Jumat Sore (19/7) ba'da ashar, Jalan sepanjang daerah Kukusan Teknik (Kutek) terlihat sepi tanpa lalu lalang. Sesekali satu atau dua warga melintas. Namun, ramai riuh mahasiswa yang biasanya mewarnai Kutek meredup sejak libur semester genap dimulai dua bulan lalu.
Daerah Kutek merupakan daerah dengan banyak kos-kosan yang ditempati oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Selain daerahnya terjangkau dari kampus, harga kosan murah menjadikan Kutek sebagai primadona warga UI khususnya mahasiswa. Variasi kuliner dan ragam tempat berkumpul pun membuat Kutek menjadi ‘pusat’ kehidupan mahasiswa di UI.
Jalan sepanjang Pintu Kutek hingga Masjid Al-Hikam sepi tanpa lalu lalang mahasiswa.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran mahasiswa di Kutek memutar roda perekonomian masyarakat sekitar, terutama para pedagang. Akan tetapi, pada libur semester para mahasiswa akan menjalani kegiatan di luar kampus, entah itu pulang ke kampung halaman, mengikuti kegiatan magang, atau menjalani aktivitas di organisasi dan komunitas. Hanya segelintir yang masih bertahan di Kutek. Absennya mahasiswa membuat roda perekonomian tersendat, dan pedagang perlu memutar otak agar dagangannya laku terjual, atau setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di tengah sepinya Kutek yang bak pemakaman, terdapat sebuah gerobak kecil, bertuliskan Roti Bakar Pandowo Nyawiji.
Seorang perempuan paruh baya terlihat sedang duduk termangu menunggu pembeli, perempuan itu bernama Aisyah. Dirinya adalah yang melayani, memasak, dan menjaga gerobak Roti Bakar Pandowo Nyawiji.
“Kita tetap dagang, tapi kan ketika libur gini, kondisinya sepi, nggak seperti ketika nggak libur.” Tutur Aisyah menjelaskan kondisi dagangannya.
Aisyah sedang memanggang dua balok roti.
Aisyah menceritakan pemasukannya saat liburan tidak sebanyak ketika masa perkuliahan. Bahkan, saat berjualan di musim perkuliahan pun pendapatannya tidak seberapa. Biasanya sehari-hari ia dapat menjual paling banyak 11 balok roti. Satu balok roti seharga 10-15 ribu tergantung varian rasa. Ketika musim liburan tiba, ia hanya dapat menjual sekitar 3-4 balok perharinya.
Dengan rerata penghasilan 100-200 ribu perhari, Aisyah masih harus menanggung biaya ketiga anaknya. Anak pertama dan kedua tengah menjalani pendidikan pesantren. Sementara anak bungsunya belum sekolah, umurnya masih satu tahun setengah.
Bak jatuh tertimpa tangga, sudah dagangan sepi, harga pangan melonjak pula. Aisyah terpaksa mengurangi barang dagangannya dikarenakan harga belanjaan sedang naik. Bantuan dari pemerintah nihil. Terakhir kali ia mendapat suntikan dana dari sebuah bank.
“Itu dulu (bantuan dana) dari Bank Muamalat sih bekerjasama dengan Al-Hikam (sebuah pesantren di Kutek), bantuannya dalam bentuk uang. Alhamdulillah membantu, meskipun sedikit tetapi tetap membantu.” Terang Aisyah.
Dalam menjajakan dagangannya Aisyah tidak sendiri, sesekali ia bergantian dengan suaminya. Suami Aisyah bekerja sebagai dalang sekaligus pengrajin wayang kulit. Dari dunia pewayangan lah nama “Pandowo Nyawiji” berasal.
“Pandowo itu lambang ya, maksudnya kalau dalam pewayangan kan ada Pandawa Lima. Pandawa Lima itu anaknya Raja Pandu, itu lambang kebaikan, karena Pandawa Lima itu sering dijahatin oleh Duryodana, orangnya jahat sekali. Nyawiji itu artinya satu. Intinya Pandowo Nyawiji itu pandowo yang lima bersatu untuk menegakkan keadilan.” Jelasnya
Pekerjaan suami Aisyah sebagai pewayang turut membantu kondisi perekonomian keluarga. Meskipun, hari-hari setelah pandemi pesanan untuk menjadi dalang menurun. “Kalau dulu kan, suami saya pengrajin wayang kulit, dan sekarang pengrajin wayang kulit itu udah nggak seperti dulu (sebelum pandemi).”
Biasanya, acara seni yang dilakukan oleh mahasiswa UI turut mengundang suami Aisyah sebagai pengisi acara. Namun, berdasarkan penuturannya, penghasilan suami Aisyah sebagai pewayang masih belum mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apalagi sejak pandemi pesanan sebagai dalang makin minim didapati.
Dimsum Cairo
Tak hanya Kutek, daerah sekitar Stasiun Pondok Cina (Pocin) juga merupakan pusat aneka kuliner. Ada banyak sekali jajanan yang dijajakan di sekitar stasiun. Akan tetapi, berbeda dengan Kutek, Stasiun Pocin masih terbilang cukup ramai dikarenakan ini merupakan area yang banyak dilintasi oleh pengguna Kereta Rel Listrik (KRL).
Suasana Stasiun Pondok Cina Pada Jumat (19/7) lalu.
Meskipun begitu, nasib pedagang di sekitar Stasiun Pocin tidak jauh berbeda dengan pedagang Kutek. Tidak jauh dari stasiun, terdapat penjual makanan khas Korea bernama Dimsum Cairo.
Selain menjualkan dimsum, gerai ini juga menjual odeng (sebuah jajanan bakso ikan berkuah khas Korea). Penjual Dimsum Cairo bernama Sapto. Sudah setahun lamanya Sapto berjualan di Stasiun Pondok Cina.
Berdasarkan penuturannya, nama Cairo sendiri bukan berasal dari nama kota, melainkan berasal dari nama anak sulungnya. Anaknya saat ini masih berusia balita, dan ayahnya memutuskan untuk berjualan untuk membiayai keluarganya.
Yang diperjualkan Sapto: dimulai dari sosis, dimsum, hingga baso ikan, semuanya masih terlihat cukup penuh walau hari sudah sore.
Dirinya mengakui jika dia kesulitan untuk mendapatkan omzet yang dulunya sempat tinggi. “Waktu awal-awal sempat viral, itu omsetnya bisa sampai dua juta lebih, dua setengah, bahkan sampai hampir tiga juta (selama viral). Pokoknya bertahan dua bulan itu. Terus makin ke sini lama-lama menurun, terus terakhir pas bulan puasa itu masih bagus lah omsetnya. Sekarang paling mentok 800an (ribu) kalo sekarang,” ucap Sapto.
Liburnya mahasiswa UI membuat pemasukan Sapto menurun drastis hingga 50%. “Kadang bisa sampai 400 ribu bahkan 350 ribu (pemasukan saat mahasiswa libur). Iya turun banget. Apalagi di sini kalau saya amati nih, hari minggu tuh justru omsetnya kurang. Biasanya di sini kan sasarannya orang kerja sama mahasiswa. Minggu lebih berasa tuh (karena mahasiswa dan pekerja libur).” Tuturnya.
Sapto menyampaikan harapannya di tengah dinamika naik turun penghasilannya. “Harapannya sih pengennya stabil aja gitu pemasukannya, cuma kan banyak itu yang cerita di Pocin sini banyak yang mengeluh karena mulai sepi sekarang. Terus apalagi ditambah pedagang dari luar yang tanpa sewa dia masuk, itu berpengaruh (terhadap penghasilan), sih, sebenernya.” Tukas Sapto.
Warung Alo
Nama “Warung Alo” sudah melegenda di kalangan mahasiswa UI. Lokasi tempat makan Warung Alo terletak di daerah Belakang Rel (Barel). Daerah Barel sendiri merupakan tempat kos-kosan mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UI.
Foto selebriti Raditya Dika, pelanggan Warung Alo, yang dipajang di Warung Alo.
Pemilik Warung Alo merupakan pasangan suami-istri, bernama Suganda dan Eva. Asal usul nama “Nasi Alo” berasal dari mahasiswa FISIP UI bernama Alo yang meracik resep nasi. Resep nasi tersebut dicicipi oleh temannya dan temannya sangat menyukai resep nasi tersebut. Maka dari itu, apabila teman Alo ingin makan nasi buatan Alo, ia datang ke warung Suganda dan Eva untuk memesan Nasi Alo (nasi resep buatan Alo).
Semula, Warung Alo membuka usahanya di FISIP. Setelah bertahun-tahun berjalan mereka membuka cabang di Barel.
Dari sebuah dapur kecil, beragam lauk-pauk didagangkan, mulai dari yang melegenda Nasi Alo, Nasi Goreng Alo, Ayam Penyet, dan aneka lauk pauk lainnya.
Pasangan suami istri tersebut menargetkan mahasiswa sebagai target utama penjualan mereka.
Maka dari itu, apabila saat libur semester kampus tidak mengadakan kegiatan, hal ini berpengaruh terhadap pemasukan pasangan suami istri tersebut. “Mahasiswa ngekos udah berkurang (karena libur). Ini kan harusnya sebentar lagi masuk (kuliah), ya. Harusnya udah ada yang nyari (kos-kosan), (ternyata) nggak ada. Sekarang mah masih sepi, nggak ada kegiatan.” Tutur Eva.
“Makanya kalau nggak ada kegiatan mahasiswa berdampak banget. Nggak ada konsumennya, kan.” Sambungnya.
Sehari-harinya ketika masa perkuliahan berjalan, Warung Alo mendapatkan omzet sekitar dua juta rupiah. Ketika liburan tiba, pemasukan Warung Alo dapat menurun setengahnya. “Kalau sepi mah bisa berdampak banget masuknya. Setengahnya (dari penghasilan normal) banget. Belum buat belanja. Makanya berdampak banget, dah, kalau mahasiswa nggak ada. Berasa.”
Eva dan suami mengakali pemasukan dengan menggunakan layanan Go Food dan Grab Food agar jangkauan konsumen lebih luas. Akan tetapi, biaya potongan yang dikenakan aplikasi cukup besar dan memberatkan keduanya.
“Ada, Go-Jek dan Grab. Ya, cuma ada potongan juga, kan, dari aplikasi, haha. Tapi lumayan lah, mahal juga.” Kisah Eva dengan tawa getirnya. “Tapi, mendinglah, ada pemasukan, daripada nggak kejual makanannya. Jadi, ya begitu, dikit-dikit tapi ada.”
Teks: Dimas Azizi, Farhan Nuzhadiwansyah, M. Rifaldy Zelan
Foto: Dimas Azizi, Farhan Nuzhadiwansyah
Editor: Choirunnisa Nur F.
Pers Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas, dan Berkualitas!