Jurnal Perempuan: Pendidikan yang Memberdayakan Perempuan Menjadi Kunci Perubahan

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Juli 2023
5 menit

Diskusi Publik: Pendidikan Tinggi Perempuan dan Penguatan Aktivisme Feminis sekaligus Pengumuman Penerima Toeti Heraty Scholarship sukses diselenggarakan pada Kamis (13/07/2023). Acara yang merupakan bentuk kolaborasi antara Yayasan Toeti Heraty Scholarship dan Yayasan Jurnal Perempuan itu mengundang Sulistyowati Irianto (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan Nani I. R. Nurrachman (seorang ahli psikologi) sebagai pembicara, serta Migni Nurhadi (Ketua Yayasan Toeti Heraty Roosseno), Abby Gina (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), juga Darwil Cyril Noerhadi (Dewan Pengawas Yayasan Jurnal Perempuan) yang menyampaikan sambutan pada awal acara.

Toeti Heraty Scholarship sendiri merupakan beasiswa yang dipersiapkan bagi para perempuan terpilih yang sedang menempuh pendidikan tinggi baik tingkat S1, S2, maupun S3 di bidang studi Kajian Gender dan Ilmu Filsafat. Sementara itu, Yayasan Jurnal Perempuan merupakan Lembaga nirlaba yang bergerak di bidang penelitian, pendidikan, serta penerbitan Jurnal Perempuan.

Terdapat sepuluh orang mahasiswi yang terpilih menerima Toeti Heraty Scholarship tahun 2023 setelah melalui proses panjang seleksi. Adapun sepuluh penerima Toeti Heraty Scholarship 2023 yaitu Dian Aditya Ning Lestari, Asri Pratiwi Wulandari, Lisa Aulia, Fadilla Dwianti Putri, dan Maria Noviyanti Meti untuk program Magister (S2), serta Merlinda Santina Ximenes, Dian Agustini, Hany Fatihah Ahmad, Kezia Krisan Putri Harsono, dan Dwi Rizky Atiqah Nurcahya untuk program Sarjana (S1).

Kabar baiknya, tahun ini Toeti Heraty Scholarship memberikan kuota afirmasi kepada mahasiswi yang berasal dari wilayah Timur. Dua mahasiswi Timur peraih beasiswa Toeti Heraty Scholarship tersebut adalah Merlinda Santina Ximenes dan Maria Noviyanti Meti.

Abby Gina, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, menyampaikan pendapat tentang pentingnya pendidikan perempuan dalam sambutannya.

“Mendukung kajian feminisme dan gender di bidang pendidikan adalah salah satu tuntutan keadilan gender yang harus diperjuangkan,” ungkap  Abby dalam sambutannya siang itu.  “Mengapa perempuan perlu diberdayakan secara pendidikan? Karena dengan perempuan menjadi berdaya, mereka mampu menentukan kehidupannya sendiri, mampu membuat keputusan secara otonom, serta mampu membuat perubahan tidak hanya pada tataran individual tetapi juga mampu mendorong pemberdayaan di tingkat komunitasnya dan kehidupan kewarganegaraan,” lanjutnya.

Sementara itu Migni Nurhadi, Ketua Yayasan Toeti Heraty Roosseno, dalam sambutannya menyampaikan ucapan selamat kepada para penerima beasiswa serta harapannya untuk program Toeti Heraty Scholarship.

“Kolaborasi program beasiswa ini diharapkan memberikan manfaat bagi generasi penerus yang secara luas meningkatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga bermanfaat, tidak (hanya) bagi diri sendiri, tetapi juga bagi perempuan yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan kesejahteraan perempuan serta masyarakat luas,” ungkapnya.

Sejalan dengan pendapat pada sambutan sebelumnya, Darwin Cyril Noerhadi selaku Dewan Pengawas Yayasan Jurnal Perempuan juga menyampaikan ucapan terima kasih, selamat, dan harapannya kepada pada peraih beasiswa.

“Kolaborasi Yayasan Toeti Heraty Roosseno di bidang sosial dan pendidikan bersama Yayasan Jurnal Perempuan pada bidang ilmu tersebut (kajian gender dan ilmu filsafat) mulai dilakukan sejak tahun 2022 dengan harapan meningkatkan calon-calon ahli bidang filsafat kajian gender dan feminisme untuk melangsungkan kehidupan yang setara baik perempuan dan laki-laki di mata masyarakat, khususnya di bidang pendidikan,” ungkapnya.

Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Hukum

Diskusi Publik Pendidikan Tinggi Perempuan dan Penguatan Aktivisme Feminis dibuka oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan topiknya bertajuk Women and Knowledge yang berfokus pada kondisi perempuan di mata hukum serta pendidikan saat ini.

“Memang sangat nyata, ada diskriminasi terhadap perempuan sejak abad-abad silam yang menyebabkan mereka tidak diakui keberadaannya secara setara dengan teman-temannya yang laki-laki,” ujar Sulistyowati membuka diskusi.

Sulistyowati dalam paparannya memberikan ilustrasi mengenai kondisi perempuan di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut misalnya saja ketidakhadiran sosok perempuan di dunia kerja, padahal kebanyakan pemegang predikat cumlaude dalam banyak bidang studi di universitas – Sulistyowati mencontohkan UI – diraih oleh perempuan. Hal ini menurutnya dipengaruhi oleh faktor kultural, yaitu anggapan bahwa perempuan memiliki tuntutan besar dalam berperan sebagai ibu rumah tangga yang berimbas pada ketakutan bagi perempuan untuk terjun di bidang yang mereka minati.

Selanjutnya, Sulistyowati menyampaikan paparannya mengenai perempuan dan kemiskinan. “Bukan hanya persoalan ekonomi, perempuan juga terlempar dalam persoalan di bidang hukum,” ungkapnya.

Menurut Sulistyowati, ada empat akses penting yang dapat dijadikan cara untuk memberantas kemiskinan. Akses pertama yaitu reformasi hukum bagi kelompok miskin dan perempuan. Reformasi hukum artinya keharusan untuk menyediakan hukum yang mengakomodasi pengalaman-pengalaman perempuan miskin supaya kebijakan dan produk hukum yang tercipta bermanfaat bagi kelompok miskin. Kedua adalah akses terhadap literasi hukum. Akses terhadap literasi hukum diharapkan membuat kaum perempuan tidak buta hukum sehingga tidak terjebak dalam kasus penipuan hukum yang merugikan. Ketiga adalah akses terhadap identitas hukum yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan membuka akses terhadap program kesejahteraan pemerintah. Cara terakhir adalah akses terhadap bantuan hukum.

Sulistyowati juga menekankan pentingnya hukum yang mengatur kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di tempat kerja.

“Perempuan harus mendapatkan training yang sama dengan teman-temannya yang laki-laki. Gaji, tunjangan, pensiunan, serta hak cuti juga harus setara dan adil,” tuturnya.

Hukum yang mengatur hal tersebut, meski telah lama digaungkan dan diperjuangkan, tetapi tetap saja masih banyak terjadi pelanggaran dalam prakteknya pada kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam proses rekrutmen tenaga kerja, terdapat diskriminasi terhadap perempuan dalam bentuk seleksi, yaitu mengharuskan virginitas perempuan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bidang pekerjaan yang akan dilakukan.

Berikutnya, gagasan dan rencana besar mengenai reformasi perempuan dan hukum perlu juga diwujudkan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Berangkat dari faktor tersebut, Sulistyowati bersama rekan-rekan pengajar yang lain kemudian membuat mata kuliah Gender dan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan optimisme bahwa mata kuliah tersebut harus pelan-pelan diduplikasi pada universitas-universitas lain di seluruh tanah air. Dalam prosesnya, tentu saja terdapat banyak kendala dan hambatan, akan tetapi perjuangan tersebut cukup membuahkan hasil nyata sebagai langkah awal keseriusan dalam kajian gender dan hukum.

Adapun mengenai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, Sulistyowati menyoroti sulitnya akses hukum seperti aparat penegak hukum yang belum berperspektif gender. Meskipun pada dasarnya undang-undang mengenai kekerasan terhadap perempuan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), serta human trafficking telah ditetapkan, masih ditemukan kecacatan prosedur hukum dan pengimplementasiannya dalam laporan-laporan serta kasus yang ditemukan.

Perempuan dan Psikologi

Menjelang akhir, Nani I. R. Nurrachman, ahli psikologi, turut menyampaikan pandangannya terhadap topik diskusi dari sudut pandang psikologi. Menurutnya, kerancuan yang mesti diperjelas dalam kajian mengenai perempuan di bidang psikologi adalah perbedaan antara psychology of women dengan women’s psychology.

Psychology of women adalah teori psikologi yang dikembangkan oleh ilmuan (yang kebanyakan) laki-laki sehingga terjadi bias gender,” ungkapnya. “Sementara itu, women’s psychology berbicara tentang kehidupan psikologis perempuan,” jelasnya. Menurut Nani, studi-studi kajian perempuan memang layak diberikan dan dipelajari tersendiri.

Selanjutnya, Nani menambahkan pendapatnya tentang kultur yang membentuk pandangan perempuan. Menurutnya, kultur budaya berperan besar membentuk konstruksi pada diri perempuan itu sendiri mengenai apa dan bagaimana perempuan, padahal dalam tingkat intelektualitas, penelitian menyebutkan bahwa intelektualitas antar gender tidak memiliki perbedaan signifikan. Tidak pula ditemukan adanya perbedaan laki-laki lebih ahli di suatu bidang dan perempuan lebih ahli di bidang lain.

Sementara itu, dalam hal mengenai Kesehatan reproduksi, perempuan kebanyakan tidak menyadari dan memahami anatomi tubuhnya sendiri dan  interaksinya antara aspek biologis, psikologis, dan fisiologis. Jika perempuan bisa lebih mengerti dan bicara dengan tubuhnya, masalah kesehatan reproduksi bisa dipahami dan mendapatkan perhatian lebih.

“Masalah kemudian semakin menjadi ketika perempuan harus berkiprah di ranah sosial masyarakat, di situlah stereotip dan stigmatisasi (terasa nyata), di situlah perempuan sulit mengambil keputusan.” Ungkapnya.

“(Adapun) secara historis, perempuan itu tetap mempunyai strategi yang sama dalam menghadapi ini, (yaitu) menerima konstruksi sosial, menolak dan mencoba untuk mengubah, atau mencoba mencari suatu titik temu win-win solution bagi perempuan,” tambah Nani.

Nani kemudian menyampaikan harapan dan gagasannya mengenai perempuan di dalam pendidikan tinggi.

“Bagaimana jika kita memperjuangkan Menteri Pendidikan adalah perempuan?” gagasnya yang diiyakan oleh Sulistyowati. Bukan tanpa alasan, harapan tersebut terbentuk dari fakta-fakta di lapangan bahwa kondisi pendidikan saat ini terlalu pragmatis dan kurang sensitif dalam mengembangkan kepekaan sosial dan sikap-sikap humanistik yang cenderung diasosiasikan dengan pendekatan perempuan terhadap orang lain.

“Kelemahan perempuan pada dasarnya adalah kekuatan. Kalau kita bisa mengelola dan memahami ini, maka kekuatan perempuan itu cukup bisa berbicara.” Tutupnya.

Teks: Salma Rihhadatul A.

Foto: Yayasan Jurnal Perempuan (YouTube)

Editor: M. Rifaldy Zelan

Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!