IWD 2021 dan Ironi Nasib Perempuan di Tengah Pandemi

Redaksi Suara Mahasiswa · 9 Maret 2021
5 menit

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, massa menggelar aksi longmarch dari beberapa lokasi untuk menuju titik kumpul Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta pada Senin (8/3). Hari Perempuan Internasional tahun ini dihelat dengan tema #ChooseToChallenge, yang bermakna bahwa perempuan bebas memilih untuk menantang ketidaksetaraan gender yang merantai kaki mereka.

Berdasarkan pantauan Suara Mahasiswa UI, aksi yang diikuti oleh pelbagai lapisan masyarakat, mulai dari serikat buruh, mahasiswa, aktivis organisasi, hingga lembaga bantuan hukum (LBH) ini mulai digelar di sejumlah titik seperti di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Gedung International Labour Organization (ILO), dan Gedung DPR/MPR RI sejak pukul 10.00 WIB—yang seluruhnya kemudian bergerak menuju Patung Kuda Arjuna Wiwaha mulai pukul 14.00 WIB.

Di titik kumpul Patung Kuda Arjuna Wiwaha, perwakilan dari massa aksi dipersilakan untuk menyampaikan orasi dan aspirasi. Polisi terlihat berjaga di sekitar lokasi aksi sembari sesekali mengingatkan massa untuk memperhatikan protokol kesehatan.

Tuntutan Massa Aksi

Suasana jalanan di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha sore itu diwarnai gerimis yang melebur dengan seruan-seruan tuntutan aksi. Sepanjang longmarch yang dilakukan, terdapat beragam seruan tuntutan yang dilayangkan untuk pemerintah. Secara umum, massa menuntut pemerintah untuk (1) mengesahkan RUU PKS; (2) mencabut UU Cipta Kerja; (3) mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT); serta (4) meratifikasi Konvensi ILO 190. Seruan ini tak hanya tertulis pada poster-poster aspirasi yang terpampang pada tangan mereka, tetapi juga dilantangkan pada kesempatan orasi.

Massa aksi menyerukan tuntutan mereka di balik komando seorang perempuan yang tak henti berorasi—mengobarkan semangat massa—dari balik mobil pickup yang dihiasi berbagai spanduk dan bendera identitas Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Orasi tak berhenti hanya sepanjang longmarch; di pelataran Monumen Nasional (Monas), perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat berkesempatan untuk menyampaikan tuntutan mereka secara bergantian. Di situlah Dian Septi Trisnanti, selaku pengurus Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KSPBI), menyampaikan isi kepalanya.

“Negara tidak pernah melihat perempuan sebagai tenaga produktif yang mempunyai hak-hak kesehatan reproduksi. Ketika kita bekerja, kita dilarang cuti hamil, dilarang untuk (mengambil cuti—red) haid, sampai kita harus membuktikan dengan surat dokter dan menunjukkan pembalut kita. Inilah kekerasan seksual di tempat kerja!” seru Dian sebagai bentuk keresahannya terhadap pembatasan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan di lingkungan kerja.

Ketika diwawancarai oleh Suara Mahasiswa UI selepas berorasi, Dian mengeluhkan masih masih terdapat undang-undang yang dinilai mengerdilkan ruang gerak serta hak-hak perempuan, salah satunya ialah UU Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja dibuat dengan tujuan ‘menyenangkan’ investor dan menutup mata pada kesejahteraan pekerja. Relasi antara pihak pemberi kerja dan pekerja dibuat sedemikian fleksibel dalam undang-undang ini, yang berujung pada semakin tidak jelasnya hak-hak yang dimiliki pekerja.

“Ini berimbas pada teman-teman perempuan yang mayoritas terserap dalam pekerjaan sektor informal; seperti pekerja rumah tangga, buruh migran, lalu pekerja rumahan, konveksi, dan sektor industri padat karya,” papar Dian.

Tak hanya menghadapi kerentanan finansial, pekerja perempuan juga rentan akan kekerasan seksual di lingkungan kerja—terutama apabila menyangkut relasi kuasa dengan atasan. Sayangnya, penegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual masih terkekang oleh banyak kendala. Pertama, banyak di antara mereka yang memilih untuk diam akibat respons dari sekitar yang selalu menyalahkan korban. Kedua, masih belum adanya payung hukum terkait kekerasan seksual.

Dian melanjutkan, “Itulah mengapa kami tidak hanya meminta Undang-Undang Cipta Kerja untuk dihapus—karena itu semakin memiskinkan buruh perempuan, (tetapi—red) juga kita meminta supaya ada payung hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual.”

Gabungan berbagai serikat buruh juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190 sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, utamanya bagi para pekerja perempuan. Konvensi ILO 190 menerapkan definisi ‘dunia kerja’ secara luas, meliputi sektor informal dan domestik. Dian berharap, pekerja sektor informal seperti buruh dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dapat terlindungi haknya dengan cara ratifikasi tersebut. Untuk melindungi PRT, serikat buruh juga menuntut adanya pengesahan RUU PPRT.

Demikian pula tuntutan yang disampaikan oleh Tiara Eka Pratiwi selaku Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, “Kami menuntut adanya ratifikasi Konvensi ILO 190, karena konvensi tersebut menjamin penghapusan kekerasan dan diskriminasi, termasuk kekerasan berbasis gender di dunia kerja,” ujarnya. Tak hanya itu, Perempuan Mahardhika juga menuntut upah yang layak bagi perempuan, pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja, serta pengakuan terhadap kekerasan seksual sebagai kejahatan HAM.

Desakan untuk mengesahkan RUU-PKS juga dilontarkan oleh Aprilia, seorang anggota LBH Jakarta, “Harapannya tahun ini (menjadi—red) tahun terakhir lah kami harus berteriak minta (RUU PKS—red) disahkan, juga RUU PPRT. Jadi tolong perhatikan lah, mau sampai kapan urus undang-undang yang untuk kepentingan bisnis? Kepentingan rakyatnya tidak diperhatikan,” keluhnya.

Aprilia berharap, masuknya RUU PKS ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2021 dapat membuka gerbang pada proses hukum yang lebih berperspektif korban. Kendati demikian, menurutnya, produk hukum saja tidak cukup untuk dapat menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara optimal, produk hukum yang nantinya dikeluarkan harus dibarengi dengan implementasi yang tidak bias gender.

“Ketika ada produk undang-undang yang melindungi, praktiknya harusnya juga bisa bagus. Walaupun kita tahu ya, seperti undang-undang yang lain, undang-undangnya udah oke misalnya, tapi praktiknya jelek… ada juga (yang seperti itu—red). Tapi kami berharap minimal RUU-nya diketok dulu deh, supaya ada jaminan hukumnya,” pungkas Aprilia.

Perempuan di Tengah Pandemi, Apa Kabar?

Perempuan menghadapi kerentanan berganda ketika pandemi datang. Selama pandemi, kasus yang marak menimpa perempuan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Komnas Perempuan mencatat adanya lonjakan kasus KBGO yang tinggi selama pandemi; hingga Oktober 2020 telah terjadi total 659 kasus, angka ini amat signifikan jika dibandingkan total kasus pada 2019 sebanyak 281 kasus. Sementara itu, data dari Komnas Perempuan menunjukkan, KDRT masih menjadi jenis kekerasan yang paling mendominasi selama pandemi. Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus).

Seperti yang dikatakan oleh Aprilia, selama pandemi perempuan menghadapi risiko kekerasan berbasis gender dari berbagai sudut. Dalam rumah, ada perempuan yang mengalami KDRT baik secara fisik maupun psikis. Di ruang daring pun mereka masih menghadapi ancaman KBGO. Belum lagi, situasi pandemi ini juga menempatkan mereka pada peran ganda di ranah domestik/rumah tangga dan karier.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, selama pandemi ini, perempuan di Indonesia menghabiskan waktu lebih dari tiga jam untuk melakukan tugas-tugas domestik; empat kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Beban domestik yang semakin berat disertai tuntutan pada perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ranah domestik tentunya semakin menempatkan mereka pada posisi rentan. Pada perempuan yang bekerja di sektor ‘kerah biru’, kerentanan ini semakin berlipat ganda. Tidak hanya buruh perempuan yang mengalami ketidakadilan di dunia kerja, ternyata perempuan yang bekerja di lembaga pemerintahan pun turut merasakan nasib yang sama.

Ni Ketut Adriyani, seorang Ketua Federasi Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), menceritakan kondisinya dan teman-teman sejawat selama pandemi, “Kami itu merupakan petugas yang bertugas di desa-desa, digaji oleh daerah masing-masing. Ada teman kami yang tidak digaji, ada teman kami yang digaji lebih sedikit dari yang seharusnya, bahkan gaji kami rata-rata di bawah UMK,” tuturnya.

Di tengah pandemi, Adriyani dan teman-temannya yang turun langsung ke lapangan bahkan tidak dibekali dengan APD yang lengkap. Ia menyayangkan absennya perhatian pemerintah pusat terhadap kesejahteraan pegawai PLKB. Berbagai cara sudah dilakukannya untuk mendapatkan keadilan, termasuk mengirimkan surat secara berulang kali pada pemerintah hingga memohon pada Presiden Jokowi. Upayanya sempat membuahkan hasil, audiensi dengan Kepala BKKBN pun mereka lakukan demi mendapatkan hak yang utuh. Kepala BKKBN pun menerima tuntutan mereka, dan Jokowi menyetujui diangkatnya PLKB sebagai pegawai tetap BKKBN. Namun, Adriyani menuturkan bahwa hingga saat ini mereka masih belum mendapatkan kepastian—belum ada perhatian yang serius dari BKKBN terhadap para pekerja lapangannya.

Tentunya, perjuangan Adriyani dan lainnya belum berhenti sampai di sini. Hari Perempuan Internasional hanya menjadi perempuan-perempuan salah satu momentum bagi mereka untuk saling berpegangan tangan dan berjuang dalam nasib yang sama. Selamat Hari Perempuan Internasional! #ChooseToChallenge. Massa aksi bubar secara tertib pada pukul 16.00 WIB.

Teks: Syifa Nadia R.
Kontributor: Fathi Mardjan, Faiz Mudrika, Muhammad Kahlil
Foto: Almas Satria
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa  UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!


Referensi:

Komnas Perempuan (2020). Kajian Dinamika Perubahan di Dalam Rumah Tangga Selama Covid-19 di 34 Provinsi di Indonesia. 1–10.

[Rilis PERS] Peningkatan Kekerasan Berbasis gender Online Selama Pandemi. Retrieved March 09, 2021, from https://id.safenet.or.id/2020/12/rilis-pers-peningkatan-kekerasan-berbasis-gender-online-selama-pandemi/

Siaran Pers: Perempuan dalam Himpitan Pandemi. Retrieved March 09, 2021, from https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021