Janji Kosong Revisi UU ITE bagi Perlindungan Perempuan dan Kebebasan Berekspresi

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 November 2024
2 menit

suaramahasiswa.com – Revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tahun 2024 diharapkan membawa perubahan positif. Namun, kenyataannya, pasal karet dalam undang-undang ini masih sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat, terutama perempuan korban dan pembela HAM.

Hal ini disampaikan dalam Media Briefing Pelindungan Kelompok Perempuan Pasca Disahkannya Revisi Kedua UU ITE, yang diadakan di Akmani Hotel, Jakarta, Rabu (20/11) oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta.

Pembicara di dalam media briefing terdiri dari Christine Constanta (LBH APIK Jakarta), Nenden Arum (SAFEnet), dan Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia).

Christine Constanta, selaku pendamping hukum di LBH APIK Jakarta, mengungkapkan bahwa banyak perempuan korban kekerasan seksual justru dilaporkan balik ketika berusaha mencari keadilan. "Relasi kuasa sering membuat korban menjadi pihak yang dilaporkan, terutama dengan dalih pencemaran nama baik," jelas Christine.

Ia menambahkan, ketakutan ini menciptakan efek jera sosial yang menghambat perempuan dalam menyuarakan pengalaman mereka, terutama di media sosial. Dalam situasi seperti ini, banyak korban memilih untuk tetap diam daripada menghadapi risiko kriminalisasi.

Data SAFEnet mencatat, terdapat 128 kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE dari Januari hingga Oktober 2024. Menunjukkan bahwa tren kriminalisasi tidak mengalami perubahan signifikan meskipun telah dilakukan revisi. Nenden menilai perubahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak menyentuh akar masalah.

"Meski UU ITE telah direvisi, banyak pelanggaran tetap terjadi. Beberapa draf revisi bahkan disusun secara tertutup tanpa melibatkan publik," ungkap Nenden.

Dikatakan, revisi ini seharusnya memastikan bahwa korban kekerasan seksual tidak lagi dikriminalisasi. Namun, kenyataannya banyak korban yang justru menjadi sasaran. Nenden menekankan pentingnya transparansi dalam proses revisi undang-undang untuk melindungi korban secara efektif.

Kemudian, Nenden menjabarkan pasal-pasal dalam UU ITE yang kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi, hingga mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. Salah satunya Pasal 27A UU ITE terkait pencemaran nama baik.

“Jadi, konon katanya pasal itu tetap ada untuk mengisi gap (kekosongan) aturan, kata orang-orang DPR waktu itu, dan katanya perumusannya sudah lebih baik, tapi nyatanya tetap menjadi pasal paling banyak digunakan untuk mengkriminalisasi,” ungkap Nenden.

Pasal-Pasal UU ITE yang sering digunakan Pelapor, berdasarkan kajian SAFEnet.

Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia turut menyuarakan keprihatinannya. Ia mengkritik pemerintah yang sering berbicara lantang tentang kebebasan berekspresi di forum internasional, tetapi gagal menerapkannya di dalam negeri.

Nurina juga mengkritik pembatasan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia, yang kerap kali tidak dilaksanakan secara proporsional.

"Pembatasan kebebasan berpendapat harus legal, proporsional, dan jelas tujuannya. Namun, di Indonesia, banyak kasus langsung dilaporkan ke polisi tanpa dasar yang kuat," kata Nurina. Ia menambahkan, hal ini menciptakan iklim ketakutan dan membungkam suara-suara kritis yang seharusnya dilindungi.

Media briefing ini juga menjadi ajang refleksi tentang langkah ke depan. Para pembicara sepakat bahwa tanpa keterlibatan masyarakat sipil, revisi UU ITE hanya akan menjadi formalitas belaka. Mereka mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar melindungi hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi, bukan sebaliknya.

UU ITE seharusnya menjadi pelindung, tetapi kenyataannya sering menjadi alat represi. Tanpa tindakan nyata, undang-undang ini hanya akan memperpanjang penderitaan korban dan mengikis ruang kebebasan yang sudah sempit. Masyarakat dan media diharapkan terus mengawal implementasi UU ITE, memastikan perubahan yang lebih dari sekadar kata-kata.

Teks: Muhammad Aidan

Foto: M. Rifaldy Zelan

Editor: M. Rifaldy Zelan

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas