Jaringan Masyarakat Sipil Desak DPR RI Segera Sahkan RUU PPRT

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Juli 2024
4 menit

Dalam upaya memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga (PRT), Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Kebijakan Adil Gender menggelar konferensi pers bertajuk "Puan Menyandera Sarinah, Sahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)”. Konferensi daring melalui Zoom pada Senin (22/07) ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai organisasi bantuan hukum dan perwakilan PRT daerah.

Sejalan dengan tajuknya, konferensi pers ini secara khusus membahas Puan Maharani dan bukunya yang berjudul Sarinah. Hal ini menjadi penting karena keberpihakan kepada rakyat kecil oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tersebut dinilai tidak sesuai dengan ajaran sosok pengasuh Presiden Soekarno yang menjadi tokoh utama dalam bukunya itu. Berbanding terbalik dengan Sarinah yang mencintai kemanusiaan dan rakyat kecil, Puan justru mengabaikan hak-hak PRT dengan terus-menerus menunda pengesahan RUU PPRT.

Sebagai informasi, RUU PPRT telah beberapa kali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun 2004. Akan tetapi, DPR RI tidak kunjung mengesahkan RUU tersebut, bahkan setelah DPR RI menetapkannya sebagai RUU Inisiatif, menerima surat presiden (Surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM), dan membahasnya dalam rapat paripurna. Hingga Juli 2024, proses pengesahan RUU yang sudah berumur dua dekade tersebut masih tertahan di meja Puan sehingga payung hukum untuk melindungi PRT itu pun belum dapat terealisasi.

Lebih lanjut, Fanda selaku perwakilan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjelaskan ihwal pemilihan Sarinah sebagai simbol perjuangan PRT. Menurutnya, Sarinah adalah ikon yang sesuai untuk mewakili perjuangan perempuan dalam melawan penindasan.

“Sarinah menjadi sebuah simbol dari kekuatan bangsa Indonesia yang Bung Karno jadikan sebagai representasi orang kecil yang berjuang. Sarinah juga merupakan orang-orang yang (dalam bahasa hari ini) mungkin bisa disederhanakan sebagai perempuan-perempuan yang mengalami ketertindasan oleh sistem patriarki, kapitalisme, maupun konservatisme. Itu yang oleh Bung Karno disebut sebagai Marhaenisme,” jelas Fanda.

Fanda juga menyebutkan bahwa dalam marhaenisme terdapat kaum marhaen, yaitu para kaum yang rentan dan tertindas. Dengan memperjuangkan hak-hak orang-orang ‘kecil’ itu, termasuk para PRT, pemerintah dapat mengubah Indonesia menjadi negara dengan masyarakat yang adil dan makmur. Sayangnya, Puan justru menghambat pengesahan RUU PPRT dan membiarkan para PRT terombang-ambing dalam ketidaksejahteraan. Sebagai seorang politisi perempuan dari  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kerap mengklaim diri sebagai ‘Partai Wong Cilik’, Puan sudah sepatutnya peduli terhadap isu ini. Akan tetapi, statusnya sebagai petinggi negara justru membuatnya semakin abai terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah.

Urgensi Pengesahan RUU PPRT

Selanjutnya, sejumlah perwakilan koalisi bergantian membahas permasalahan-permasalahan para PRT yang menjadi urgensi untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Uli Pangaribuan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menyorot maraknya penyelesaian mediasi dan nonlitigasi dalam menangani permasalahan hukum yang melibatkan PRT sebagai korban. Iming-iming rupiah acapkali menjadi “jalan pintas”. Belum adanya pengakuan PRT sebagai pekerja juga menyebabkan keterancaman bagi pelindungan hak mereka. Ketika menjadi korban, misalnya dalam tindak kekerasan, mereka jarang mendapatkan hak untuk pemulihan.

Pernyataan Uli sejalan dengan pemaparan Raden Rara Ayu Hermawati dari LBH APIK Semarang, “Kasus kekerasan terhadap PRT tahun 2016—2023 mencapai lebih dari 150 kasus dalam proses hukum atau litigasi yang tidak mendapatkan jaminan hukum secara maksimal karena pelindungan hukum secara tertulis untuk PRT pun saat ini belum diatur.”

Pelindungan hak atas kerja dan penghidupan laik bagi warga negara Indonesia merupakan salah satu peran negara dalam mewujudkan hak para pekerja untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil di lingkungan kerja, termasuk para PRT. Dengan pengesahan RUU PPRT, maka kepastian dan pelindungan hukum bagi seluruh PRT dapat terwujud nyata.

Pengesahan RUU PPRT juga menjadi suatu urgensi karena PRT seringkali dianggap sebagai budak yang laik untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Jumiyem dari Serikat PRT Tunas Mulia mengungkap ihwal pelanggaran-pelanggaran hak terhadap para PRT perempuan berupa kekerasan fisik, mulai dari dipukul, disekap, dianiaya, hingga disiram air panas.

Rendahnya upah serta ketiadaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi PRT juga menjadi sorotan Jumiyem. Menurutnya, waktu kerja PRT yang berkisar antara 14—16 jam sangatlah tidak sepadan dengan upah kerja yang hanya berjumlah antara Rp800.000—Rp1.000.000 dan mengalami pemotongan jika libur karena tidak ada cuti. Tidak adanya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menambah beban PRT dan keluarganya karena mereka menjadi kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan dan harus menanggung segalanya jika terjadi kecelakaan kerja.

Hal ini disetujui oleh Lusi dari Gerak Bersama Perempuan Maluku (GBPM) yang mengemukakan bahwa PRT seringkali mengerjakan pekerjaan yang di luar kesepakatan. Di Maluku, banyak perempuan-perempuan “Sarinah” yang tidak bisa mengakses pasar kerja formal dan informal sehingga harus bermigrasi dari daerah asal dan menjadi PRT. Malangnya, mereka harus bekerja di daerah yang masyarakatnya masih feodal. Akhirnya, banyak PRT Maluku yang kerap mendapatkan sikap semena-mena dari para majikannya, seperti perendahan harkat dan martabat PRT serta pengeksploitasian tenaga tanpa gaji maupun batasan kerja yang jelas.

Marni Sulastri, pimpinan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), turut menambahkan bahwa pekerja migran tidak mendapat hak bicara dan sering mendapat hukuman atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Hal ini menjadi keprihatinan bersama mengingat para migran merupakan penyumbang devisa terbesar kedua, tetapi masih menjadi korban ketidakadilan.

Menanggapi keurgensian tersebut, Yuli Riswati dari Konfederasi Serikat Nasional angkat suara. Ia meminta pemerintah Indonesia agar berkaca pada Filipina. Tidak hanya meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 189, Filipina juga memiliki Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga yang efektif melindungi para PRT-nya, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Dengan UU tersebut, para PRT Filipina terlindungi dari pelecehan dan jeratan utang serta mendapatkan standar minimum upah, waktu istirahat, dan tunjangan.

Sebagai penutup, JMS mengajak semua jaringan elemen masyarakat sipil untuk terlibat dalam aksi mendorong pengesahan RUU PPRT pada 15 Agustus 2024 mendatang, khususnya para mahasiswa. Sebagai agent of change, JMS berharap gerakan mahasiswa mampu mengubah kebijakan yang dapat mendukung pelindungan hak dan kepentingan PRT.

Hidup, buruh! Hidup, Sarinah! Hidup, perempuan! Hidup, rakyat Indonesia!


Teks: Amanda Thesa, Miryam Hasudungan, dan Naswa Dwidayanti

Editor: Jesica Dominiq M.

Foto: Miryam Hasudungan

Desain: Sabila Hasya Millatina


Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!