Kampus Aman Perlu Kontribusi dari Laki-Laki

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Februari 2021
3 menit

Pada Jumat (19/2), Magdalene melanjutkan serial Campus Online Talkshow keempatnya yang bertemakan “Ciptakan Kampus Aman: Laki-Laki Perlu Kontribusi”. Acara ini merupakan hasil kerjasama Magdalene dengan The Body Shop dan Yayasan Pulih untuk mengajak komunitas kampus turut serta menciptakan lingkungan kampus yang bebas kekerasan seksual. Dalam talkshow ini, Magdalene mengundang enam pembicara dari kalangan mahasiswa, psikolog, dan figur publik.

Talkshow diawali dengan pemaparan dari CEO The Body Shop Indonesia, Aryo Widiwardhono, mengenai kampanye “Stop Sexual Violence” yang diusung oleh The Body Shop Indonesia. Aryo menjelaskan bahwa dengan posisinya sebagai salah seorang laki-laki di perusahaan yang mayoritas karyawannya adalah perempuan. Melalui talkshow ini, ia ingin mengajak laki-laki ikut serta melawan kekerasan seksual, menghentikan kekerasan, dan mengedukasi sesama laki-laki untuk melawan kekerasan seksual.

Menurut Aryo, melibatkan laki-laki dalam pencegahan kekerasan seksual merupakan strategi yang tepat. Ia pun melanjutkan, “Khususnya di kampus, karena kita juga tahu (bahwa—red) kampus masih menjadi tempat yang rawan untuk terjadinya KS,”

Sikap Mahasiswa Laki-Laki terhadap Isu Kekerasan Seksual di Kampus
Najmi Auliya, salah satu pengurus inti Lembaga Pers Mahasiswa Kinday Universitas Lambung Mangkurat (LPM Kinday), menjelaskan bahwa LPM Kinday sempat mengadakan survei terkait kekerasan seksual di kampus. Terdapat 27 perempuan dan 13 laki-laki yang menjadi responden dari survei tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa 87,5% responden menyatakan bahwa keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan seksual adalah sangat penting. Dari survei yang sama, terdapat 9 responden yang pernah mengalami kekerasan seksual dan 1 di antaranya adalah laki-laki. Ia mengungkapkan bahwa LPM Kinday cukup kesulitan merangkul laki-laki untuk mengisi survei tersebut.

Selanjutnya, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Udayana, Oktava Anggara, menjelaskan bahwa BEM kampusnya pernah membuka kanal pendataan dan laporan pada bulan Desember tahun lalu untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di kampus. Melalui upaya tersebut, pihak BEM mendapatkan 73 laporan kasus kekerasan seksual di kampus yang didominasi oleh kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Ia juga menceritakan bahwa pihak BEM sempat mencoba untuk memperjuangkan salah satu kasus kekerasan seksual di kampus, namun upaya ini disambut dengan kurangnya support dari pihak kampus.

“Kampus ini kan sebenarnya berperan penting jadi stakeholder untuk menciptakan kampus yang aman, tapi kemarin saat kami sedang memperjuangkan kasus ini, itu kan kemarin cukup meledak karena muncul di beberapa media juga, kampus kami lihat takut kehilangan citra baiknya,” ungkap Oktava. Akibatnya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan pihak kampus pun tidak ditangani dengan baik dan ‘mandek’ begitu saja.

Selain tantangan berupa tekanan pihak kampus, Oktava juga menemukan tantangan dalam mengadvokasikan isu kekerasan seksual di kalangan mahasiswa laki-laki. Menurutnya, hal ini disebabkan banyak laki-laki yang mementingkan ego mereka dan adanya rape culture.

Solusi dalam Mengadvokasi Isu Kekerasan Seksual pada Laki-Laki
National Officer on Human Rights and Peace (NORP) CIMSA Indonesia 2017-2018, Husain M.F. Surasno, memaparkan tiga solusi yang dapat diterapkan. Solusi-solusi tersebut antara lain pertama, meninggalkan norma sosial yang selalu menyatakan stereotip laki-laki. Kedua, laki-laki menjadi pelopor dan pelapor. Ketiga, menciptakan ruang yang aman bagi semua orang. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama mencegah kekerasan seksual. Sebab, kekerasan seksual bukan hanya masalah sosial, tetapi juga terkait dengan kesehatan masyarakat.

Sementara itu, jurnalis independen, MC, dan entrepreneur, Rory Asyari, berpendapat bahwa untuk mengadvokasikan isu kekerasan seksual, perlu dilakukan di tingkat hulu dan hilir. Advokasi ‘hilir’ diperlukan untuk dilakukan suatu campaign yang memang didengar dengan menggunakan kampanye publik yang tepat sasaran. Sementara itu, advokasi di ‘hulu’ ditujukan kepada dosen, dekan, dan rektor yang mana mengadvokasikan kekerasan seksual kepada pimpinan kampus justru akan menyelamatkan nama kampus tersebut.

“Sudah saatnya komunikator, kita semua, menyampaikan narasi yang didengar oleh target audiens kita. Menggunakan sosok yang benar-benar cowok banget, laki-laki, untuk menyampaikan kepada sesama laki-laki bahwa apa yang kamu lakukan tidak benar dan harus dihentikan,” jelas Rory.

Senada dengan Rory, Psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, menjelaskan bahwa ketika berbicara mengenai maskulinitas dan gender, maka akan berbicara pula tentang nilai-nilai yang dipegang oleh seorang individu sedari kecil. Ika mengusulkan untuk menggunakan sudut pandang laki-laki. “Pertama, role model dari sesama laki-laki diperlukan. Kemudian juga pandangan-pandangan ‘loh kan gue kuat’ ya justru karena lo kuat lo perlu, lo bisa loh jadi pelindung untuk perempuan,” ungkap Ika.

Selain itu, Ika juga menjelaskan bahwa dalam mengkampanyekan isu kekerasan seksual, dapat diawali dengan muatan-muatan edukasi mengenai peran laki-laki dan perempuan terlebih dahulu. “Itu biasanya akan lebih diterima, dibanding langsung jder ‘gak bisa, kita harus setara’ karena itu emang udah konstruksi yang cukup kuat, agama, nilai-nilai sosial gitu,” jelas Ika.

“Makanya menggeser (perspektif -red) perlu smooth, pelan, pakai sudut pandang laki-laki, perlu pakai sudut pandang kepentingan laki-laki gitu,” pungkasnya.

Penulis: Ninda Maghfira
Foto: Ninda Maghfira
Editor: Faizah Diena

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!