tetapi satu yang pasti, seni selalu mengikuti perkembangan zaman; entah suatu karya sekadar sebagai ekspresi ataupun dibumbui agitasi.

Perkembangan seni tersebut turut diikuti oleh perkembangan rumah karya seni diperlihatkan yaitu museum. Dahulu, kata “museum” identik dengan kesan tradisional, lawas, magis, dan seram. Hal tersebut tidak terlepas dari pemilihan koleksi yang terbatas pada koleksi yang memiliki nilai sejarah yang kuat. Namun, saat ini museum modern berjalan bersamaan dengan prospek perkembangan seni kontemporer di masyarakat. Koleksi museum seni modern semakin beragam, tidak hanya terpaku pada koleksi sejarah, tetapi juga koleksi karya seni, barang, bahkan instalasi modern yang memiliki makna dan nilai estetika tersendiri. Seorang ahli museum Amerika Serikat, A. C. Parker, menjelaskan bahwa museum modern merupakan sebuah lembaga yang secara aktif melakukan tugas menjelaskan dunia, manusia, dan alam. Hal tersebut bisa kita rasakan sekarang dengan bermunculannya museum seni modern di kota-kota besar. Fenomena ini akhirnya membuka ruang diskusi menarik tentang bagaimana museum seni akhirnya bangkit dari stereotipnya dahulu dan bagaimana implikasinya terhadap esensi seni itu sendiri di masa kini.

Pergeseran Orientasi Museum
Museum telah berkembang dari masa ke masa, begitu juga dengan fungsi dan peran sosialnya. Pada museum tradisional, tujuan pendiriannya sebatas melestarikan koleksi dan memenuhi keinginan seniman. Di sisi lain, museum modern cenderung memenuhi minat masyarakat terhadap seni dan menjadi bagian dari perwujudan inklusi budaya. Selain itu, museum modern juga melihat orientasi bisnis dan kebebasan masyarakat untuk memberikan interpretasinya sendiri akan sebuah karya atau koleksi di museum. Yucin Cai (2008) berpendapat bahwa kehidupan museum kini telah bertransformasi. Dari museum yang awalnya berfungsi sebagai “kuil kebudayaan,” kini telah menjadi sebuah “istana hiburan” bagi masyarakat.

Ignatius Arkananta, mahasiswa FISIP UI yang juga seorang penikmat seni mengamini pernyataan tersebut. “Sekarang museum menurut gue ada dua sifat, ada yang monumental lebih ke tradisional dan ada yang kontemporer. Kalau ditanya lebih sering ke museum mana, tujuan gue pergi ke museum lebih ke rekreasional, sih. Jadi, lebih sering ke museum seni modern,” jelas Ignatius. Ia mengaku kecenderungan tersebut juga didukung oleh teman-temannya yang juga memiliki tujuan rekreasional ketika mengunjungi museum.

Pengalaman Ignatius menunjukkan bagaimana kini sorotan masyarakat modern cenderung tertuju kepada museum seni modern yang menampilkan berbagai seni kontemporer untuk dinikmati dengan cara yang unik. Buktinya, di Indonesia juga terjadi perkembangan yang pesat pada museum-museum seni modern di kota-kota besar. Tidak jarang, museum tradisional turut mengikuti permintaan pasar dan mengubah penampilannya. Hal ini dilakukan dengan mengubah koleksi menjadi lebih modern, memasarkan museum melalui media sosial, dan yang paling berpengaruh, mentransformasi penuansaan museum, seperti peletakkan koleksi dan renovasi ruangan. “Bahkan saking populernya museum modern, Museum Gajah di Jakarta sekarang mulai berbenah, nggak kayak dulu lagi, lebih modern dari segi penempatannya dan penuansaannya,” lanjut Ignatius saat memaparkan fenomena museum di masa kini.

Fenomena romantisasi konten di museum
Media sosial menjadi salah satu faktor melejitnya museum seni modern di Indonesia. Seni dan bisnis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari pembahasan museum modern saat ini. Demi meningkatkan impresi museum seni modern, media sosial menjadi wadah mutakhir bagi pihak museum melakukan pemasaran kepada masyarakat. Tidak hanya dari pihak museum, tetapi konten-konten dari individu tertentu juga memiliki perannya tersendiri, seperti pengaruh public figure yang mengunjungi museum tertentu ataupun pengguna biasa yang kemudian kontennya dilihat banyak orang. Konten berkembang kemudian menjadi tren, beberapa di antaranya, seperti museum date, a day in museum, dan rekomendasi museum instagramable. “Temen-temen gue juga banyak yang tau dan melakukan tren museum date itu, dari Tiktok atau Instagram,” ucap Ignatius menceritakan lingkungannya yang mengetahui tren tersebut.

Nyatanya, strategi pemasaran pihak museum berhasil masuk ke masyarakat Indonesia. Positifnya, tujuan museum untuk edukasi dan rekreasi terealisasikan. Namun, bagaimana dengan esensi karya seni di dalamnya? Apakah pengunjung benar memaknai seni atau hanya menjadi pemenuhan estetika laman pribadi?

Hal tersebut direspons oleh Marfuah, Tim Hubungan Masyarakat dari Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum (KPBMI). Marfuah mengatakan bahwa setiap pengunjung memiliki caranya masing-masing dalam menikmati karya. “Kalau menikmati, masing-masing orang punya cara menikmatinya. Ada yang cuma ngeliat, cari yang mereka suka, ada yang baca informasi dari karya tersebut, baca informasi profil senimannya, baca ulasan pemerannya, ada juga yang datang foto-foto,” jelas Marfuah, “kalau apresiasi adalah tahap ketika seseorang ingin tahu alasan dari terciptanya karya seni itu apa? Apa yang ingin disampaikan oleh si seniman? Setelah tahu alasannya, (audiens mulai bertanya -red) kira-kira nilai estetikanya dan seninya bisa dikembangkan ga ya? atau cukup tau aja. Jadi apresiasi akan meluas,” tambahnya.

Dengan kata lain, tujuan apresiasi adalah bagaimana nilai estetika dan kreasi bisa dikembangkan. Marfuah melanjutkan bahwa seni budaya modern saat ini berbentuk ATM, yaitu Amati, Tiru, dan Modifikasi,sehingga generasi saat ini bukanlah generasi pencipta murni melainkan generasi pengembang dari ilmu di masa lalu. Proses pengembangan ini berawal dari apresiasi.

“Awalnya kita cuma melihat, mendengarkan, atau menonton saja. Kemudian ada proses mengamati dan menghayati. Apa yang ingin disampaikan oleh seniman? Apa pesan dari karya ini? Dari situ kemudian akan ada apresiasi. Adanya mengakui, menghargai, menilai dari sebuah karya. Dari sini juga nantinya akan ada analisis, tafsiran, evaluasi. Jadinya seni budaya itu terus bergerak ada aja yang baru. Walaupun mungkin mirip dengan yang ada di masa lalu, tetapi selalu ada yang berbeda,” tutur Marfuah.

Meski begitu, konten-konten di museum diibaratkan seperti koin yang memiliki dua sisi. Satu sisi sangat disayangkan pengunjung tidak dapat secara penuh mengapresiasi karya. Sementara di sisi lain, konten tersebut meningkatkan kuantitas pengunjung ke museum.

“Seperti koin, ada sisi yang bersinggungan. Kita nggak bisa bilang ‘oh itu salah tuh nggak boleh ke museum cuma foto-foto doang,’ Di satu sisi sangat sayang, Di sisi lain meningkatkan kuantitas pengunjung itu sendiri, hal ini menjadi PR bagi pihak museum bagaimana mereka bisa menyajikan tempat atau media yang lebih nyaman lagi dan inovatif bagi pengunjung,” ujar Marfuah.

Apresiasi atau Eksploitasi?
Berbicara tentang esensi karya seni, pandangan dari pencipta karya seni itu sendiri tidak dapat terlewatkan. Desy Febrianti, seorang seniman yang baru-baru ini menggelar pameran tunggalnya bersama Art 1: New Museum, mengilhami karyanya dengan pemikirannya mengenai lingkungan di sekitarnya, seperti alam dan fenomena sosial. Pemikiran tersebut disajikan melalui torehan cat di atas kanvas yang akhirnya membawa Desy dikenal banyak orang. Tentu, sebagai seniman, ia mengaku memiliki pesan tersendiri yang ingin disampaikan melalui karyanya. “Saya memproyeksikan diri saya saat saya melihat alam dan karya-karya saya merupakan kisah dari proses pendewasaan diri saya,” ungkap Desy.

Sebagai seniman, Desy sangat menyadari adanya perkembangan museum seni modern saat ini ke arah hiburan publik. Terlebih, ia juga mengetahui tren-tren yang beredar di media sosial mengenai kunjungan audiens di museum seni modern. “Saya pribadi sebagai seniman sudah menyerahkan karya saya ke audiens karya saya mau jadi apa, bahkan background foto, konten TikTok, atau lainnya. Pada dasarnya, idealis saya sebagai seniman hanya pada karya saya, kalau sudah dipajang di galeri, itu sudah hak masyarakat untuk menilai, istilahnya konsumsi publik,” cerita Desy. Lebih lanjut, ia menjelaskan alasannya berpikir demikian. “Jika saya mengekspresikan diri melalui karya yang saya berikan, maka audiens bisa mengekspresikan diri melalui konten yang mereka hasilkan. Beberapa (orang -red) mungkin menganggap hal ini salah satu bentuk kecil dari eksploitasi seni, tetapi menurut saya, ini adalah bentuk apresiasi yang bisa audiens berikan,” lanjutnya.

Meskipun begitu, Desy menjelaskan mengenai ‘audiens yang berharga’ dari sudut pandangnya. “Saya mengutip kata-kata senior saya, bahwa orang yang datang ke galeri dengan penuh rasa simpati dan empati, artinya dia meluangkan waktu untuk ke museum galeri dengan mengamati, melihat, tekstur, teknik, adalah audiens yang berharga. Setiap individu yang meluangkan perasaan terhadap karya mungkin sangat jarang, tetapi untuk beberapa orang pasti ada aja,” pungkasnya.

Kebebasan Interpretasi dalam Seni
Seni lahir melalui proses yang panjang, melalui hubungan intim antara seniman, emosinya, dan lingkungan sekitarnya. Setiap seniman memiliki caranya sendiri dalam mengantarkan proses tersebut pada sebuah karya seni. Begitu pula dengan audiens yang memiliki caranya masing-masing dalam menikmati seni, seperti melihat, mendengar, atau merekam suatu karya seni. Tidak ada batasan dalam menikmati karya seni. Tren konten di museum adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebagian audiens menikmati karya seni yang mereka temui di museum.

“Saya serahkan kepada mereka. Membuat dan menikmati karya prosesnya cukup sama, maksudnya memiliki kebebasan dan cara pandang dipengaruhi banyak hal. Kaya mungkin audience sedang mengalami apa, kesesuaian perasaan dengan karya. Harapan besarnya sama-sama merasakan apa yang saya rasakan,” ucap Desy.

Audiens juga dapat menikmati karya seni lebih jauh dan luas melalui apresiasi seni. Bertanya tujuan seniman dalam membuat karyanya, apa yang ingin disampaikan, bagaimana karya tersebut dapat dikembangkan, menjadi cara mengapresiasi seni. Seperti yang dikatakan Marfuah, setiap karya seni memiliki pesan dan tujuannya masing-masing sehingga amat disayangkan jika tahap apresiasi ini absen dari kegiatan audiens dalam menikmati seni di museum.

“Jangan lupakan bahwa museum itu, karya seni itu, bukan hanya sebagai sebuah rekreasi, tetapi juga ada sisi edukasinya disitu. Jadi, ya sayang kalau cuma foto-foto, ngerekam aja, tapi kita ga dapet ilmunya atau pesannya karena pasti setiap karya  ada pesan yang ingin disampaikan oleh si seniman. Di setiap museum pasti ada historynya. Jadi jangan sampai waktu di museum terbuang sia-sia,” pesan Marfuah.  

Referensi
Fitriani (2018). “Sejarah dan Peran Sosial Museum”. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/sejarah-dan-peran-sosial-museum/

Yendra, Sasferi (2018). Museum dan Galeri (Tantangan dan Solusi). Jurnal Tata Kelola Seni. Volume 4 Nomor 2.

Penulis: Farah Zahirah Putri, Loga Prity Dewi
Editor: Ninda Maghfira
Ilustrasi: Brilian Kesumanegara

Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!