Jalan Buntu Demokrasi FISIP: Menggugat Musma, Mempertanyakan Eksistensi BEM, hingga Gagasan Referendum

Redaksi Suara Mahasiswa · 15 Januari 2022
6 menit

Kemelut demokrasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI belum menemukan titik terang, terutama sejak pengunduran diri pasangan calon tunggal Zeni Tri Lestari dan Ridho Saputra pada pertengahan Desember 2021 lalu. Insiden mendadak yang ditengarai sebagai dampak skenario politik kotor tersebut bergulir menjadi pengulangan seluruh rangkaian Pemilihan Raya (Pemira) dari tahap pengambilan berkas, akan tetapi berakhir kegagalan karena Anggelo Ibrahim Yakub (Sosiologi 2019) tidak berhasil mendapatkan calon wakil yang mendampinginya.

Berangkat dari dua kali kegagalan pelaksanaan Pemira tersebut, Kongres Mahasiswa FISIP pun berkeputusan untuk menyelenggarakan Musyawarah Mahasiswa (Musma) secara daring melalui telekonferensi pada Jumat, 14 Januari 2022 malam, pukul 19.00 WIB. Menurut agenda awal, Musma tersebut sedianya akan memilih calon ketua dan wakil ketua BEM FISIP UI masa jabatan 2022-2023, berdasarkan usulan IKM FISIP melalui survei yang telah didistribusikan sebelumnya.

Dipimpin tiga Presidium dari Kongres Mahasiswa, yakni Aghfal Fadhilah, Madeline Evadne, dan Divio Adi Winanda, Musma dimulai dengan pembacaan agenda musyawarah, yang dilanjutkan dengan pemaparan hasil survei usulan calon ketua dan wakil ketua BEM FISIP UI masa jabatan 2022-2023. Survei tersebut memetakan 21 nama untuk calon ketua BEM, dengan usulan paling banyak diperoleh Anggelo Ibrahim Yakub sejumlah 16 usulan; dan 2 nama untuk calon wakil ketua BEM yang masing-masing mendapat 1 usulan.

Presidium selanjutnya mempersilakan ketua-ketua himpunan mahasiswa dari setiap departemen untuk menyebutkan nama yang akan menjadi penggantinya. Akan tetapi, dari 7 ketua himpunan mahasiswa yang dipanggil, hanya 2 ketua yang dapat menyebutkan nama calon pengganti, yakni Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang mengusulkan Rifqi Aldrian (Ilmu Komunikasi 2019), dan Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik yang mengusulkan Yudhistira Pranadarma (Ilmu Politik 2019).

Karena tidak adanya usulan lain yang dapat mengisi lima tampuk kepemimpinan ketua himpunan mahasiswa yang masih kosong, sidang pun menjadi stagnan dan Presidium pun memilih membuka forum bebas bagi peserta sidang untuk menginterupsi, baik untuk mengusulkan nama maupun menyampaikan masukan serta pandangan terhadap jalannya sidang.

Bom Mulai Berjatuhan

Tak dinyana, kesempatan interupsi yang diberikan Presidium kepada peserta sidang justru berbalik menyerang sidang bertubi-tubi. Interupsi tersebut bagaikan membuka kotak pandora yang menghamburkan banyak kritik tajam yang berjatuhan seperti bom dan akhirnya mengubah jalannya persidangan malam itu.

Interupsi pertama dilancarkan Revin Muhammad (Hubungan Internasional 2019) yang mempertanyakan dasar kebijakan kuorum 4% IKM FISIP sebagai syarat dilaksanakannya Musma. Menurut Revin, kuorum 4% sama sekali tidak masuk akal serta jelas-jelas tidak representatif apabila hendak dijadikan syarat sebuah musyawarah, sebab di forum manapun, asas demokrasi hanya dapat terpenuhi apabila “kuorum” mencapai ⅔ jumlah seluruh konstituen. Kenyataannya, sampai Revin mengemukakan kritik dan pandangannya, jumlah seluruh peserta Musma malam itu kurang dari 250 orang atau hanya menyentuh 10% dari seluruh IKM FISIP, pula dengan proporsi setiap angkatan yang timpang─seperti angkatan 2021, yang kami cermati hanya berjumlah 11 dari 250 peserta sidang.

“Apakah anak-anak FISIP sudah tidak peduli dengan yang namanya BEM atau BPM? Jika sekarang kita memilih Musma, artinya FISIP sudah tidak bisa memilih [dengan jalan] voting, dan apabila sudah demikian, yang harus dipertanyakan adalah relevansi BEM untuk kehidupan IKM FISIP,” cecar Revin.

Dengan sedikit sinis, Revin juga mempertanyakan apa yang dilakukan sejak awal tak ubahnya bagi-bagi jabatan─praktik di lingkaran eksekutif pemerintahan yang acap dikritik Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat). Tambahnya, apabila sidang hanya berkutat menentukan nama dan memberi jabatan bagi yang bersangkutan, tugas itu agaknya cukup dikerjakan Bayu Satrio Utomo, ketua BEM FISIP petahana, yang juga terpilih sebagai Ketua BEM UI masa jabatan 2022-2023.

Terhadap kritik Revin tersebut, Presidium berdalih bahwa Musma malam itu adalah ajang pertama di FISIP, yang tentunya tidak memiliki preseden dan masih membutuhkan evaluasi ke depannya. Aturan kuorum 4% dipilih (artinya sidang dapat dimulai dengan hanya 98 orang dari 2.400 IKM FISIP) karena di fakultas lain, kuorum pun hanya berjumlah 3-5 persen untuk keputusan sebesar amandemen AD-ART. Pula, angka ⅔ kuorum dinilai Presidium “tidak memungkinkan” dan untuk mengubah aturan itu “perlu mekanisme dan proses”.

Jawaban klise Presidium tersebut ternyata tidak memuaskan Revin. Ia tidak dapat menerima jika angka ⅔ disebut “tidak memungkinkan”. Sebaliknya, apakah kuorum 4% memungkinkan untuk disebut representatif? “Kalau Kongres mau gampang, tidak usah ada Pemira, tidak usah Musma, langsung tunjuk nama saja. BEM dan BPM asal jadi dan asal ada saja, tidak usah repot-repot seperti ini,” timpalnya.

Interupsi kedua dilancarkan oleh Muhammad Ramadhan (Ilmu Politik 2020) yang melanjutkan pandangan Revin, terutama mengenai esensi kehadiran BEM bagi IKM FISIP. “BEM bisa ada karena pengurus-pengurusnya. BEM harus ada, tetapi ia harus berubah agar tetap relevan. Menurut saya, sebenarnya kita tidak perlu hanya membahas nama-nama, tetapi juga langkah-langkah ke depannya. BEM ada karena masih ada yang mau mengurus dan masih ada yang mau dilayani,” ujar Gibang.

Penilaian ini ditambahkan oleh Muhammad Taqyuddin Abdurrosyid (Antropologi 2018) yang menekankan minimnya kaderisasi dalam kelembagaan BEM FISIP, yang mengakibatkan berkurangnya relevansi BEM bagi kehidupan mahasiswa. Pula, karena sifat pemilihan BEM di FISIP yang masih elitis dan hanya berputar di lingkaran pengurus BEM petahana sebagai pengganti. “Yang diamandemen adalah UU. Harus ditarik ke akarnya. Sekarang, [calon] ketua [BEM FISIP] itu pasti anak BEM. Persaingannya lesu. Tidak terbuka seperti fakultas lain. Dalam hal ini, harus diakui FISIP ketinggalan beberapa langkah.”

Interupsi keempat dilancarkan oleh Rama Raditya (Hubungan Internasional 2020) yang mengecam kealpaan Kongres terhadap permasalahan intinya. “Ini hanya formalitas bagi-bagi jabatan saja! Memang mahasiswa butuh? Yang maju tidak ada. Jadi percuma saja jika tidak ada ujungnya seperti sekarang, dan lebih baik Musma malam ini ditangguhkan dan dievaluasi terlebih dulu.”

Selain permasalahan suksesi BEM yang diperdebatkan cukup alot, pelaksanaan Musma yang dianggap tidak efektif, sangat mendadak, dan jauh dari kata representatif menjadi sasaran Weltri Bakara (Sosiologi 2019) yang menyayangkan sosialisasi pengadaan Musma yang tidak sempurna dan justru mengejutkan banyak pihak. “Apakah sosialisasinya tersampaikan? Di sini pun terkaget-kaget sampai ada Musma. Kalau kita mau Musma, bisa dipertimbangkan ulang mengapa pelaksanaannya hari ini. Banyak yang ketinggalan informasi, pula tidak mengikuti dari awal,” gugat Weltri.

Presidium Jalan Sendiri

Serangan beruntun yang dilancarkan peserta-peserta Musma malam itu yang benar-benar di luar dugaan mengakibatkan Presidium berkeputusan untuk menskorsing sidang selama 10 menit untuk kebutuhan diskusi. Putusan skorsing ini pun menuai beragam tanggapan, terutama dari peserta yang telah mengkritik jalannya Musma. Umpan-umpan yang disampaikan melalui kolom komentar tersebut menyatakan keheranannya karena Musma yang telah berubah menjadi “Rapat Dengar Pendapat” justru diskorsing untuk diskusi Presidium. “Apa ini yang dinamakan ‘diskusi dalam diskusi’?” seloroh seorang peserta melalui komentarnya.

Kembali memasuki gelanggang persidangan setelah 10 menit, Presidium secara sepihak memutuskan untuk membelokkan agenda persidangan menjadi inventarisasi masalah, dengan alasan sesudah mendengar masukan dan pendapat dari peserta sidang. Presidium juga menambahkan, seluruh keputusan ada pada peserta sidang dan terhitung sejak sesi dimulai, sidang memasuki tahap floor.

Pembelokkan jalannya sidang yang dilakukan oleh Presidium tak ayal menghadirkan lebih banyak kecaman, karena putusan itu bertentangan dengan hak dan kewajiban Presidium sebagaimana tercantum dalam Tap Kongres Mahasiswa tentang Musma. Tanpa ragu, Revin kembali mengangkat tangan dan menyerang, “Apakah Presidium memahami arti representasi dan hak-kewajibannya dalam sidang? Saya tidak paham mengapa tiba-tiba bikin forum dan buat agenda sidang baru. Presidium sebaiknya jangan asal-asalan, karena kalian sudah ikut membuat Tap juga. Atau jangan-jangan kalian tidak paham dengan yang kalian buat?”

Aghfal Fadhilah selaku Presidium 1 berusaha menjawab gugatan tentang pembelokkan agenda sidang ini, “Kami memoderatori sidang malam ini. Kami berusaha menginventarisasi masalah. Jika dianggap tidak representatif, baik jika dibawa diskusinya ke sini.” Keterangan Presidium yang sekenanya ini cepat dibidas oleh Taqyuddin Abdurrosyid, “Kalau kalian [Presidium] membutuhkan inventaris masalah, seharusnya floor setiap keputusan ke peserta sidang. Itulah moderator seharusnya.”

Menggagas Referendum

Persidangan yang menegang pun memasuki babak baru dengan pertanyaan dari Alif Vito Kurniawan (Ilmu Politik 2018) yang mempertanyakan urgensi pelaksanaan Musma. “Apakah ada mahasiswa non-Kongres yang mengusulkan Musma? Kalau tidak ada, berarti hanya Kongres yang melihat ini sebagai permasalahan. Kalau Musma ini datangnya dari Kongres, dan kalian yang mengajukan nama tiba-tiba, belum tentu anak-anak FISIP lainnya bersedia membicarakan itu.” Alvito juga menambahkan, gagasan Musma yang searah dan dihasilkan dari ruang hampa, tentu saja tidak akan beresonansi dengan mahasiswa FISIP yang tidak memahami dan kebingungan dengan agenda Musma yang tidak jelas, dengan segala asumsinya.

Pandangan Alvito tersebut dipertegas oleh Rizzah (Ilmu Politik 2018) yang mengajukan saran agar Kongres mengadakan survei terlebih dahulu, mengevaluasi, sekaligus mengetahui relevansi BEM dan BPM FISIP 2022 bagi IKM FISIP. Serap aspirasi yang lebih komprehensif ini dapat menjadi data pendukung Musma. “Bagaimana BEM di mata mahasiswa, masihkah diperlukan? Jika tidak seluruhnya, satu departemen dihilangkan. Atau satu departemen seperti Adkesma dikedepankan,” saran Rizzah. Gagasan orisinal ini pun mendapat berbagai tanggapan positif dari hadirin.

Secara lebih radikal, seorang peserta sidang lain juga menyarankan agar jajak pendapat yang hendak dilaksanakan itu tidak perlu repot-repot membagi-bagi pandangan mahasiswa menjadi beberapa bagian, tetapi cukup satu pertanyaan referendum kepada seluruh IKM FISIP: “Apakah Saudara membutuhkan BEM dan BPM FISIP atau tidak?” Dengan satu pertanyaan itu, ditentukan ambang batas yang memungkinkan keberlanjutan proses suksesi BEM FISIP. Jika kurang dari ambang batas, cukuplah Musma diberhentikan dan BEM FISIP 2022 dibekukan, maka habis perkara.

Umpan saran kontroversial tersebut dijawab oleh Duta (Sosiologi 2019) yang menilai bahwa pertanyaan “ya/tidak” tidak memadai untuk menggambarkan aspirasi mahasiswa. Ia menyarankan agar fungsi per departemen di BEM juga ditanyakan, dan opini mahasiswa FISIP terhadap fungsi tiap departemen itu juga dipertimbangkan.

Duta juga mengingatkan pentingnya riset yang terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. “Jika Musma dibikin seperti sekarang, tanpa data, berpotensi akan menjadi debat kusir lagi. Pendataan hendaknya dibuat sedemikian rupa, sehingga Musma kedua setidaknya sudah memiliki basis data yang kokoh dan sidang menjadi lebih terarah dan terukur.”

Saat silang pendapat mulai mereda, Presidium berusaha mengambil-alih situasi dengan memetakan permasalahan yang sejak tadi dibicarakan. Dengan tuntutan mengenai kuorum serta representasi mahasiswa yang lebih jelas, Presidium juga mengingatkan agar peserta sidang dapat menyukseskan pengisian jajak pendapat nanti, dengan mengimbau teman-teman seangkatannya untuk lebih aktif dalam mengisi survei, sehingga jalannya Musma kedua dapat berlangsung sesuai harapan peserta sidang.

Teks: Chris Wibisana
Foto: Chris Wibisana
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!