Jakarta, atau Aku Kepadamu, Sehimpun Puisi

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 April 2021
2 menit

Jakarta, atau Aku Kepadamu
di kereta menuju Jatinegara

Orang suci berkata, “Aku mengingat Tuhan tiap kali aku melihat wajahmu.”—saduran Filipi 1 Ayat 3

Jakarta tidak pernah berhasil mendiamkan dendam, kemacetan, dan keterasingan. Jakarta selalu berhasil membenci dirinya sebanyak ia mencintai diriny.

Alasannya? Lampu-lampu jalan bergandeng mesra. Pertanyaannya, siapa yang menggandeng Jakarta?
**

Aku tidak pernah berhasil mengeja kerinduan, cinta, dan huruf-huruf namamu. Aku selalu berhasil melayangkan tatap yang tak ubah permintaan maaf seorang anak pada ibu.

Alasannya? Matamu selalu menjadi hal pertama dan terakhir yang ingin aku lihat. Pertanyaannya, bolehkah anak kecil dalam diriku menyapamu?

Bila ini bukan kasih sayang, aku mau berhenti mengerti.

Tempat Ini Bagus

“Mari kita buka persidangan ini tuan dan nyonya!”
Selimut malam ini membayangkan dirinya menjadi ombak laut—lepas itu mimpi berlayar beberapa bulan. Beberapa bulan yang berarti selamanya. Sekali seledet, ia tenang dan tenggelam selalu berarti dalam.

Sekumpulan puisi menjelma ikan yang rumahnya kebanjiran—matanya terus terbuka. Terbuka barangkali tidak tahu cara harus tertutup. Ia satu-satunya apanase dari Tuhan, dan konon hutan tidak pernah minta kanon.
**

Selimut malam kini mengeja selamat malam yang tiada diucap cinta yang marah. Dan kini ia berhenti menulis atau ditulis—jarinya malu mengecap kata rindu dan mati akan selalu jadi waktu.

Sekumpulan puisi ditipu sekumparan benang takdir yang dipaksa berjanji. Dan lalu ia berhenti mencoba atau menjadi manis—lidahnya kaku menjejakan kakinya pada rasa yang tidak satu setan pun tahu.
**

Selimut malam sekumpulan puisi mengetikkan sebuah konsesi;
“Aku akan berbagi lahan mimpi ini denganmu seorang.”

Aku

“Segala yang cacat di dunia ini harus diberi hukuman!"
terbenam dalam kerapuhan antara kenyataan dan kematian,
mengejar, terjatuh, terbentuk, terhimpun,
seolah lebih hebat dari siapapun.

Aku adalah kucing hitam,
berputar dan melampaui khayalmu.
—omong kosong, tak berpenghuni, tengah malam.
tidak perlu berdiri di sana dan menungguku.

Belum, belum lagi—
aku mau menantang terang pagi.

Dia Berkata: Aku P̶e̶r̶n̶a̶h̶ Jatuh Cinta

“Apa yang tidak ku temukan pada filsafat, ku temukan pada dirimu.” — Sutan Syahrir

Entah malam ini pergantian tahun, atau perayaan hari besar agama. Jendela selalu melihat kembang dan api saat menguping aku yang membisik namamu.

Aku kembali ke bilik ini bersama buku dan melapuk bersama. Bersama pertanyaan dengan timbul, atau rasa yang belum kenal tumpul. Menyebut namamu berarti aku kalah—entah di malam dan di pergantian tahun.

Aku belajar dengan menenangkan riuh. Dengan berhenti dan acapkali mengeluh. Sekarang, aku ingin dengan menyentuh. Menyentuh segala yang asing pada tubuh.

Lalu tak’kan aku biarkan kamu mati seperti tanda titik seorang penulis.

“Aku tidak percaya cinta, nyanyian-nyanyian kosong dan liar di rumah Tuhan,” ucapmu.

Kutolok dan kupotong, sebab kisah cinta terbaik belum ditulis hingga saat ini.


Kembali Belajar Geografi

Di tubuhku ada luka sekarang, bekas kau cium nafsu dan garang. Juga binatang eksodus dari tanah Australia. Mengais ruang yang sisa dari arang-arang tidak dikenang. Sajak ini ditulis di atas permukaan laut. Lautan manusia yang menjadi beban demografi demo lagi.

Di sajak ini ada kata maaf sekarang, sebab tidak punya mulut dan puas berteriak redam. Huruf-hurufnya bisa jadi lipatan atau patahan. Menggantung pada manusia yang memberi nama. Nama-nama kesepian yang meledak seperti sekumpulan manusia lupa KB.

Di tubuhku ada sajak atau di sajakku ada tubuh. Juga pelajaran geografi tingkat SMA yang bahas rendah dan tinggi. Puncak dan palung. Kemarin dan sekarang. El Nino dan La Nina. Pula curah hujan yang semoga memperlakukan matamu dengan baik.


Tentang Penulis

MH Rasid (Muhammad Husni)
—adalah seorang mahasiswa Sejarah di Universitas Indonesia angkatan masuk tahun 2018. Senang menulis sajak dan esai serta membaca, akan tetapi lebih senang bertukar ngeong dengan kucing tetangga.