Kami yang Tak Sama, Juga Berhak Beragama #OurRightsToFaith

Redaksi Suara Mahasiswa · 6 Juni 2024
16 menit

“Bisakah aku menjadi queer sekaligus religius?”

Pertanyaan ini kerap jadi keresahan sebagian queer, terlebih mereka yang lahir dengan latar belakang keluarga taat beragama. Tak semua agama menolak LGBTIQ+, ada komunitas-komunitas agama yang menerima mereka dengan tangan terbuka tanpa memperlakukan mereka sebagai pendosa atau penyakit yang harus disembuhkan.

DETAK jam dinding membalap denyut jantung Adrian, bukan nama sebenarnya. Api lilin di pojok kanan altar meliuk perlahan. Ia menyusuri selasar dan berlutut di tepi bangku-bangku panjang dalam ruangan besar gereja. Angin malam bertiup dari celah pada tingkap gedung. Hari ini, hari raya Tritunggal Mahakudus, Adrian menemukan khidmat dalam suasana sakral ibadahnya malam ini.

“Ini adalah tempat di mana aku dapat menemukan ketenangan dan rasa aman,” ujar Adrian saat diwawancara hari Sabtu (16/03/24).

Adrian tak pernah menduga jalan hidupnya akan sangat berliku, terlahir dengan identitas seksual yang dianggap berbeda dari norma masyarakat. Sehari-harinya, ia mungkin tampak seperti mahasiswa Universitas Indonesia pada umumnya—belajar, duduk di kelas dan mengerjakan tugasnya bersama teman-temannya. Namun, sebagai seorang manusia, ia memiliki pergumulan batin yang berat.

Usianya 15 tahun kala Adrian menyadari bahwa ia adalah seorang laki-laki biseksual, dengan kecenderungan ketertarikan lebih pada laki-laki. Sejak kecil, ia dibesarkan dengan pemahaman heteronormatif bahwa laki-laki hanya boleh menyukai perempuan. Dogma moral ini menghantui pikirannya, membuatnya merasa ia akan menanggung dosa besar. Namun, hatinya tak bisa dibohongi.

"Aku punya memori jelas, bahwa aku merasakan ketertarikan terhadap laki-laki itu sejak kecil. Tapi, karena selalu diajarkan bahwa laki-laki itu suka dengan perempuan, sempat ada kebingungan, di mana aku seringkali salah mengartikan keinginan untuk berteman dengan perempuan, sebagai rasa suka (secara seksual)," ujar Adrian.

Tumbuh di tengah keluarga dan lingkungan Muslim, Adrian pernah menjadi seorang Muslim yang taat. Ia aktif mengikuti program-program keagamaan di sekolah, seperti sholat dhuha, tadarus, menghafal Juz’Amma, tahajud, bahkan mengikuti Mabit (malam iman dan takwa) Ramadhan.

"Aku baru sadar bahwa akulah yang disebut-sebut sebagai kaum Nabi Luth itu pas awal-awal SMP, saat aku pertama kali memiliki perasaan terhadap teman laki-laki sebaya" ujar Adrian.

Namun, tumbuh dengan tuntutan religius tak lantas membuatnya memaksakan diri untuk hanya menyukai perempuan. Saat ia menyadari orientasi seksualnya, Adrian justru mengalami krisis iman. Semua konstruksi terhadap kepercayaan, agama, dan ketuhanan, seolah lenyap.  Ia tak terima jika dirinya dianggap salah dan berdosa, sebab ia tak memilih untuk dilahirkan dengan kondisi demikian.

"Bagaimana bisa aku diciptakan seperti ini, terus Tuhan yang sama yang menciptakanku seperti ini, tiba-tiba mengatakan kalau apa yang aku rasakan ini salah dan dosa?" tanyanya dengan getir.

Ia mempertanyakan agamanya yang satu sisi mengajarkan perdamaian, tetapi di saat bersamaan juga memunculkan narasi-narasi kebencian terhadap LGBTIQ+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, dan queer). Bersamaan dengan krisis eksistensial, Adrian mulai mengalami trauma religius. Ia merasa terpicu dengan ceramah dan ajaran-ajaran Islam yang mengutuknya.

"Aku pernah dulu pas SMP tuh dapet broadcast yang intinya apa yang dikatakan sahabat-sahabat Rasulullah bahwa kaum LGBT itu harus dipenggal kepalanya, dilempar dari tempat tinggi,” ungkap Adrian. “Kemudian, ada demonstrasi 212 yang masif, dan tindakan-tindakan persekusi lainnya atas nama agama yang membawaku ke religious trauma," lanjutnya.

Hal ini seringkali menimbulkan rasa takut, bingung, dan tertekan. Kurang lebih empat tahun, Adrian menyerah pada nilai-nilai agama dan lebih nyaman menjadi seorang agnostik, mempercayai Tuhan tanpa terikat pada agama tertentu. Sempat ia berupaya mencari tafsir-tafsir inklusif Islam seperti ajaran Amina Wadud, namun trauma religius yang ia rasakan membuatnya merasa tak lagi punya tempat di komunitas Muslim.

Fase agnostik itu tidak berlangsung lama. Di penghujung masa SMA-nya, Adrian merasakan keinginan untuk beragama dan memiliki pegangan hidup. “Saat itu, aku berpikir kayaknya aku bisa lah belajar agama lagi,”ujar Adrian.

Adrian teringat bahwa sedari dulu ia tertarik pada nilai-nilai kekristenan, kepada ajaran Yesus tentang pesan-pesan inklusivitas, hukum kasih, dan memaafkan. Ia pertama kali melakukan misa, ritual ibadah Katolik, beberapa saat sebelum pandemi masuk ke Indonesia.

Selama tiga tahun, ia mempelajari Katolik secara mandiri dari buku dan internet. Ia pun akhirnya mengetahui bahwa dalam gereja Katolik, menjadi LGBTIQ+ bukanlah dosa. Gereja Katolik mengakui ada orang yang lahir dengan ketertarikan seksual sama jenis kelamin, merangkul mereka dengan kasih dan melarang tegas diskriminasi terhadap queer.

Beberapa tahun mengikuti peribadatan mandiri, akhirnya Adrian mengikuti katekumen alias belajar langsung di gereja, lalu menerima baptis. Selama itu, Adrian aktif terlibat dalam berbagai kegiatan di lingkungan gereja Katolik, mulai dari pastoram mahasiswa hingga karya sosial milik ordo religius Katolik.

“Orang-orang dengan minoritas gender dan seksual harus diperlakukan dengan empathy, sensitivity, dan respect. Itu ada di katekismus gereja katolik, kompendium ajaran resmi gereja” kata Adrian. “Jadi, bisa dibilang seksualitasku adalah titik awal yang memanggilku menemukan tempat yang kurasa aman dan affirming di Gereja Katolik” lanjutnya.

Dalam kata-katanya, terdengar jelas betapa pentingnya menemukan tempat yang bisa menerima dirinya seutuhnya. Tempat itu, menurut Adrian, adalah Gereja Katolik. “Tempat yang menerimaku apa adanya dan nggak menyangkal apa yang sudah menjadi bagian dariku sejak lahir,” ujarnya. “Seandainya aku pas jadi muslim nggak terguncang oleh konflik antara orientasi seksual dan ajaran agama, pun nggak mengalami religious trauma, mungkin aku nggak akan terpanggil ke Gereja Katolik,” ia melanjutkan.

Hal ini tidak ia lakukan sembunyi-sembunyi dari orang tuanya. Sejak awal ia sudah memberitahu tentang keinginannya untuk pindah agama dan identitas seksualnya. Namun, ia tidak mendapatkan respon yang cukup baik dari keluarganya. Ia justru diminta bertobat dan lebih banyak belajar agama. Tekanan yang cukup intens dari orang tuanya terkadang membuatnya stress berat.

Sampai suatu saat, kondisi kesehatan mentalnya yang menurun diketahui oleh orang tuanya. Sejak saat itu, orang tuanya berdamai dan mendukung penuh keputusannya. Menurut Adrian, sepertinya saat itu orang tuanya menyadari bahwa keimanannya membantu melewati masa-masa sulitnya.

“Mungkin saat itu mereka melihat proses recovery aku sangat terbantu oleh spiritualitas dan keimananku. Perlahan mereka sudah bisa sepenuhnya menerima perbedaan iman di antara kami,” kata Adrian.

Hingga saat ini, Adrian yakin akan ajaran kasih Yesus dan kebersamaan Bunda Maria, yang baginya menjadi pelindung dan penghibur dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup. Melalui perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, Adrian menemukan tempat di mana ia dapat mengimani Tuhan dengan damai.

Iman tak Mengenal Orientasi Seksual, Kami Berhak Beribadah Tanpa Stigma

Perjalanan spiritualitas yang berat ini juga dialami Hisyam–juga bukan nama sebenarnya– mahasiswa UI angkatan 2021. Hisyam seorang gay yang tumbuh dalam keluarga Muslim yang sangat taat sehingga ia selalu merasa berdosa atas orientasi seksualnya.

“Aku selalu mempertanyakan, apakah Tuhan sekejam ini menciptakanku sebagai pendosa?” ujar Hisyam mengingat saratnya pergulatan batin saat itu pada Jumat (15/03/24).

Seperti Adrian, sejak kecil Hisyam dikungkung oleh pola pikir heteronormatif bahwa homoseksual hanya akan berakhir di neraka. Meski pertarungan batin terus menghantuinya, ia tetap sholat lima waktu dan mengaji sejak kecil, sesuai anjuran orang tuanya. Namun, seringkali ia merasa ibadahnya sia-sia, karena dalam pandangannya, ia merasa sebagai seorang pendosa sejak lahir.

“Sebagai orang yang dilahirkan sebagai pendosa, untuk apa sebenarnya aku beribadah?” tuturnya mengingat pikirannya kala itu.

“Aku merasa berdosa lahir sebagai diriku sendiri,” ungkap Hisyam. “Bahkan ketika aku ke masjid, yang seharusnya jadi tempatku untuk mendekatkan diri pada Tuhan, khotbah Jumat selalu menekankan bahwa aku nanti akan masuk neraka dan disiksa,” ujarnya getir.

Kegelisahan Hisyam mulai datang sejak SD. Ia seringkali dilanda perasaan cemas, karena seringkali dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Ia sadar, bahwa ia lebih feminin dari teman pria sebayanya, ia juga lebih nyaman bergaul dengan teman perempuan.

“Ih, aneh lu cowok kok mainnya sama cewe terus,” ujar Hisyam, menirukan cemoohan teman laki-lakinya. Ejekan tersebut tak berhenti pada kata-kata; gerombolan perundung itu bahkan merendahkannya dengan melakukan kekerasan seksual seperti menggoda, mencolek, hingga mencubit payudara Hisyam.

“Aku selalu merasa, kenapa seakan aku terlahir salah ya, kenapa aku harus terlahir beda dari mereka?” tutur Hisyam, mengingat masa-masa ketika ia sering menyalahkan dirinya sendiri.

Seringkali Hisyam terpaksa berbohong tentang perasaannya. Ketika teman-temannya bertanya siapa yang ia sukai, ia selalu menyebut nama teman perempuannya agar ‘terlihat’ heteroseksual. Selama delapan belas tahun, ia menyangkal perasaannya sendiri, membohongi teman-teman, keluarga, bahkan dirinya sendiri.

“Masa SD, SMP, bahkan sampai SMA adalah masa-masa denial,” ujar Hisyam. “Aku maksain diri, kayak aku pasti bisa berubah jadi heteroseksual,” lanjutnya.

Trauma akan perundungan terhadap identitas seksualnya membuat Hisyam saat itu merasa cemas untuk bergaul dengan laki-laki, terutama yang terlalu maskulin. Hingga saat ini, terkadang ia masih terpicu mendengar kata 'banci' atau 'bencong,' dan cemas saat melewati gerombolan laki-laki. Untuk membantunya melewati masa-masa sulit ini, ia juga bolak-balik ke psikolog agar mendapatkan bantuan profesional.

“Efek psikologis itu masih aku rasakan sampai sekarang, aku kadang masih trauma kalau mendengar kata banci atau saat aku lewat di antara gerombolan laki-laki, itu membuatku mengingat mereka yang pernah membullyku dulu. Kadang saat mau berangkat sekolah, rasanya takut banget, terbayang aku hanya akan di-bully di sekolah,” kata Hisyam.

Ketika masuk kuliah, beban itu semakin berat. Hisyam merasa stres berat karena terus memikirkan orientasi seksualnya yang masih menyukai laki-laki. Ia merasa sangat berdosa dan akhirnya tidak tahan lagi menyimpan semuanya sendiri. Suatu hari, ia memberanikan diri bercerita pada kakaknya.

“Gak apa-apa, lu nggak sakit,” kata kakaknya. “Kalau Tuhan benar-benar ada, dia pasti nggak akan menciptakan seseorang hanya untuk disiksa atau dibuat menderita.” Ini pertama kalinya Hisyam bercerita dan mendapatkan penerimaan dari orang lain, hingga saat ini, ia masih menangis mengingat peristiwa itu.

Kata-kata kakaknya menjadi titik balik bagi Hisyam. Ia mulai bisa menerima dirinya sendiri, meski masih ada perdebatan batin karena telah diinternalisasi dengan ilmu-ilmu religius dan heteronormatif sejak kecil.

Perlahan, Hisyam mulai mempelajari sains dan jurnal-jurnal tentang homoseksualitas, menjumpai komunitas LGBT dan Islam yang progresif. Ia menemukan bahwa penafsiran agama bisa berbeda-beda dan lebih inklusif. Ia meyakini Islam adalah agama yang cocok dengannya meski di saat bersamaan ia masih sering menemukan narasi-narasi kebencian terhadap LGBT.

“Oh, ada juga Islam yang progresif, dan sebenarnya itu tergantung bagaimana kita menafsirkan agama,” ujar Hisyam.

Meski masih selektif memilih teman yang bisa dipercaya, Hisyam mulai terbuka tentang identitas seksualnya. Di lingkungan kuliah, ia menemukan teman-teman yang juga berani mengatakan identitas seksualnya sebagai gay, lesbian atau biseksual.

“Dukungan sosial sangat berarti untuk aku, setidaknya sekarang aku udah mulai berani untuk menceritakan siapa crush aku yang sebenarnya tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi,” ungkap Hisyam. “Sekarang, ibadah pun lebih bisa aku aku nikmati (secara spiritual–red),” ujarnya.

Hisyam meyakini Allah maha pengasih dengan kasih yang tak terbatas orientasi, sementara narasi kebencian hanyalah hasil dari tafsir pikiran manusia yang terbatas. Bagi Hisyam, ibadah adalah hubungan pribadi antara dirinya dan Tuhan. Meskipun ia tidak memungkiri bahwa ia akan merasa lebih nyaman jika keluarganya atau lingkungannya lebih mendukung orientasi seksualnya.

Mengimani Tuhan dengan Cara Mereka Sendiri

Di tengah masyarakat yang religius dan heteronormatif, banyak individu yang harus melalui pencarian panjang dan menyakitkan untuk menemukan jati diri mereka. Salah satunya adalah Citra (bukan nama sebenarnya), mahasiswi STIH Jentera, transpuan yang memutuskan untuk mengimani Tuhan dengan caranya sendiri, tanpa terafiliasi dengan agama manapun.

Tumbuh di lingkungan yang kaku dan penuh penolakan membuat pencarian Citra semakin sulit. Di usia 12 tahun, setelah bertahun-tahun bergulat dengan pertanyaan dan dilema, ia akhirnya berani mengumumkan identitas dirinya sebagai perempuan. Namun, perjalanan ini tidaklah mudah.

“Dulu sih pernah ada konflik antara keyakinan dan identitas gender, cuma kemudian aku menemukan bahwa tidak ada satu pun agama yang relevan bisa menjawab kebutuhanku,” ujarnya pada Kamis (21/03/24). “Aku memahami kebutuhan spiritualku dan melakukan kegiatan spiritualku dengan caraku sendiri. Aku tetap berdoa dan melakukan meditasi, meski aku tidak terafiliasi dengan agama manapun.”

Citra tidak sendiri. Banyak transpuan dan individu dari kelompok LGBTIQ lainnya yang merasakan trauma religius ketika melihat penindasan atas nama agama. “Saat melihat penindasan atas nama agama pun rasanya kayak benci gitu ya, ada banyak ujaran kebencian terhadap kelompok trans dan kelompok LGBTIQ secara umum. Sebenarnya sulit untuk menceritakannya kembali, rasanya aku sudah tidak ingin mengingat ya situasi yang dulu,” ujar Citra, menggambarkan luka mendalam yang masih dirasakannya hingga kini.

Trauma ini mengakar dalam kehidupan sehari-hari Citra. Dulu, sebagai seorang Muslim, keyakinan agamanya sangat mempengaruhi nilai-nilai yang ia pegang, terutama yang berkaitan dengan keluarga. Konflik ini membuatnya berada di titik terendah dalam hidup. “Orang bilang aku agnostik atau apapun itu, aku tahu semua agama tuh baik, aku tahu ada banyak ulama atau tokoh agama yang progresif, tapi saat ini aku merasa lebih damai,” ujarnya.

Citra menghadapi pilihan yang sangat sulit: berdamai dengan dirinya sendiri atau terus berjuang untuk diterima oleh agama dan masyarakat yang menolak keberadaannya. “Mana yang lebih penting, menjadi orang paling berdosa dari segi agama, atau terus berjalan untuk berdamai diri sendiri dan menerima diri sendiri agar bisa menjalani hidup tanpa rasa takut dan bersalah?” katanya. Akhirnya, Citra memilih untuk menerima dan bangga dengan dirinya sebagai transpuan, meski jalan yang harus ditempuh terkadang sangat berat.

Ia menekankan betapa sulitnya menerima diri sendiri di tengah konstruksi sosial yang terus menyalahkan mereka. “Self-stigma dari diri sendiri aja udah kuat, penuh kebingungan lalu ditambah stigma dari luar, itu kayak aduh aku nih sebenarnya apa, kenapa Tuhan menciptakan aku untuk dihakimi sama orang lain? Rasanya gak fair sekali,” ungkapnya.

Citra juga mengisahkan tentang program-program agama yang berkedok ritual penyembuhan atau terapi konversi yang dialami oleh teman-temannya. “Ada lho program-program agama, berkedok ritual penyembuhan, terapi konversi, rukyah dan lain-lain, dikasih uang, dibantu hidupnya, asal kamu mau bertobat,” ceritanya. Ironisnya, banyak yang terpaksa mengikuti program ini demi uang, meski akhirnya kembali ke identitas asli mereka setelah beberapa waktu.

Melalui semua tantangan ini, Citra tetap tegar dan menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia telah memilih jalannya sendiri, mengimani Tuhan dengan cara yang paling sesuai dengan hatinya, tanpa terafiliasi dengan agama manapun.

“Setelah melewati semua prosesnya, berdamai dengan diri sendiri tuh rasanya kayak hadiah yang ga bisa dihargain dengan apapun.”

Menyediakan Ruang Perjumpaan Tuhan dan LGBTIQ

Menjadi LGBTIQ dan religius memang masih tabu dan masih kontroversial di tengah masyarakat. Melalui telekonferensi pada Selasa (26/03/24), Antonius Sumarwan SJ, Romo Jesuit di Kolese St Ignatius Yogyakarta, menjelaskan tantangan yang dihadapi komunitas LGBTIQ dalam mencari tempat beribadah di dunia yang penuh prasangka. Banyak yang menganggap isu ini berasal dari Barat, dan banyak orang tua yang khawatir anak-anak mereka terpengaruh.

“Memang ada sekelompok yang terbuka, tapi ada juga yang masih khawatir dan takut,” ujar Romo Marwan. “Namun, dalam gereja Katolik sendiri, kita mengalami kemajuan pesat dalam penerimaan terhadap kelompok LGBTIQ, terutama setelah Paus Fransiskus mengatakan, ‘Siapakah saya untuk menghakimi mereka?’”

Dalam kesehariannya aktif di pelayanan Gereja, Romo Marwan mengatakan bahwa dalam menanggapi isu homoseksualitas, gereja Katolik mengacu pada katekismus atau panduan hukum resmi Gereja Katolik. Buku “Membangun Ruang Perjumpaan Katolik dengan LGBT” karya James Martin, menguraikan bahwa penerimaan gereja terhadap kelompok homoseksual, tetapi katekismus Gereja Katolik masih menganggap hubungan seksual sesama jenis melawan hukum kodrat karena tidak prokreatif atau menghasilkan keturunan. Ini adalah beban berat bagi komunitas LGBTIQ, karena mereka dinilai tidak hanya dari identitas mereka tetapi juga dari tindakan mereka.

“Paus Fransiskus memberikan pemberkatan atau memberi lampu hijau bagi pasangan homoseksual yang ingin memperoleh pengakuan sipil. Melalui itu, mereka dapat mengklaim hak-hak sipil sebagai warga negara,” jelas Romo Marwan. Namun, ia menegaskan bahwa pernikahan sakramen masih dianggap sebagai ikatan antara laki-laki dan perempuan oleh gereja.

Dalam menghadapi kenyataan ini, komunitas LGBTIQ merasa saran untuk hidup murni atau selibat layaknya biarawan dan biarawati hampir tidak masuk akal. “Bagaimana memisahkan hubungan seksual dengan cinta? Karena hubungan seksual adalah ekspresi cinta,” kata Romo Marwan, menyoroti dilema yang dihadapi oleh mereka yang hidup dengan identitas seksual minoritas.

Romo Marwan mencatat bahwa meskipun katekismus adalah ajaran resmi gereja, interpretasi modern dan kemajuan ilmu pengetahuan bisa mendorong perubahan dalam pandangan gereja. “Dulu, homoseksualitas dianggap penyakit. Sekarang, banyak ilmuwan menyatakan itu bukan penyakit. Melihat perkembangan sains ini, gereja perlu merumuskan pandangan baru,” ujarnya.

Paus Fransiskus bahkan telah meminta gereja di Jakarta untuk lebih berpihak pada kelompok-kelompok terpinggir, termasuk LGBTIQ. Romo Marwan melihat ini sebagai langkah penting menuju inklusivitas, meskipun tantangan masih ada. Banyak orang tua menuntut anak-anak dengan identitas seksual LGBTIQ berubah menjadi heteroseksual, seringkali mereka meminta berbagai upaya seperti doa dan terapi konversi. Namun, menurut Romo Marwan, gereja katolik seharusnya tidak pernah mempraktikkan terapi konversi, karena tidak pernah terbukti efektif, melainkan hanya menyakiti individu tersebut.

“Ketika terjadi diskriminasi atau persekusi, itu tanda bahwa kita tidak konsisten sebagai pengikut Yesus,” tegas Romo Marwan. “Yesus berpihak pada kelompok-kelompok terpinggirkan, dan jika kita mau konsisten dengan ajaran Yesus, kelompok LGBTIQ adalah yang harus kita bela.”

Menurut Romo Marwan, dalam menanggapi isu homoseksualitas, umat  harus berpegang pada ajaran paling dasar kekatolikan, yaitu cinta kasih dan keberpihakan pada kelompok-kelompok terpinggirkan.

“Kita bisa membayangkan kalau Tuhan Yesus hadir zaman sekarang, pasti dia akan berpihak pada kelompok queer,” ujar Romo Marwan.

Romo Marwan juga menunjukkan bahwa dalam kitab suci, ada kisah-kisah yang bisa diinterpretasikan dengan perspektif queer, seperti hubungan antara Rut dan Naomi dalam perjanjian lama. “Janji perkawinan sehidup semati itu diambil dari kata-kata Rut dan Naomi. Ada ekspresi dalam gereja yang dipakai untuk semua, bahkan untuk laki-laki dan perempuan, diambil dari kisah-kisah yang mungkin merupakan pasangan minoritas gender dan seksual dalam kitab suci,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya gereja dan agama memberikan ruang bagi komunitas LGBTIQ untuk menceritakan pengalaman mereka dengan aman dan terhormat. “Kalau gereja mau memahami isu ini, perlu memberikan ruang bagi kelompok ini untuk menceritakan pengalaman mereka. Tidak menilainya  sebagai hal yang menyimpang, tapi menghormati pengalaman mereka,” tambah Romo Marwan.

Di Jakarta, sudah ada kelompok seperti Sahabat Yesus yang merangkul LGBTIQ agar mereka bisa saling berbagi satu sama lain. “Mungkin di keuskupan lain masih terbatas –yang memahami isu LGBT, tapi ada juga seperti di Maumere, dengan komunitas Pancasikka dan Sahabat Yesus di Jakarta,” ujar Romo Marwan.

Tuhan Ada di Luar Batasan antara Religiusitas dan Seksualitas

Senada dengan Romo Marwan, Ketua Umum Suluh Perempuan, Siti Rubaidah juga menyampaikan pesan inklusif dalam sudut pandang agama Islam. "Apakah kita akan mendengarkan omongan yang penuh stigma dan prasangka buruk, atau kita akan kembali ke naluri kita sebagai manusia, bahwa kita harus menerima manusia apa adanya?" tanyanya dengan penuh perenungan pada hari Minggu (24/03/2024).

Rubaidah mengingatkan, dalam kehidupan sehari-hari, banyak teman-teman individu queer dan menunjukkan keimanan yang mendalam. "Banyak teman-teman saya yang dibilang gay, tapi lebih rajin sholatnya, lebih rajin berpuasa Senin-Kamis daripada saya sendiri," ujarnya.

Dia juga mengutip buku "Perjalanan Lintas Batas" karya Musdah Mulia, yang menceritakan tentang seorang ustadz gay di Cape Town, Afrika Selatan, yang memimpin Tarekat Naqsyabandiyah dan mendirikan masjid yang ramah terhadap kelompok-kelompok minoritas. "Semua manusia diciptakan mulia oleh Tuhan dengan segala yang diberikan. Ketika Tuhan memuliakan manusia, kita juga harus memanusiakan mereka," tegasnya.

Ia menerangkan bahwa terdapat tafsir Islam yang lebih humanis dari K.H Said Aqil Siroj yang menerangkan bahwa, yang dikutuk dari kaum Luth sebenarnya adalah perbuatan seksualnya, berupa pedofilia dan pelecehan seksual bukan homoseksualitasnya. “Yang dimaksud penyimpangan itu adalah perilaku seksualnya, bukan orientasi seksualnya,” ujar Rubaidah.

Dalam pandangannya, ibadah adalah urusan pribadi antara individu dengan Tuhan. "Yang berhak menentukan apakah ibadah kita diterima atau tidak hanya Allah, bukan pandangan manusia. Yang paling penting adalah beriman dan menjalankan kewajibannya kepada Tuhan," jelasnya.

Rubaidah juga mengkritik pandangan lama yang melihat homoseksualitas sebagai penyakit yang harus disembuhkan. "Ilmu pengetahuan sudah mengatakan bahwa homoseksualitas bukan penyakit. Ini fitrah, sesuatu yang alami dan tidak bisa diubah dengan pengobatan atau rukiah," tambahnya.

Ia mengingatkan bahwa fundamentalisme yang kuat belakangan ini sering kali menyalahkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan perisai defensif yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. "Agama harus adaptif terhadap perubahan zaman, agar tidak dianggap usang bagi generasi sekarang atau masa depan," katanya.

Rubaidah mengajak kelompok-kelompok Muslim untuk mengedepankan tafsir yang lebih humanis, feminis dan inklusif dalam ajaran agama. "Kita perlu perspektif baru dalam ajaran Al-Quran dan hadis yang lebih humanis dan feminis, mengedepankan kesetaraan dan keadilan gender. Jangan berlaku tidak adil, menghakimi maupun mengucilkan kelompok-kelompok LGBT ini," ujarnya.

Menjembatani Dilema Religiusitas: Perspektif Antropolog dan Psikolog tentang Seksualitas

Religiusitas dan seksualitas sering kali menjadi dua kutub yang tampak berseberangan di tengah masyarakat yang heteronormatif. Dalam sebuah mini-survei yang dilakukan oleh Suara Mahasiswa UI dan melibatkan 15 individu LGBTIQ, terungkap bahwa sebagian besar responden menganggap agama penting bagi kehidupan mereka. Sejumlah responden juga mengaku aktif dalam kegiatan ibadah dan menemukan makna spiritual dalam praktik keagamaan mereka.

Kendati demikian, di saat yang bersamaan, mayoritas responden juga merasakan isolasi dari komunitas agama di lingkungan sosial mereka. Hal ini menunjukkan masih adanya, stigma  dan penolakan yang dirasakan oleh individu LGBTIQ dengan komunitas agama di sekitarnya. Meskipun survei ini tidak mewakili pandangan dan sikap seluruh individu LGBTIQ di Indonesia, hasilnya dapat memberikan gambaran mengenai dilema yang dialami individu LGBTIQ dalam mengintegrasikan identitas seksual dan religiusitas mereka.

Irwan Matuana, dosen Antropologi Gender dan Seksualitas UI, mengungkapkan bahwa persepsi seksualitas seseorang dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk agama, politik, dan budaya. "Agama adalah salah satu faktor yang cukup menonjol, terutama dalam agama-agama besar seperti agama-agama samawi yang memiliki aturan dan ajaran yang ketat terkait seksualitas," ujarnya pada Selasa (26/03/2024).

Irwan menekankan bahwa ada beragam cara pandang terhadap seksualitas, tergantung pada konteks budaya dan agama. "Di agama masyarakat adat Makassar misalnya, ada lima gender yang diakui, Calalai, Calabay, hingga Bissu. Di Jawa Timur, tradisi warok mengenal pasangan sesama jenis yang disebut gemblak dalam kesakralan mereka," jelasnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa di beberapa budaya dan agama lokal, terdapat penerimaan yang lebih luas terhadap keragaman gender dan seksualitas.

Namun, ia juga tidak memungkiri bahwa terdapat pula perubahan pandangan yang lebih inklusif di kalangan agama samawi di Indonesia. "Gereja Katolik mulai memberikan berkat kepada pasangan sesama jenis, ada kelompok Islam progresif yang menafsirkan ulang gender dalam Islam, ada pula Pesantren Waria di Jogja," kata Irwan. Menurutnya, penerimaan LGBT di kalangan agamis di Indonesia mulai ada, meski belum menjadi arus utama.

Dari sudut pandang psikologi, Elizabeth Kristi Poerwandari, psikolog dan pendiri Yayasan Pulih, menyoroti dampak religiusitas terhadap kesehatan mental individu. "Spiritualitas yang menerima diri seseorang sebagai ciptaan Tuhan dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mentalnya. Namun, religiusitas konvensional yang menstigma bisa menyebabkan masalah mental seperti self-harm dan ideasi bunuh diri," jelas Kristi pada hari Minggu sore (05/05/24).

Mengingat fungsi agama di lingkungan masyarakat bukan hanya kepercayaan, namun juga komunitas, Kristi menambahkan bahwa stigma sosial dan self-stigma sering membuat individu merasa tidak diterima dan bingung dengan identitasnya. "Religiusitas yang konvensional sering kali membombardir individu dengan pesan-pesan bahwa mereka berdosa, yang dapat merusak kesehatan mental mereka," kata Kristi. Namun, ia menegaskan bahwa religiusitas yang mengintegrasikan dan menerima LGBT dapat memberikannya dukungan besar untuk menerima diri seseorang sebagai ciptaan Tuhan. Seperti yang dialami Adrian, hal ini dapat menjadi kekuatan besar dalam menjaga kesehatan mental mereka.

Sayangnya, menurut Kristi, masyarakat Indonesia masih sangat heteronormatif, dan ini memengaruhi bahkan para profesional seperti psikolog dan psikiater. "Banyak psikolog dan psikiater masih menganggap LGBT sebagai sesuatu yang salah, sehingga terapi konversi masih sering dilakukan," ungkap Kristi. Ia juga menyayangkan bahwa asosiasi-asosiasi psikologi di Indonesia belum mengeluarkan imbauan untuk menghentikan praktik-praktik tersebut.

Sejalan dengan pandangan Kristi, Syifa Nadia, mahasiswa Psikologi UI angkatan 2019, yang dalam penelitian tugas akhirnya meneliti secara kualitatif tentang perjalanan integrasi identitas gender/seksualitas dan religiusitas individu LGBTIQ di Indonesia, mengatakan bahwa individu LGBTIQ yang tumbuh di lingkungan religius cenderung mengalami dampak psikologis negatif, seperti konflik dilema, trauma, hingga depresi, dibandingkan dengan mereka yang menganggap agama tidak terlalu penting sejak awal.

Terdapat sejumlah tahap yang biasanya dilalui oleh individu LGBTIQ dalam proses integrasi dengan kepercayaan agama atau spiritualitas mereka. Tahap-tahap tersebut dimulai dari kesadaran akan non-konformitas pada masa pubertas, diikuti dengan tahap questioning atau mempertanyakan, kemudian tahap konflik (yang tidak selalu dialami oleh semua individu), dan akhirnya berujung pada tahap pengakuan diri atau self-identity.

“Sebagai contoh, jika pandangan awal individu LGBTIQ terhadap identitas seksualnya buruk karena konstruksi agama, kemungkinan besar dia akan mengalami konflik. Sebaliknya, jika mereka sejak awal memiliki pandangan positif terhadap LGBTIQ, mereka kemungkinan besar tidak akan mengalami tahap konflik dan langsung masuk ke tahap pengakuan diri (self-identity) tanpa resistensi,” jelas Syifa pada Kamis (30/05/24).

"Dukungan sosial sangat penting untuk membantu individu LGBTIQ melewati masa-masa sulit saat mengalami konflik antara identitas seksual dan religiusitasnya," tambah Syifa

Syifa juga menyampaikan keprihatinannya terhadap stigma sosial yang menyebabkan individu LGBTIQ mengalami kesulitan psikologis dan bahkan menjauhkan mereka dari agama. Stigma sosial ini seolah-olah memaksa individu LGBTIQ untuk memilih antara identitas mereka dan agama, padahal keduanya dapat berjalan beriringan. "Padahal semua orang, terlepas dari identitas gender dan seksualitas mereka, pantas mendapatkan kedamaian spiritual," tutup Syifa.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

Teks: Dian Amalia Ariani

Editor: Muhammad Rifaldy Zelan

Ilustrasi: Ferre Reza

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!