Lampu Hijau Kampanye Pemilu di Kampus, Eksperimen Kuasipolitik atau Buta Sejarah?

Redaksi Suara Mahasiswa · 29 Agustus 2022
5 menit

Dalam sebuah pernyataan lisan yang disampaikan pada 23 Juli 2022 lalu, Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI), Hasyim Asy’ari, menyatakan bahwa pada Pemilihan Umum 2024 yang akan datang, peserta Pemilu diperkenankan menyelenggarakan kampanye di lingkungan fasilitas pendidikan, eksplisit di perguruan tinggi atau kampus. Dengan demikian, kampus yang selama empat dasawarsa terakhir ini dibatasi sebagai wahana politik praktis, kembali dilibatkan pada kontestasi elektoral mendatang.

Melalui pernyataan tersebut, Hasyim mengakali celah multitafsir yang tercantum dalam Pasal 280 angka (1) Undang-Undang No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, antara lain penjelasan pasal yang menyatakan bahwa kampanye diizinkan, asal memenuhi sejumlah persyaratan.

Syarat yang dimaksud antara lain larangan menggunakan atribut, undangan resmi dari pihak penyedia fasilitas, hingga kesetaraan kesempatan bagi masing-masing peserta untuk berkampanye. “Kalau capres ada dua, ya dua-duanya diberikan kesempatan. Kalau capresnya ada tiga ya diberi kesempatan semua. Kalau partainya ada 16, ya keenambelas partai diberikan kesempatan sama,” ujar Hasyim, sebagaimana dilansir dari Antara.

Pernyataan ini seketika menimbulkan polemik, meski sejumlah politikus, antara lain Ketua Komisi X DPR-RI, Syaiful Huda, dan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi, menyatakan dukungan terhadap rencana ini. Menurut Syaiful, kesempatan ini bisa digunakan oleh kampus untuk membuka diri sebagai mimbar politik dan menjadi bagian dari sosialisasi Pemilihan Umum 2024 sebagai momentum politik. Sementara menurut Viva, kampanye di kampus dinilai meningkatkan kualitas demokrasi, mendekatkan partai pada basis konstituen, dan memperkuat integritas pemilihan umum.

Cerita Pengap di Menara Gading

Pelibatan kampus dalam domain tarik-menarik politik partisan sejatinya bukan rencana baru. Republik ini pernah menjadi saksi gemuruhnya kampus dengan jargon-jargon politik sepanjang dekade 1960 hingga 1970-an. Organisasi ekstrakampus berfungsi ganda: melatih kemampuan berorganisasi, sekaligus menjadi basis pendukung dan kawah candradimuka bagi calon kader partai politik.

Pada masa tersebut, sejumlah organisasi ekstrakampus terkemuka bahkan terafiliasi pada partai politik, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dekat dengan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berpaut ke Nahdlatul Ulama, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasional Indonesia dan kemudian Partai Demokrasi Indonesia, hingga Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang satu payung dengan Partai Komunis Indonesia.

Bulan madu mahasiswa dan politik berlangsung selama sekitar 12 tahun antara 1966-1978. Semangat partisan menguat. Tak jarang terjadi jor-joran antarorganisasi yang berujung pada terbentuknya perkubuan. Sebaliknya, semangat ilmiah dan produktivitas mahasiswa dalam menghasilkan karya-karya intelektual yang bermutu cenderung rendah, bahkan diskusi ilmiah sekalipun tidak jarang menjadi ajang adu kuat karena keterbelahan dalam organisasi “Dewan Mahasiswa” setingkat BEM saat ini. “Kegagalan kampus terbina menjadi komunitas ilmiah adalah tanda ketidaksehatan kampus. Kampus sudah pantas dikualifikasi ‘tidak normal’. Maka sudah saatnya dinormalkan, dipulihkan kembali kesehatannya,” tukas Daoed Joesoef dalam autobiografi Anak Tiga Zaman: Rekam Jejak (2017, hal. 232).

Kebijakan menormalkan kampus yang dicanangkan Daoed, doktor lulusan Universitas Sorbonne yang diamanatkan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, kelak dikenal sebagai “Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan” atau NKK/BKK yang mulai diberlakukan pada 25 April 1978. Tujuan utama NKK/BKK, sebagaimana ditekankan berulang kali oleh Daoed, bukan semata-mata membersihkan kampus dari kegiatan politik ekstrauniversitas.

Daoed menekankan bahwa NKK/BKK bermisi mengubah kampus dari komunitas kuasipolitik, kembali menjadi komunitas ilmiah. Di dalamnya, Daoed menekankan agar semangat akademik dikembangkan, dan dengan demikian meningkatkan produktivitas sivitas akademika dalam menghasilkan karya-karya intelektual bermutu, konseptual, dan relevan bagi pembangunan bangsa dan negara.

Pula, Daoed tidak setuju jika kebijakan yang ia klaim berasal dari gagasannya ini disebut mematikan aspirasi politik mahasiswa. “Kebijakan NKK tidak hanya membenarkan, bahkan mendorong, mahasiswa berpolitik aktif di lingkungan kampus, dalam artian politik selaku ‘konsep’. Berpolitik dalam artian policy atau arena harus dilakukan mahasiswa di luar kampus, tetapi tidak mengatasnamakan kampus,” tekan Daoed (2017, hal. 237).

Meski demikian, kebijakan ini dirasionalisasi sebagai landasan bagi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib untuk membekukan “Dewan Mahasiswa” dan aktivitas kemahasiswaan. Inilah yang menyebabkan citra Daoed dikenang buruk di kalangan aktivis mahasiswa, bahkan ia diolok “nama dua nabi, kelakuan dua setan”.

Coba-Coba Salah Langkah

Berkaca dari semangat Daoed Joesoef empat puluh tahun lalu, keputusan KPU sebagai lembaga negara yang secara naif menerjemahkan kesadaran dan partisipasi politik dengan mengembalikan kampanye ke perguruan tinggi jelas berbanding terbalik. Coba-coba KPU yang sengaja “menceburkan” kampus ke dalam kontestasi politik praktis justru mengancam perjuangan kampus yang tertatih-tatih menjadi komunitas ilmiah dengan mengembalikannya sebagai komunitas kuasipolitik yang kontraproduktif dan memperkeruh politik kampus yang selama ini sudah centang-perenang.

“Kampanye, bagaimanapun bentuknya, tentu akan memantik kalangan pendukung masing-masing partai – di kalangan mahasiswa – untuk “unjuk gigi”. Bagi saya, langkah ini menunjukkan KPU kurang memperhatikan implikasi politis yang akan ditimbulkan dari penggunaan kampus sebagai sarana kampanye,” tegas Bagus Andika Pratama, mahasiswa Ilmu Politik 2021 saat ditemui Suara Mahasiswa.

Lebih lanjut, Bagus mempertanyakan urgensi kampanye dilakukan di lingkungan kampus yang notabene adalah lembaga akademik yang seharusnya netral dalam pertarungan politik praktis. Argumentasi tentang kesadaran politik mahasiswa dinilainya tidak relevan, terlebih karena budaya politik kampus yang masih identik dengan patronase politik. “Mungkin saja beberapa orang yang aktif pada [Pemilu] 2024] akan mencari ‘pengikut’ dari angkatan berikutnya, menurunkan legasi, dan berakhir menjadi tradisi yang melumpuhkan daya kritis sekaligus menjadikan kampus lebih pragmatis.”

Keprihatinan serupa juga diutarakan Andre Christoga Pramaditya, mahasiswa Fisika angkatan 2020. “Kampus adalah tempat mahasiswa memahami serta mempelajari ideologi politik tanpa harus bersentuhan dengan politik praktis. Kampus adalah tempat berbakti dengan menyebarkan kebaikan bersama (common good) yang sudah didapat oleh mahasiswa ketika bermasyarakat sebelumnya,” jelas Andre mengenai dasar pandangannya.

Bagi Andre, menumbuhkan kesadaran politik di kampus dan orang-orang di dalamnya melalui kampanye bukan langkah yang tepat. “Potensi mahasiswa sebagai manusia telah tergerus dan redup akibat politik praktis tidak memberi ruang untuk pembangunan proyek sosial di lingkungan kampus,” sesalnya. Andre pun mengingatkan analogi Prof. Slamet Iman Santoso, Bapak Psikologi Indonesia dan pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, bahwa mahasiswa adalah tanah liat yang masih mengembangkan diri sebelum terpapar arus deras suara partisan.

Ruang gerak ide adalah cara terbaik menumbuhkan kesadaran politik. Jika melihat beberapa tahun lampau, di mana acara bedah buku seringkali dibubarkan paksa karena mengulas topik yang ditabukan masyarakat seperti komunisme, Genosida 1965, dan pelanggaran HAM berat, hal itu justru bukti bahwa kesadaran politik sejati tidak akan tumbuh karena ditebas sebelum berkembang. “Politik reaksioner tidak akan membawa kita ke mana-mana selain keterpurukan,” ujar Andre.

Skeptisisme terhadap ekspektasi KPU juga terlintas di pikiran pegiat organisasi kampus. Azzam Dieter Hamardikan, Ketua Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya, mengaku bahwa ide dasar kebijakan ini cukup baik, karena calon pemimpin negara bisa diuji secara transparan, langsung di kalangan civitas academica sebagai golongan intelektual. Hanya saja, hipotesis bahwa kampanye akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik harus diuji ulang.

“Partisipasi kegiatan kemahasiswaan di dalam kampus terus menurun. Hal ini dilihat dari banyaknya calon tunggal dalam transisi kepemimpinan ormawa, dan keikutsertaan dalam kepanitiaan yang berkurang. Besar kemungkinan, [rencana] kampanye di kampus akan berakhir antiklimaks.” Sebagai ketua kelompok studi, tak lupa Azzam mengingatkan bahwa tanpa menjadikan kampus sebagai sarana politik praktis, semangat ilmiah sudah ngos-ngosan. “Saat ini, saya berpendapat akan cenderung memperparah [kelesuan semangat ilmiah]. Namun mengingat kita memasuki kuliah offline, perlu kita pantau beberapa waktu untuk melihat dinamikanya sebelum membuat keputusan lebih lanjut,” pungkasnya.

Teks : Chris Wibisana
Editor : Dian Amalia Ariani
Ilustrator : Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, Berkualitas