Jejak Api 25 Tahun Reformasi, ILUNI FISIP UI Serukan Lawan Budaya Kekerasan

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Mei 2023
4 menit

Reformasi 1998 merupakan salah satu momentum penting yang membawa perubahan signifikan dalam tatanan masyarakat Indonesia. Serangkaian demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh krisis ekonomi, korupsi, dan ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru Presiden Soeharto memicu perjuangan masyarakat sipil Indonesia menuntut pemenuhan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpendapat, dan hak asasi manusia (HAM).

Gerakan mahasiswa terlibat aktif dalam mendorong diimplementasikannya agenda reformasi di Indonesia, tidak terkecuali mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Tahun ini, reformasi telah berusia seperempat abad. Meski banyak perubahan dan kemajuan, namun tidak sedikit pula yang masih menjadi pekerjaaan rumah, salah satunya adalah budaya kekerasan yang diturunkan rezim militeristik Soeharto.

Memperingati 25 tahun reformasi, Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI mengadakan “Seminar Melawan Budaya Kekerasan di Sekitar Kita” yang berlokasi di Auditorium Mochtar Riady FISIP UI pada hari Jumat (19/05).

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengatakan bahwa dua puluh lima tahun reformasi merupakan momen penting untuk direfleksikan bersama, hal ini menjadi tujuan para alumni FISIP UI yang sempat mengalami langsung masa-masa genting tersebut untuk terus melibatkan diri dalam pemajuan agenda reformasi dan HAM.

“Sebagai bagian dari upaya kami, para alumni untuk terus terlibat dalam pergerakan bangsa untuk menjadi lebih baik, karena banyak hal yang perlu untuk terus dipelajari dari peristiwa 25 tahun yang lalu,” tutur Prof. Aji.

Dalam sambutannya, Prof. Aji memantik diskusi dengan menjelaskan tentang vigilantisme, yaitu tindakan individu atau kelompok yang melakukan penegakan hukum tanpa kewenangan resmi dan/atau tanpa melalui proses hukum yang sah.

“Implikasi dari reformasi tidak hanya mengubah tatanan politik, namun juga tatanan sosial budaya di sekitar kita. Budaya kekerasan yang ada di sekitar kita, misalnya melalui premanisme … Hal ini terjadi karena ada aktor, ada institusi yang kurang piawai mengawasi vigilatisme, yang akarnya selalu dari konteks politik,” ujar Prof. Aji.

Saat orde baru, vigilantisme justru dilakukan dari dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Di bawah pemerintahan Soeharto, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk penahanan tanpa proses pengadilan yang jelas, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap para aktivis politik dan individu yang dianggap sebagai ancaman terhadap rezim. Pemerintahan Soeharto juga diketahui memiliki kelompok paramiliter yang dikenal sebagai "preman" atau "milisi" yang dilaporkan terlibat dalam intimidasi, penindasan politik, dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok oposisi atau individu yang dianggap tidak setia kepada rezim. Kelompok-kelompok ini sering kali beroperasi di luar sistem hukum yang sah dan bertindak sebagai penegak hukum alternatif yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab secara akuntabilitas.

“Contohnya, ada istilah subversif yang ditempelkan kepada orang-orang yang mengkritisi negara. Orang-orang yang menerabas garis-garis subversif –yang dibuat Pemerintah— akan berhadapan dengan –hukuman– negara, sehingga kekerasan seolah-olah sah,” lanjutnya.

Dalam diskusi ini, hadir pula Dr. Atnike Sigiro, Ketua Komnas HAM RI yang memaparkan kekerasan terstruktur dan sistematis dalam peristiwa Mei 98. Menurutnya, dua puluh lima tahun berjalan, amanah reformasi belum kunjung tuntas, bahkan semangatnya cenderung meredup.

“Kenapa saya bilang cenderung redup? Sejak komnas HAM diperbolehkan melakukan pengadilan HAM, ada 17 kasus yang terkategori pelanggaran HAM berat. Hingga saat ini, baru empat kasus yang diadili, pun dari 4 kasus itu tidak ada satu pun yang dihukum –pelakunya,” tutur Atnike.

Usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), Presiden Joko Widodo telah mengumumkan penyesalan terjadinya 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu pada bulan Januari lalu. Dua belas kasus tersebut antara lain: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari (Lampung) 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Tidak hanya menyoroti komitmen pemerintah yang maju mundur dalam hal menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, Atnike juga menyatakan ironinya terkait masyarakat yang kurang peduli terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

“Sayangnya, masyarakat kita tidak pernah perhatian dengan kasus-kasus ini, apalagi memberikan dukungan, yang aktif memberikan dukungan hanya keluarga korban dan NGO-NGO saja… Kita harusnya bersuara, bukan menjadi prasasti,” lanjut Atnike.

Di sisi lain, Dr. Dave Lumenta (Dosen FISIP UI) menyoroti adanya kontinuitas mengingat Aksi Reformasi Dikorupsi yang terjadi 2019 lalu masih membawa nilai-nilai agenda reformasi.

“Gerakan mahasiswa sekarang sebenarnya dalam beberapa kondisi dapat dikatakan sudah lebih maju, dari tuntutan Reformasi Dikorupsi kemarin, terlihat bahwa mereka memiliki pemahaman struktural dan solidaritas sebagai calon kelas pekerja,” tutur Dave.

Membahas tragedi 1998 dari sudut pandang perempuan, Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan RI menegaskan pendampingan perempuan korban menjadi salah satu upaya penting untuk mencegah terulangnya kekerasan di sekitar kita.

“Kita harus mengupayakan untuk terus mengingat, membuat memorialisasi, seperti di TPU Pondok Rangon… serta menginstalasinya ke dalam kerangka pendidikan sejak dini,” ujar Andy.

Terakhir, refleksi tentang reformasi 1998 dan budaya kekerasan juga dibahas dari perspektif generasi saat ini yang diwakilkan oleh Zayyid Sulthan, Ketua BEM FISIP UI 2023 dan Rafi Dartaman, Ketua DPM FISIP UI 2023. Sebagai mahasiswa yang masih terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa, keduanya menyoroti budaya kekerasan dalam tubuh aparat Indonesia, yang selama beberapa tahun terakhir ini terindikasi makin meningkat.

“Pola-polanya mirip dengan tahun 98, tahun 2019 lalu, saya masih melihat kawan saya sendiri ditangkap dan disundut matanya pake rokok, traumanya masih saya rasakan sampai sekarang,” tutur Rafi.

Sementara itu, Sulthan menceritakan kondisi dan tantangan aktivisme mahasiswa masa kini berkaitan dengan performative activism atau aktivisme hanya untuk meningkatkan citra atau untuk kepentingan individu.

“Kita memiliki kampanye menolak lupa untuk terus mengingatkan pemerintah terkait pelanggaran HAM berat… Namun, kita masih memiliki tantangan untuk menurunkan glorifikasi gerakan mahasiswa, karena banyak aktor-aktor mahasiswa 98 yang sempat ter-spotlight, kemudian masuk ke dalam eksekutif atau legislatif. Oleh karena itu, saat ini aktivisme terkadang dilihat sebagai jalur emas untuk karir politik, yang akhirnya tidak menimbulkan konsistensi juga mengurangi kepercayaan masyarakat,” tutup Sulthan.

Dalam merespons dan merefleksikan budaya kekerasan dan agenda reformasi, penting mengedepankan pendidikan, kesadaran, dan pemahaman untuk mendorong perubahan yang lebih baik dalam melawan budaya kekerasan dan mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Dalam hal ini, Iluni FISIP UI melakukan penggalangan tali kasih untuk keluarga korban Tragedi Mei 98. Bekerja sama dengan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), hasil penggalangan dana akan disalurkan kepada korban. Bagi Sumates yang berminat untuk berdonasi, dapat melakukan transfer ke rekening Panitia Reuni Akbar 55 Tahun FISIP UI dengan no.rek BCA 5475-722-113 a/n PT Anter Prestasi Indonesia* atau dapat langsung mendonasikan unag tunai ke dalam kotak tali kasih yang disediakan di tgl 17 - 20 Mei 2023 di kampus FISIP UI di area pameran foto “UI PENGGERAK REFORMASI!".

** Bukti transfer mohon dikirim via WA kepada Sdr. Apri di 0811884958.

Teks: Dian Amalia A.
Foto: Dian Amalia A.
Editor: Kamila Meilina

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, dan Berkualitas!