Jejak Seni Liga Tari: Representasikan Negeri di Tanah Makau

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 April 2024
8 menit

Hangat suasana merambat di antara dingin udara Makau pada pekan kedua Februari. Di tengah semarak pentas ragam budaya, alunan musik khas Betawi mengisi pendengaran. Sekelompok penari tampak lincah bergerak senada. Selendang merah dan magenta mengayun anggun. Warnanya kontras dengan kebaya kuning yang dikenakan. Sorot gembira dari wajah-wajah asing di sekelilingnya menerbitkan rasa bangga dalam hati mereka sebagai pegiat seni. Menjadi representasi negeri, pementasan sekelompok mahasiswa dari Universitas Indonesia ini diiringi dengan riuh rendah apresiasi.

Di balik pertunjukan yang apik, ada sederet kerja seni yang berkesan dari anggota Liga Tari Mahasiswa UI Krida Budaya. Sepak terjangnya di kancah internasional berbuah kepercayaan untuk pentas, baik di panggung dalam maupun luar negeri. Kepercayaan ini pula yang akhirnya mengantarkan undangan pada mereka untuk tampil dalam perayaan Chinese New Year di Negeri Tirai Bambu.

Mengupas Lika-Liku Penari di Balik Panggung Makau

Bagai angin segar, pesan dari International Show Parade menyambangi kotak masuk pada surel Liga Tari. Dalam runut pesannya, event organizer tersebut mengundang mereka untuk tampil pada pergelaran Project Show Macau International Show Parade 2024. Kegiatan yang menampilkan budaya dari berbagai negara ini berlangsung pada tanggal 7 hingga 13 Februari 2024 sebagai peringatan Tahun Baru Cina.

Elsa yang saat itu tengah aktif mengelola surel dan mencari festival internasional pun menyambut baik undangan tersebut. Sebagai Project Officer pada Misi Budaya 2023, ia kembali dipercaya untuk memimpin tim Krida Budaya dalam proyek pementasan ini.  

“Mereka sebenarnya sudah mulai pitching ke kita dari bulan November, kalau enggak salah, tapi kita fiks diundang itu di bulan Desember kemarin. Kita fiks diundang [untuk tampil] di Makau,” ungkap Elsa.  

Elsa sempat bertanya dari mana pengelola kegiatan tersebut mengenal Krida Budaya. Terlebih, mereka secara khusus mengundang UKM ini sebagai satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Rasa penasaran itu pun berbuah jawaban manis. Mereka menjelaskan bahwa ketertarikan untuk mengundang tim ini timbul ketika melihat pementasan Liga Tari di Festival Italia pada 2023 lalu.

“Krida Budaya meninggalkan kesan yang baik di kancah internasional, jadinya ada yang mau mengundang kita lagi untuk mengisi show di Makau kemarin, dan alhamdulillah mereka senang,” tuturnya merasa bangga.  

Sementara keberangkatan mereka akan berlangsung pada awal Februari, persetujuan untuk menjadi pengisi acara tersebut baru diperoleh di bulan Desember. Kondisi ini otomatis membuat tim Krida Budaya hanya memiliki waktu persiapan selama satu bulan. Alhasil, penentuan kontingen kali ini tidak melewati tahap audisi seperti biasanya. Karena tidak memungkinkan audisi diadakan pada libur tahun baru, 18 orang kontingen penari ditentukan berdasarkan screening atau seleksi data kehadiran di latihan reguler.

Kepiawaian mereka dalam menari pun dimatangkan oleh panduan pelatih dalam kurun waktu empat minggu. Waktu yang terbilang singkat jika dibandingkan dengan persiapan sebelum pementasan besar di luar negeri yang kerap memakan waktu enam bulan hingga satu tahun. Kabar baiknya, menurut Elsa durasi persiapan yang singkat tersebut dibantu oleh program yang tidak terlalu berat. Dalam pertunjukan di Makau ini, Krida Budaya hanya mengisi dua panggung pementasan: show performance dan parade.

“Kita enggak latihan tiap hari ya, tiga sampai empat kali seminggu [saja] dalam sebulan kemarin,” jawabnya perihal alokasi latihan dalam jangka waktu sebulan.

Menjelang hari-H pementasan, Elsa mengungkapkan bahwa jadwal latihan pada seminggu terakhir mulai dipadatkan menjadi setiap hari. Mereka pun meluangkan waktu untuk sesi running costume. Ruang Budaya 3 dan 4 di Pusgiwa ramai oleh kontingen dengan kostum ragam warna, aksesoris, serta riasan wajah selaras. Running costume ini sekaligus menjadi sesi gladi resik ketika mereka masih di Indonesia.

“Nah, di sananya pun enggak jarang kita tetap akan ada latihan [dengan] nyari tempat, sih, untuk refresh sebelum kita pentas untuk tampil,” tambahnya.

Karena mereka diundang sebagai penampil di Makau, pembiayaan dalam program ini pun disediakan sepenuhnya oleh pengelola kegiatan. Pembiayaan tersebut meliputi tiket pesawat, hotel, dan makan untuk tim Krida Budaya.

“Sampai sekecil internet itu kita juga dibiayai. Pokoknya di sana memang kita as artist aja yang memang di-hire untuk tampil ngerayain Chinese New Year-nya mereka. Jadi semuanya on provide, sih,” tutur Elsa.

Hari berganti hari, tibalah mereka pada hari pementasan. Liga Tari mempersembahkan dua tarian tradisional Indonesia, yaitu tari janger dan tari selendang dendang. Kedua tarian yang mereka pilih pun sarat akan makna dan nilai tradisi. Merujuk pada Putra (2021), tari janger khas Bali memiliki pesan keagamaan sebagaimana tarian ini merupakan sesuhunan Pura Kesuma Sari, serta pesan kebersamaan dan kebahagiaan tentang kehidupan sekelompok remaja.

Berbeda dari tari janger, tari selendang dendang merupakan sebuah tarian kreasi. Dalam sesi wawancara, Elsa menerangkan bahwa tari selendang dendang diciptakan oleh alumni Liga Tari yang akrab dipanggil Mas Tobi. Tarian yang mengemas akulturasi budaya Sunda, Betawi, dan Cina ini merepresentasikan kisah Putri Hong Tien yang pandai menari, cantik, juga anggun.

“Kalau misalkan kalian sempat ngeliat fotonya pun, kostum yang kita pakai juga kelihatan banget itu ada unsur Cina-nya,” tambah Elsa. Tema ini pun sejalan dengan konsep kegiatan yang dihelat untuk merayakan Tahun Baru Cina.

Kekhasan budaya dari pementasan Liga Tari memang tampak pada kostum yang mereka kenakan. Pada tari selendang dendang, hiasan kepala penari perempuan mengandung unsur budaya Cina, sementara ikat kepala pada penari laki-laki mencirikan budaya Sunda. Kebaya kuning terang yang dipasangkan dengan selendang magenta turut mendukung suasana gembira dari tarian yang dipentaskan.

Pada sesi parade, mereka mempersembahkan tari janger. Properti kipas serta aksesoris yang meriah melengkapi kain khas Bali yang dikenakan para penari. Kostum mereka tampak menyala di malam hari dengan dominasi warna merah, coklat, dan kuning.  

Janwar, Ketua UKM Liga Tari UI 2024, turut membagikan keseruan mereka selama sesi parade. “Kita keliling di Kota Makau, dan di beberapa pos kita tampilkan tarian kita. Terus pos terakhir paling seru karena kita tampil bareng-bareng sama negara lain, foto-foto bersama, kenalan, dapat teman baru,” jelasnya.

Dalam pementasan, lagu pengiring tidak kalah penting untuk membangun suasana kebudayaan. Sayangnya, lagu yang mengiringi pertunjukan di Makau hanya menggunakan rekaman playback karena dirasa tidak memungkinkan untuk tampil dengan live music. Dalam pertunjukan yang dihelat di luar negeri lainnya seperti Misi Budaya, Liga Tari biasanya akan membawa live music agar setiap gerakan tarian yang mereka tampilkan kepada penonton terasa jauh lebih bernyawa.

Cuman kemarin karena persiapannya yang pendek, jadi kita putusin untuk pakai playback (rekaman -red) aja, dan untungnya panitianya juga fine-fine aja dengan itu. Jadi, ya udah, kita enggak bawa musik (secara langsung), cuman biasanya kita bawa live music,” jelas Elsa.

Kerja sama di antara Krida Budaya dan International Show Parade yang terbilang baru mungkin sekali menimbulkan pertanyaan meragukan dalam benak mereka. Namun, pada akhirnya penampilan tari mereka di Makau menuai apresiasi dari pihak pengelola kegiatan. “Alhamdulillah [respons] mereka tuh senang, terus kayak mengapresiasi kita,” ujar Elsa. “Bahkan, mereka menawarkan atau merekomendasikan kita untuk tahun depan pergi berangkat [untuk memeriahkan kegiatan mereka] lagi.”

Minimnya Penari Laki-Laki di Liga Tari

Dalam prosesnya, perjalanan Liga Tari tentu tidak mulus sepenuhnya. Elsa tak memungkiri bahwa masih ada hambatan yang harus mereka hadapi. Salah satunya adalah minimnya jumlah penari laki-laki yang bergabung dalam UKM tersebut.

“Karena temen-temen aku yang masih stay di Liga Tari sampai sekarang, cowok-cowoknya pun mereka bilang sering kayak, [menerima ucapan] ‘masih nari aja’, terus kayak ‘ngapain nari, itu kan, UKM cewek?’ gitu. Ya, masih ada kata-kata kayak gitu lah,” keluh Elsa.

“[Mencari penari] laki-laki itu sangat sulit karena ini sih, tekanan dari lingkungannya, menurut aku, yang memang wawasannya belum kayak legowo gitu loh, [bahwa] cowok itu juga bisa nari, cowok juga bisa ngelestariin budaya,” tambahnya.

Bahkan, ia menyebut perbandingan antara jumlah penari perempuan dan laki-laki di UKM ini adalah 5:1. Ia memperkirakan hal ini dipengaruhi oleh stigma masyarakat yang masih memandang aneh ketika ada laki-laki yang menari. Menurutnya, masalah ini cukup menjadi perhatian di Liga Tari karena dapat menghambat proses pemilihan kontingen yang seringnya membutuhkan proporsi penari laki-laki dan perempuan cukup seimbang.

Janwar, Ketua UKM Liga Tari 2024 yang juga merupakan salah satu penari laki-laki, mengakui tantangan tersebut. Ia juga menambahkan bahwa keterbatasan jumlah penari laki-laki di Liga Tari tak ayal membuatnya cukup lelah karena harus sering tampil pada setiap pementasan tari. Dari 18 kontingen yang berpartisipasi pada pertunjukan di Makau kemarin misalnya, hanya 3 di antaranya yang merupakan penari laki-laki. Ia berharap ke depannya semakin banyak orang yang berminat untuk turut melestarikan tarian Indonesia, khususnya dari kaum laki-laki.

“Dan sebenarnya penari cowok sama aja dengan penari perempuan. Bahkan, di budaya Indonesia, penari cowok itu sangat dibutuhkan. Jadi, memang perlu ada peningkatan [jumlah penari laki-laki] setiap tahunnya agar budaya tari Indonesia bisa lebih berkembang lagi,” ujar Janwar dalam wawancara bersama Suma UI.

Jejak Pelestarian Budaya pada Program Krida Budaya

Tak kurang dari empat dasawarsa usianya, Liga Tari Mahasiswa UI sebagai kelompok tari secara konsisten mengadakan program yang tidak hanya ditargetkan untuk audiens nasional, tetapi juga internasional. Selain melalui proyek-proyek besarnya, visi pelestarian budaya Indonesia tampak pada program lain seperti showcase, mini konser, ataupun konser. Dalam mempresentasikan tradisi lokal menuju kancah internasional, mereka menampilkan kesenian Indonesia melalui berbagai panggung pagelaran di Asia, Amerika dan Eropa.

Setiap dua tahun, Pekan Seni (Peksi) dan Misi Budaya hadir bergantian sebagai program unggulan mereka. Pada tahun berangka genap, tim Krida budaya biasanya mempersiapkan Peksi. “Kita ada program dua tahun sekali juga. Itu kita ikut lomba [berskala] nasional, Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional -red) di tangkai tari,” tutur Elsa.

Di tahun genap ini, mereka kembali mematangkan persiapannya untuk program pekan seni mahasiswa. Janwar mengungkapkan bahwa Liga Tari memang kerap memenangkan penghargaan dalam program tersebut. Hal ini pun diamini oleh Elsa. Menurutnya, itulah yang menjadi alasan mengapa pekan seni mahasiswa menjadi proyek unggulan mereka yang dipersiapkan dari setahun sebelumnya.

Sementara itu, 2023 lalu Liga Tari mengisi tahun ganjil dengan program Misi Budaya. Selama dua bulan, mereka berangkat untuk menampilkan ragam tarian ke tiga negara: Spanyol, Italia, dan Prancis. Dalam prosesnya, Misi Budaya dan Peksiminas kerap membuat tarian baru sekaligus menggaet pemusik yang sudah profesional.  

“Melalui Misi Budaya, kita bisa memperkenalkan budaya, tarian, dan musik Indonesia ke mancanegara. [Kita juga] bisa [menyuarakan bahwa], ini loh Indonesia, keberagaman budayanya sangat banyak,” jelas Janwar.

Selaku Project Officer Misi Budaya 2023, Elsa mengaku sangat bangga bisa turut memperkenalkan budaya Indonesia. Kebanggaan itu bertambah ketika orang-orang dari luar negeri turut menyukai dan mengapresiasi kebudayaan Indonesia. Pada tahun keempatnya bergabung dengan Krida Budaya, Elsa rasa ia dapat mewujudkan impiannya untuk mempelajari dan melestarikan budaya Indonesia.

Menurutnya, kesempatan untuk untuk mengikuti acara seperti ini sangat mahal harganya. Bukan hanya kebanggaan karena mewakili Indonesia yang ia dapatkan, tetapi juga pengalaman untuk mengenal kebudayaan negara lain dan melihat secara langsung keberagaman yang ada. Baginya, kesempatan ini pun perlu dimanfaatkan dengan baik oleh kontingen Liga Tari untuk memperluas koneksi mereka.  

“Jadi, kalau dibilang ‘apa sih, kesan yang paling diingat di Liga Tari itu?’, [jawabannya] bisa ngelestariin budaya ke luar. Karena kan, kalau orang ke luar negeri gampang ya, [untuk] jadi turis. Cuma, untuk ngelestariin budaya Indonesia ke luar negeri kan, enggak semua orang bisa,” ungkap Elsa.

“Itu sih, achievment yang paling aku banggain di Krida Budaya, [yaitu bisa] melestarikan tradisi di Indonesia dan di luar negeri.”

Referensi

Putra, M. F. D. (2021). Pembelajaran Sekar Rare dalam Tarian Janger Sakral Seka Teruna Teruni Banjar Pegok Desa Adat Sesetan. Metta: Jurnal Ilmu Multidisiplin, 1(4), 195-201.

Teks: Kanza Armifa Anggia, M. Harina Iswarani

Foto: Liga Tari Mahasiswa UI Krida Budaya

Editor: Siti Aura

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!