Logo Suma

Intrik Politik di Balik Kudeta Myanmar

Redaksi Suara Mahasiswa · 17 Februari 2021
7 menit

Saat ini pemerintahan Myanmar tengah dalam situasi genting sejak dilakukannya kudeta pemerintahan oleh Tatmadaw alias junta militer Myanmar. Terhitung sejak Senin (1/2/2021), dini hari pertama bulan Februari, pihak militer mengumumkan keadaan darurat dan akan mengambil alih negara selama satu tahun. Dari stasiun televisi militer, Myawady TV mengumumkan bahwa saat ini semua otoritas dipegang oleh Min Aung Hlaing sebagai panglima tertinggi. Setelah itu, Tatmadaw memecat sejumlah pejabat lama, mengangkat 11 menteri baru dan membentuk Dewan Administratif Negara dengan menunjuk komisioner pemilihan serta gubernur bank sentral.

Pengambilalihan kekuasaan ini dinilai merupakan respon militer terhadap kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada pemilihan umum 2020. Partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak 83% pada pemilu November lalu usai meraup 346 kursi dari total 491 kursi anggota parlemen terpilih.

Tak terima dengan hasil tersebut, militer Myanmar mengklaim adanya indikasi kecurangan suara dan menuntut diselenggarakannya pemilu ulang. Kendati demikian, komisi pemilu Myanmar (UEC) menyanggahnya dan menyebut tuduhan tersebut ’berlebihan’ karena tidak memiliki bukti.

Dalam pidatonya, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan bahwa kudeta dilaksanakan atas kegagalan komisi pemilihan dalam menindaklanjuti kecurangan pemilu dan tidak mengizinkan kampanye yang adil. Ia juga menjanjikan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang dengan komisi pemilihan yang "direformasi". Dengan ini, pihak militer mengklaim perbuatannya sesuai dengan hukum dan konstitusi yang berlaku.

Sementara itu, sejumlah jalanan di kota-kota besar Myanmar dipenuhi puluhan ribu massa yang berkumpul untuk melakukan protes dan pemogokan nasional. Mereka menuntut militer untuk membatalkan kudeta dan melepaskan para pejabat sah yang ditahan. Melansir BBC, tercatat ada 45 pejabat sipil menjadi tahanan rumah; mulai dari Win Myint, kepala negara de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pemimpin partai NLD, dan sejumlah politisi lainnya. Menurut kabar terbaru, Suu Kyi ditahan dengan tuduhan melakukan impor walkie-talkie ilegal dan Win Myint dituduh melanggar UU Penanggulangan Bencana Alam.

Merespons perlawanan masyarakat yang melonjak, militer mulai memberlakukan pembatasan di beberapa daerah, termasuk jam malam dan batas pertemuan. Ada pula aturan larangan penerbangan penumpang. Saat ini, sinyal televisi terputus di seluruh negeri, begitu pula layanan telepon di beberapa bagian negara tersebut juga dilaporkan putus, meskipun mereka masih dapat menggunakan internet kecuali Facebook yang juga diblokir pada Kamis (4/2). Pemutusan sejumlah alat komunikasi tersebut dilakukan dengan dalih demi “stabilitas” serta untuk menghentikan penyebaran berita palsu dan informasi yang salah. Tidak hanya itu, aksi protes ini juga diwarnai kekerasan dan penculikan baik terhadap demonstran maupun jurnalis yang meliput.

Tindakan tersebut tidak hanya memicu protes dari dalam negeri, namun juga mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional. “Militer Burma (Myanmar—red) harus melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut, membebaskan aktivis serta pejabat yang mereka tangkap, mencabut pembatasan telekomunikasi, dan menahan diri dari kekerasan,” kata Presiden AS, Joe Biden di Departemen Luar Negeri AS, Washington, sebagaimana yang dikutip AP News. Dewan keamanan PBB juga meminta militer Myanmar untuk “menegakkan lembaga dan proses demokrasi, menahan penggunaan kekerasan, dan sepenuhnya menghormati HAM, kebebasan fundamental dan supremasi hukum”.

Berdasarkan histori politiknya, Negeri Seribu Pagoda itu memang pernah berada di bawah kediktatoran rezim militer selama hampir setengah abad. Negara ini baru memulai transisi demokrasi pada tahun 2011. Pada tahun 2015, Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) terpilih untuk memimpin Myanmar melalui pemungutan suara paling bebas dan adil dalam sejarah Myanmar. Kendati demikian, dalam sistem demokrasi pun, posisi tentara dalam pemerintahan masih sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketentuan konstitusi pengisian kursi parlemen untuk tentara secara otomatis sebanyak 25% dan posisi-posisi penting di bidang pertahanan nasional (tiga menteri dan wapres), sedangkan untuk mengambil keputusan dibutuhkan 75%+1 suara. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apa yang menjadi sumber ketegangan antara militer dan sipil? Mengapa saat ini pihak militer merebut kekuasaan dan apa yang akan terjadi selanjutnya?

Sejarah Ketegangan Politik Militer dan Sipil di Myanmar

Kudeta yang dilancarkan oleh junta militer Myanmar ini bak cerita lama yang terus berulang. Berada di bawah cengkeraman rezim militer selama enam dekade, negara ini telah mengalami kudeta militer beberapa kali, sehingga ketegangan antara militer dengan pemerintahan sipil bukan lagi hal baru. Dilansir dari Forbes, empat belas tahun merdeka dari Inggris, tepatnya tahun 1962—kubu militer Myanmar alias Tatmadaw yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Jenderal Je Win, menggulingkan pemerintahan sipil. Peristiwa ini kemudian menandai berdirinya rezim otoriter di negara tersebut dan mendapuk junta militer pada kekuasaan tertinggi.

Muak dengan korupsi, kegagalan ekonomi dan arogansi kediktatoran militer saat itu, pada tahun 1988, masyarakat mengguncangkan Myanmar dengan demonstrasi berdarah besar-besaran yang konon disebut Pemberontakan 888. Gelombang protes tersebut berhasil menggulingkan Je Win yang kemudian digantikan oleh junta militer yang baru. Dalam gelombang protes yang dimotori oleh mahasiswa ini, nama Aung San Suu Kyi mulai populer sebagai aktivis pro-demokrasi. Atas aksinya, Suu Kyi pun ditetapkan sebagai tahanan rumah oleh rezim militer yang berkuasa.

Kecaman dan sanksi dari dunia internasional terhadap Myanmar pun mulai berdatangan. Untuk mengatasi hal tersebut, rezim militer yang berkuasa saat itu berusaha merperbaiki citra dengan cara mengadakan pemilihan umum pada 1990. Status “tahanan rumah” yang disandang oleh Suu Kyi ternyata tak mampu membendung popularitasnya di kalangan masyarakat Myanmar. Pada pemilu tersebut, Suu Kyi, mewakili partai sipil NLD, memenangkan 80 persen suara. Hasil pemilu ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintahan militer yang mengklaim bahwa pemilu tersebut diwarnai adanya kecurangan. Secara tak mengejutkan, rezim militer pun melakukan kudeta terhadap pihak yang terpilih melalui pemilu—alhasil militer kembali berkuasa di Myanmar.

Shofwan Al Banaa, Pimpinan Redaksi GLOBAL, Jurnal Politik Internasional Departemen HI UI, memaparkan bahwa dominasi militer atas Myanmar ini mulai melonggar seiring dengan isolasi internasional yang membawa Myanmar pada penghujung krisis. “Tahun 2000-an akhir, tentara mulai melihat isolasi internasional menghadirkan kondisi ekonomi yang terbatas, ditambah dengan ketergantungan tinggi pada Tiongkok,” ujarnya.

Imbasnya, pemerintahan militer mulai mencoba “bereksperimen” dengan membuka sedikit ruang demokrasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Dengan demokratisasi, mereka membuka akses pada modal investasi dari negara-negara lain. Setelah lima belas tahun ditahan, Suu Kyi sebagai tokoh populer pro-demokrasi pun akhirnya dibebaskan pada tahun 2010. Menurut Shofwan, langkah ini diambil untuk meyakinkan khalayak bahwa Myanmar benar-benar sudah bersikap terbuka pada demokrasi. Pemilu pun kembali digelar pada 2015; kali ini, kemenangan kembali diperoleh oleh Suu Kyi yang diusung oleh partai oposisi NLD. Meskipun Suu Kyi telah mutlak memenangkan pemilu, menurut Shofwan, kemenangan ini masih dibayang-bayangi oleh cengkeraman tentara yang begitu kuat. “Ada power sharing dengan tentara,” imbuhnya. Lebih jauh Dosen Ilmu Hubungan Internasional UI ini juga menilai bahwa hal ini pula lah yang menyebabkan Suu Kyi membela pihak tentara dalam kasus genosida etnis Rohingya.

“Karena konstitusinya dibuat oleh tentara sendiri, tentara masih menjadi kekuatan yang paling dominan. Dia menjaga supaya tidak ada perubahan konstitusi tanpa persetujuan tentara,” lanjut Shofwan.

Shofwan juga menjelaskan, oleh karena itu, dalih kudeta kali ini—yakni kecurangan pemilu— lebih tepat dianggap sebagai trigger atau pretext saja. Sebab sistem transisi demokrasi yang awalnya hanya merupakan “akrobat” dari pemerintahan militer ini ternyata menghasilkan posisi dan prospek politik yang tidak menguntungkan bagi kubu militer sendiri. Pihak militer khawatir kemenangan pemilu ini akan memperkuat NLD dan demokrasi di Myanmar yang lambat laun dapat mengurangi peran tentara di panggung politik. Terdapat pula dugaan bahwa Min Aung Hlaing berhasrat untuk menjadi presiden serta bermaksud untuk mengamankan kekayaannya. Akan tetapi, perolehan hasil pemilu kali ini juga tidak menjanjikan, sehingga ia perlu menata sistem yang lebih memungkinkannya untuk menang.  

Masa Depan Myanmar dan Asia Tenggara

Hingga saat ini, belum dapat diprediksi dengan sempurna mengenai apa yang selanjutnya akan terjadi, mengingat Myanmar sudah berubah dari segi sistem politik kendati “power’ tentara juga masih kuat. Menurut Shofwan, hasil dari ketegangan politik ini barangkali akan ditentukan oleh sejauh mana kelas menengah ini mampu mengorganisir perlawanan dan menegosiasikan kepentingannya. Namun, sebagaimana yang juga diutarakannya, apabila kudeta terus berlanjut, terdapat pula kemungkinan bahwa Myanmar akan kembali menjadi negara yang otoriter.

“Tentara sebenarnya bertaruh dengan meyakini bahwa selama mereka melakukan liberalisasi ekonomi, negara-negara Barat pun lambat-laun akan tutup mata terhadap dominasi militer yang terjadi di Myanmar,” jelasnya.

Dalam konteks regionalisme, yakni ASEAN, kudeta Myanmar ini memancing perpecahan sikap dan reaksi antar anggota-anggota negara ASEAN. Filiphina, Kamboja dan Thailand menganggap kudeta Myanmar ini sebagai masalah internal dan tidak berniat untuk mengomentari lebih jauh. Sedangkan Indonesia, Singapura dan Malaysia menyampaikan keprihatinan mendalam, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan berupaya mencapai resolusi damai atas konflik tersebut. Sementara Vietnam, Brunei Darussalam, dan Laos belum mengeluarkan pernyataan apa pun.

Perbedaan komposisi kepemimpinan dan kepentingan masing-masing negara ASEAN sudah barang tentu akan menghambat terbentuknya sikap utuh atas nama ASEAN.  Tak heran jika negara-negara anggota memilih menyikapinya secara terpisah. Terlebih, masing-masing anggota ASEAN terikat pada prinsip non-intervensi yang tertuang pada pasal 2 Piagam ASEAN. Prinsip ini mengamanati anggotanya untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh negara ASEAN lain. Hal ini dilakukan dalam rangka menghormati otoritas politik yang berjalan di negara tersebut.

“Saya kira sulit bagi ASEAN yang sistem politiknya beragam, apalagi sedang Covid begini,” ungkap Shofwan, menanggapi pertanyaan terkait kemungkinan intervensi terhadap kudeta Myanmar. Lebih lanjut, Shofwan juga berpendapat bahwa kudeta tersebut kemungkinan tidak akan berdampak secara signifikan terhadap ASEAN. Menurutnya, kudeta ini mungkin saja memperparah konflik yang dialami kaum Rohingya serta berdampak terhadap kawasan sekitarnya, tetapi seperti yang diucapkannya, dampak yang ditimbulkan “tidak sampai mengubah wajah Asia Tenggara”.

Teks: Dian Amalia A., Syifa Nadia R.
Foto: CNN
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas

Referensi:

Tonkin, D. (2007). The 1990 elections in myanmar: Broken promises or a failure of communication? Contemporary Southeast Asia, 29(1), 33-54. doi:http://dx.doi.org/10.1355/CS29-1B

Cuddy, Alice. (2021, February 09). Myanmar Coup: What is Happening and Why?  BBC News. Retrieved Feb 11, 2021 from https://www.bbc.com/news/world-asia-55902070

Dury, Flora. (2021). Myanmar’s Coup: Why Now - and What’s Next? BBC News. Retrieved Feb 11, 2021 from https://www.bbc.com/news/world-asia-55882938

Hansler, Jennifer (2021, February 11). Biden announces US will sanction Myanmar's military leaders following coup. Retrieved February 15, 2021, from https://edition.cnn.com/2021/02/10/politics/biden-myanmar-coup-sanctions/index.html

Haryanto, A. (2021, February 02). Bagaimana Kisah Junta Militer Myanmar KUASAI negara Melalui kudeta? Retrieved February 15, 2021, from https://tirto.id/bagaimana-kisah-junta-militer-myanmar-kuasai-negara-melalui-kudeta-f9Tm

Kinasih, Sekar. (2021, February 08). Sejarah Membuktikan Myanmar Memang Gatal kudeta. Retrieved Feb 10, 2021 from https://tirto.id/sejarah-membuktikan-militer-myanmar-memang-gatal-kudeta-f91X

Mazrieva, Eva. (2021, February 05). Mengapa sulit bagi ASEAN sikapi kudeta Myanmar? Retrieved Feb 10, 2021 from https://www.voaindonesia.com/a/mengapa-sulit-bagi-asean-sikapi-kudeta-myanmar-/5765433.html

Politik Internasional. (n.d.). Retrieved February 15, 2021, from http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional?limit=5&start=45

Putsanra, Dipna Videlia (2021, February 01). Kronologi Dugaan Kudeta Militer Myanmar Aung San Suu Kyi Ditahan. Retrieved Feb 10, 2021 from https://tirto.id/kronologi-dugaan-kudeta-militer-myanmar-aung-san-suu-kyi-ditahan-f9P5

Ratchclife, Rebbeca. (2021, February 02). Myanmar army takes power in coup as Aung San Suu Kyi detained. Retrieved Feb 10, 2021 from https://www.theguardian.com/world/2021/feb/01/aung-san-suu-kyi-and-other-figures-detained-in-myanmar-raids-says-ruling-party

Regan, Helen (2021, February 08). Myanmar Coup: Why the Generals really Took Back Power in Myanmar. Retrieved Feb 10, 2021 from https://edition.cnn.com/2021/02/06/asia/myanmar-coup-what-led-to-it-intl-hnk/index.html

Siow, M. (2021, February 05). Myanmar coup: Sitting on the FENCE shouldn't be an option for Asean. Retrieved February 15, 2021, from https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3120554/myanmar-coup-asean-sitting-fence-shouldnt-be-option

Ward, A. (2021, February 01). Myanmar's coup, explained. Retrieved February 15, 2021, from https://www.vox.com/22260076/myanmar-coup-military-suu-kyi-explain