Kabar dari Seberang Laut

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Juli 2021
7 menit

Sudah bertahun-tahun semenjak si anak meninggalkan rumah dan pergi menghadapi ganasnya ombak laut untuk sampai ke Pulau Jawa. Satu minggu lamanya kapal si anak terombang-ambing di laut sebelum akhirnya menepi di pelabuhan Kalimas, Surabaya. Di pulau itu, si anak menggantungkan nasib dengan berdagang kopra, daging buah kelapa yang sudah dikeringkan sebelumnya dengan cara pengasapan di atas api. Dalam setahun, bisa beberapa kali si anak bolak-balik berlayar dari kampung halamannya ke Surabaya. Semua ini si anak lakukan agar tetap terjaga kemakmuran keluarganya di kampung halaman sana.

Pelayaran si anak menuju Jawa seharusnya menjadi hal yang biasa saja bagi Wa Ida dan suaminya, La Ngkowawe. Akan tetapi, pelayaran yang terakhir ini diikuti dengan kabut hitam yang menutupi kabar si anak di Jawa sana. Si anak memiliki kebiasaan mengirim surat, atau bahkan telegram, ketika ada perihal penting yang dirasa perlu dikabarkan untuk kerabat di kampung halaman. Namun, nyatanya tidak ada surat atau pun telegram dari Jawa yang tiba ke tangan mereka. Sebenarnya, ada surat yang datang, tetapi hanya sekali. Satu-satunya kabar dari si anak yang mereka dapat ada pada surat yang ditulis sendiri oleh si anak bertanggal 13 November 1965. Tertulis di sana:

“Untuk Bapak dan Ibu tersayang di kampung halaman,

Kapalku telah tiba di bibir Pulau Jawa kira-kira dua pekan lalu. Seperti yang lalu-lalu aku lakukan ketika sudah merapat di Pelabuhan Kalimas, aku segera mengemas barang bawaan dan pergi menuju rumah Paman La Husaini.  Sesampainya di rumahnya, aku disambut seperti anak yang tidak pulang bertahun-tahun, padahal baru saja aku tinggal dia barang empat atau lima bulan. Kami bertukar banyak kabar mengenai keluarga di kampung dan juga mengenai kabar dia dan keluarganya di sini. Perbincangan kami usai setelah ada tamu lain yang datang. Aku pun memilih masuk kamar untuk beristirahat.

Sehabis aku tidur semalaman setelah melewati perjalanan di laut yang menguras tenaga, paginya aku dan paman lantas pergi menuju kediaman Ko Han Su untuk mengurus kopra yang aku bawa. Kami menaiki dokar untuk sampai di tempat tinggal Ko Han Su. Namun, sayang, lelaki yang kami cari tidak ada di kediamannya. Lewat orang sekitar yang kami tanyakan mengenai keberadaan Ko Han Su, akhirnya kami tahu kalau sosok yang kami cari telah lama meninggalkan rumah bersama keluarganya. Ada hal buruk yang menimpa Ko Han Su sekeluarga katanya. Hal buruk apa? Orang yang kami tanyakan tak mau melanjutkan percakapan dan pergi begitu saja. Tak ada yang kami dapat pagi itu kecuali pertanyaan-pertanyaan mengenai Ko Han Su dan nasib kopra milikku. Masih belum rela pulang dengan rasa hampa, kami berusaha mencari kabar Ko Han Su lewat beberapa orang sekitar, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Pada akhirnya, kami menyerah dan kembali ke rumah Paman La Husaini dengan tangan kosong.

Sampai ada kepastian mengenai kopra yang aku bawa, aku mungkin tidak akan pulang dan menetap di sini sementara untuk mencari orang yang mau membeli kopraku selain Ko Han Su. Selama di sini tentu saja aku akan rutin mengirim kabar mengenai perkembangan kopra milikku. Oleh sebab itu, jangan khawatir. Aku akan pulang setelah semua persoalan beres.

Anakmu,

La Aso.”

Sepucuk surat ini menjadi kabar terakhir mengenai si anak. Setelah itu, tidak pernah ada lagi satu pun kabar yang datang ke tangan Wa Ida dan La Ngkowawe. Perasaan cemas pelan-pelan menggerogoti mereka seiring dengan berjalannya hari demi hari tanpa kabar dari si anak.

Bertahun-tahun yang lalu, di suatu malam menjelang pagi yang dingin. Langit masih gelap saat itu. Belum waktunya sang matahari berdinas. Azan subuh belum berkumandang dari masjid. Seisi rumah masih terlelap. Wa Ida baru saja dibangunkan suaminya karena si anak ingin berpamitan. Dengan kondisi mata setengah tertidur ia berusaha merebut kesadarannya dari bayang-bayang mimpi yang baru saja ia alami. Situasinya benar-benar mendadak. Tidak ada perbincangan mengenai pelayaran si anak pada malam sebelumnya. Keluar dari kamar tidur, ia lihat si anak sudah bersiap-siap di depan cermin. Masih teringat di benaknya pakaian anak sulungnya itu ketika hendak melangkah meninggalkan rumah: kemeja putih berlengan panjang, celana bahan abu-abu berpotongan longgar, dan tidak ketinggalan peci hitam favoritnya.

La Ngkowawe sempat memperingatkan si anak untuk menunda kepergiannya barang satu atau dua hari lagi. La Ngkowawe cukup kesal dengan pelayaran si anak yang mendadak. Namun, si anak tetap pada pendiriannya. Sudah ia bulatkan dalam hati kalau ia akan pergi. Si anak berkata bahwa sebenarnya ia juga berkeinginan untuk bertahan lebih lama lagi di kampung halaman, tetapi demi kebaikan dirinya ia tidak bisa menghindari kepergiannya kali ini. Ada perasaan gelisah yang terus-menerus menggantung-gantung di kepalanya selama beberapa hari terakhir karena ia terus menunda pelayarannya. Maka dari itu, ia ambil keputusan untuk pergi berlayar ke Jawa dan menyelesaikan urusan dagang sesegera mungkin agar ia dapat menenggelamkan dirinya dengan urusannya yang lain: menikahi gadis dambaan hatinya.

La Ngkowawe yang mendengar alasan si anak hanya bisa tertegun. Mulutnya kaku dan bibirnya tak sanggup berucap. Sorot mata La Ngkowawe yang sebelumnya tajam ke arah si anak menjinak setelah mendengar perkataan itu. Walaupun perasaan di dalam diri tak senang dengan kepergian mendadak si anak, apa boleh buat, ia pun mengiyakan kepergian si anak ke Pulau Jawa. Puas dengan reaksi orangtuanya si anak hanya tersenyum dan menenteng kopernya untuk berjalan keluar dari rumah. Sebelum berjalan keluar dari rumah, si anak sempatkan diri untuk menepuk satu per satu tubuh adik-adiknya yang masih tertidur sebagai salam perpisahan.

Di depan rumah, si anak sampaikan salam perpisahannya untuk Wa Ida dan La Ngkowawe. Si anak berjanji bahwa ia tidak akan begitu lama di Jawa. Ketika urusan berdagangnya beres, ia akan langsung pulang. Secara bergantian, ia cium punggung tangan kanan kedua orangtuanya. Untuk Wa Ida, si anak juga mencium kening perempuan yang dua puluh lima tahun lalu bertaruh nyawa untuk melahirkannya. Setelah si anak membenarkan letak peci di kepalanya, segera ia pergi meninggalkan rumah sembari menenteng kopernya menuju dermaga. Di sana, salah seorang kenalannya bersama karung-karung berisi kopra telah menunggunya di atas kapal. Dari pekarangan rumahnya, Wa Ida rekatkan pandangan pada punggung si anak yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap dari pandangan matanya yang sudah agak rabun.

Perjumpaan terakhir antara Wa Ida dengan si anak kerap kali datang menghantui sebagai mimpi di tiap-tiap malam. Masih terbayang wajah si anak yang berkulit coklat dan senyumannya yang semenjak si anak masih kecil hingga dewasa masih tetap sama manisnya.

Kian hari semakin sesak rasanya dada Wa Ida menampung rindu pada si anak. Tiap malam dilaluinya dengan tangisan. Duka menunggu si anak dalam dirinya semakin menjadi-jadi ketika  mampir seorang pelaut Bugis yang baru saja pulang berlayar dari Jawa. Ia datang di pulau tempat Wa Ida dan La Ngkowawe tinggal setelah kapalnya digulung badai yang ganas di laut. Karena takut kapalnya karam diterkam badai, si pelaut Bugis putuskan untuk singgah di pulau terdekat. Tak disangka si pelaut Bugis ternyata adalah kawan lama La Ngkowawe ketika dulu berlayar menuju Singapura. Sebagai kawan lama, suami Wa Ida tersebut menerimanya sebagai tamu dan mengizinkannya menetap di rumahnya hingga cuaca kembali tenang.

Ketika pertama kali datang ke rumah, si pelaut Bugis ini tak henti-hentinya berbicara mengenai segala hal dengan La Ngkowawe. Mulai dari membicarakan masa lalu, hingga membicarakan nasib tiap kru kapal yang dahulu ikut serta dalam pelayaran ke Singapura. Semua perbincangan ini tak ada yang mengusik telinga Wa Ida dan suaminya, sebelum akhirnya si pelaut Bugis membeberkan kesaksiannya kepada kawannya mengenai apa yang ia lihat di Pulau Jawa ketika ia terakhir kali tiba. Si pelaut Bugis ini membungkukkan badannya dan mendekatkan diri ke arah La Ngkowawe, suaranya yang dari tadi memenuhi udara ia kecilkan. Ia katakan bahwa ketika berada di Jawa, ia melihat ada banyak tubuh orang yang tidak ia ketahui apa alasannya dibunuh dan dibuang di sepanjang pantai. Seketika laut menjadi merah karena darah! La Ngkowawe tak bereaksi dengan ucapan kawan lamanya itu. Langit-langit rumah Wa Ida mendadak hening. Kedua pria itu terdiam.

Perasaan buruk merasuki tubuh La Ngkowawe ketika mendengar kabar dari kawan lamanya itu. Pikirannya terbang jauh dari ubun-ubun. Terlintas ingatan akan si anak yang belum juga memberi kabar setelah berbulan-bulan lamanya pergi berlayar ke Pulau Jawa. Melihat kawannya terdiam, si pelaut Bugis pun membelokkan perbincangan dengan menanyakan soal makan malam. Suami Wa Ida hanya menjawab sekenanya saja.

Cukup lama keheningan bersemayam di langit-langit ruang tamu malam itu sebelum akhirnya pecah ketika La Ngkowawe berteriak memanggil anak bungsunya. Ia perintahkan anak bungsunya tersebut pergi ke depan rumah untuk memperhatikan air laut dan memberitahu dia apakah air laut sedang pasang atau sedang surut. Mendengar perintah dari bapaknya, bergegaslah anak bungsunya itu ke depan rumah.

Langit di luar rumah yang gelap dan bertaburan bintang memayungi si anak bungsu yang berlari-lari kecil di pasir pantai. Ia buka matanya lebar-lebar berusaha menangkap tinggi air laut dalam keadaan langit yang gelap. Terlihat jelas oleh bola matanya kalau air laut yang diselimuti cahaya bulan itu sedang surut. Kaki-kaki kecilnya berlari kembali ke dalam rumah untuk melaporkan apa yang ia lihat kepada bapaknya.

Sembari diselimuti perasaan gelisah, La Ngkowawe menunggu anak bungsunya dari depan rumah. Sesekali ia seruput cawan teh di meja. Tamu yang ada di hadapannya tidak diacuhkannya. Si pelaut Bugis hanya memendam rasa heran terhadap bisunya La Ngkowawe. Ia menggurutu dalam hati atas situasi canggung ini. Dari jendela rumah terlihat anak bungsu La Ngkowawe berlari dari arah pantai. Sesampainya di dalam rumah, segera ia berbisik memberitahu bapaknya bahwa air laut sedang surut.

Mendengar laporan anak bungsunya, La Ngkowawe hanya menghela napas panjang. Terasa di dalam dada seperti ada yang sedang meremas hatinya. Leluhurnya percaya apabila menerima firasat buruk yang bersamaan dengan surutnya air laut, maka firasat buruk itu benar adanya. La Ngkowawe beranjak dari kursinya dan izin pamit ke kamar dengan tamu yang ada di hadapannya. Ia merasa sedang tidak enak badan. Di ruang tengah, La Ngkowawe meminta istrinya untuk mempersilakan si pelaut Bugis makan malam terlebih dahulu. Wa Ida yang turut mendengar kabar apa sedang terjadi di Jawa ikut terseret arus kecemasan yang dialami suaminya. Malam itu, pasangan suami-istri ini tenggelam dalam palung yang dingin dan gelap.

Setahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh… tahun. Letih bagi Wa Ida dan La Ngkowawe untuk menghitung waktu yang sama rasanya dengan menghitung rasa sakit dan rindu yang ditabung dalam hati mereka. Rambut yang memutih tak lantas membayar perasaan pedih yang ditanggung. Sisa-sisa kenangan dengan si anak telah terkubur oleh kebisingan zaman yang terus berjalan menjauh dari hari ketika mereka terakhir melihat si anak pergi dengan menenteng kopernya. Walaupun begitu, bara harapan agar si anak pulang tetap mereka jaga di dalam diri. Tak peduli jika itu mengembangbiakkan penyakit dalam badan mereka yang sudah renta. Bagi mereka, menunggu kabar si anak adalah melawan. Melawan rasa sakit dan juga melawan nasib. Selama nisan mereka belum menancap di bumi, selama itu pula mereka menunggu kabar dari seberang laut.

Teks: M. Qhisyam (FIB UI)
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!