Karena Tak Mau Tertipu: Anak Muda, Media Sosial, dan Pemilu Berbasis Isu

Redaksi Suara Mahasiswa · 7 Desember 2023
7 menit

Suara dan pilihan orang muda di Pemilihan Umum 2024 menjadi penentu arah dan hari depan Indonesia. Bukan sekedar dugaan, hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan salah satu fitur yang menjadi pembeda utama dalam kontestasi elektoral empat bulan lagi, ialah besarnya porsi partisipasi generasi Z (kelompok pemilih usia 17–23 tahun) dan generasi Milenial (kelompok pemilih usia 24–39 tahun). Fitur ini berdampak signifikan terhadap strategi para politisi yang memperebutkan ceruk suara orang muda agar dapat menduduki jabatan publik, setidak-tidaknya selama lima tahun ke depan.  

Sebagian orang muda telah memiliki pemahaman yang cukup baik tentang Pemilu. Mereka mengetahui bahwa suara yang mereka berikan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan menentukan siapa presiden, siapa  anggota parlemen, dan siapa kepala daerah mereka nantinya. Orang muda sepenuhnya sadar bahwa hak suara adalah hak dasar dalam demokrasi dan bahwa setiap suara memiliki nilai penting. Namun, sebagian besar dari mereka masih tidak sepenuhnya memahami seluk-beluk politik dan dinamika Pemilu.

Risma, salah satu pemilih pemula, mengatakan bahwa ia tidak terlalu banyak mengetahui tentang Pemilu. “Yang saya tahu, capres dan cawapresnya banyak. Terus, ini juga  kali ketiga Pak Prabowo nyapres,” ujar Risma kepada Suara Mahasiswa. Risma juga menyebut bahwa ia belum mengetahui visi dan misi masing-masing Calon. Ketika ditanya mengenai minatnya terhadap Pemilu, ia menunjukkan sikap acuh tak acuh. “Tidak begitu antusias karena siapapun yang terpilih jadi presiden dan wakil presiden tidak [akan] terlalu berpengaruh dalam hidup saya,” akunya.

Makna Suara Anak Muda

Pendirian Risma kiranya mewakili kegelisahan segelintir orang muda yang tidak sepenuhnya menganggap Pemilihan Umum 2024 sebagai hal yang penting. Hal ini, menurut akademisi hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, merupakan hasil sistem politik Indonesia yang menjadikan orang muda sebagai objek politik.

“Padahal, anak muda harus jadi subjek yang dapat memengaruhi atau berkontribusi menghasilkan pemimpin atau pemerintahan yang baik, sehingga suara mayoritas anak muda ini bisa punya daya tawar untuk mendorong kepentingan masyarakat,” tukas Titi kepada Suara Mahasiswa saat dijumpai di kantornya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (11/09).

Argumentasi Titi sepenuhnya beralasan. Pemilih muda, yang menempati suara 51% dari 204.807.222 DPT 2024, menjadi incaran politisi guna memenangkan Pemilu 2024. Hal ini tampak dari strategi para calon presiden untuk menarik atensi anak muda seperti Prabowo Subianto yang mengundang influencer sembari menyantap mie Gacoan, Anies Baswedan yang menonton animasi khas jepang (anime), serta Ganjar Pranowo yang rutin mengunggah konten di akun YouTube pribadinya. Capres dan cawapres yang akan bertanding menuju kursi RI 1 juga mengembangkan strategi media sosial untuk mendapatkan jutaan followers di akun media sosial mereka. Hal tersebut ditengarai akan memudahkan mereka untuk menyebarkan konten-konten kampanye kelak..

Dirincikan oleh context.id, jumlah pengikut media sosial capres paling banyak diraup Ganjar Pranowo di Instagram (6,3 juta) dan pada platform Tiktok (7,3 juta), Anies Baswedan pada aplikasi X (4,9 juta), dan Prabowo Subianto unggul di Facebook dengan (10 juta) pengikut. Hal serupa ditemukan di akun media sosial para calon wakil presiden, dengan jumlah pengikut media sosial paling tinggi dimiliki oleh Muhaimin Iskandar dengan jumlah pengikut 2,2 juta di platform Instagram dan 1,1 juta pengikut di akun Facebook, disusul Mahfud MD sebesar 4,3 juta pengikut di platform X, serta Gibran Rakabuming Raka yang mendapat 345,4 ribu pengikut di platform Tiktok.

Dengan jumlah pengikut sedemikian besar dan strategi kampanye yang niscaya difokuskan di media sosial, sudah waktunya orang muda mempersiapkan diri menjadi pemilih rasional, dengan memilah kampanye berbasis isu dan bukan berbasis popularitas tokoh semata-mata, serta mengurangi apatisme terhadap politik elektoral. Hal tersebut sejalur dengan pernyataan dari Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik sekaligus dosen Ilmu Politik FISIP UI, Hurriyah.

“Sayangnya, memang kalau kita lihat tren beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan anak muda itu cenderung apatis terhadap politik, terutama politik elektoral. Ngomongin Pemilu, ini bukan sesuatu yang unik terjadi di Indonesia, tetapi bahkan di negara-negara maju sekalipun. Misalnya, riset yang dibuat oleh Cammerts tahun 2016 memperlihatkan bahwa di banyak negara-negara Eropa itu anak muda cenderung apatis bahkan tidak memilih atau golput, tetapi mereka tetap meyakini bahwa Pemilu dan demokrasi itu penting.”

Temuan Hurriyah sejalan dengan hasil jajak pendapat KOMPAS pada pertengahan Agustus 2022 lalu bahwa selain isu elektoral, orang muda relatif apolitis. Lima dari sepuluh partisipan muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali. Hanya seperempat responden yang mengikuti isu politik nasional maupun lokal. Hanya 16 persen di antaranya yang menyatakan sering dan 9,4 persen yang menyatakan selalu mengikuti. Hal ini menunjukkan, orang muda sejatinya tidak buta politik, tetapi kecenderungan menjauhkan diri dari politik elektoral, sangatlah tinggi.

“Bukan karena mereka nggak ngerti politik, tetapi lebih pada faktor kekecewaan ketika melihat kondisi politik dan elektoral di negaranya masing-masing, termasuk saya kira di Indonesia,” ungkap Hurriyah.

Kekecewaan yang terwujud menjadi apatis politik ini kemudian dapat menyebabkan kualitas Pemilu menurun dikarenakan irasionalitas pemilihnya, di antaranya anak muda yang “asal pilih” karena enggan mendalami calon yang akan dipilihnya. Hal ini dapat dilihat dari alasan di balik elektabilitas tiga bakal capres oleh anak muda. Survei Litbang Kompas pada Agustus 2023 mencatat rata-rata elektabilitas Prabowo Subianto berada di angka 24,5%, disusul oleh Ganjar sebesar 22,8%, dan Anies Baswedan 13,6%. Tampak bahwa elektabilitas Prabowo Subianto lebih unggul dibanding Capres lain dengan pemilih yang didominasi pemilih usia 17-26 tahun alias Gen Z.

Jika diamati lebih lanjut, beberapa pengamat politik menilai bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi unggulnya suara Prabowo dari gen Z. Dilansir dari BBC, salah satu alasannya, yaitu persona Prabowo dan cara pendekatannya yang lebih merangkul generasi muda. Beberapa waktu lalu, misalnya, Prabowo mengunggah foto kucing peliharaannya. Hal ini tentu disambut ramai para pengguna media sosial, terutama Gen Z. Cara itu, antara lain merupakan strategi rebranding Prabowo Subianto agar tampak merangkul dan terbuka kepada aspirasi orang muda.

Medium Disrupsi?

Temuan lain yang menggambarkan peran vital orang muda dalam Pemilu 2024 adalah survei CSIS Perilaku Digital Pemilih Muda pada 2022. Survei tersebut menunjukkan bahwa media sosial merupakan sumber informasi utama bagi sebagian besar anak muda dengan persentase 59%. Tak heran, media sosial menjadi panggung sandiwara para politisi, dan efektif menjadi alat kampanye melalui algoritma-algoritma yang dapat diatur sedemikian rupa.

Ujung-ujungnya, pemilu kembali berbasis tokoh, bukan berbasis isu dan pilihan beralasan, melainkan karena pemilih semata terpikat citra yang dibangun oleh para tokoh di media sosial. Citra elok dikedepankan. Gagasan orisinal dibuang ke belakang.

Sebagai instrumen, media sosial sangat efektif untuk memancing perhatian, mendapat reaksi spontan, sekaligus membangun citra populis yang muluk-muluk, alih-alih mengedepankan pertukaran gagasan orisinal yang kritis dan bermutu. Hal ini sangat menguntungkan bagi para calon untuk dengan mudah memikat anak muda. Strategi gimmick dan pemolesan citra pun dilakukan sedemikian rupa, dengan tetap membiarkan para pemilih tidak menemukan ide atau konsep kepemimpinan yang akan dibawa.

Media sosial dimanfaatkan para pelaku politik dengan mengatur algoritma untuk menggaet suara anak muda. Berkaca dari skandal Cambridge Analytica yang menggunakan data pengguna Facebook guna pemenangan kampanye mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pada 2016 silam, diperlukan kehati-hatian ekstra dalam menggunakan media sosial untuk kepentingan politik ini. Terpaut dengan hal itu, jumlah informasi yang berlimpah berpotensi menimbulkan tersebarnya berita palsu (hoaks).

Try Luthfi Nugroho, Public Affairs Lead Think Policy dan Bijak Memilih, menyatakan keprihatinannya, “Di luar sana ada banyak pihak yang sengaja menyebarkan informasi yang salah atau hoaks. Mereka melakukan hal tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Sehingga, kita perlu lebih skeptis dan juga bijak dalam mencerna informasi yang beredar di publik,” ujar Luthfi dalam wawancara tertulis yang diterima Suara Mahasiswa.

Ketua BEM FISIP UI 2023, Rafka Rilo pun juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai penggunaan media sosial sebagai sumber informasi sehubungan banyaknya ketidaknetralan di media saat ini.

“Kita tidak boleh percaya dengan satu sumber informasi saja karena tidak ada informasi yang sepenuhnya netral. Saran saya, kita harus melakukan fact checking terhadap informasi yang kita dapat guna memastikan informasi yang dikeluarkan itu kredibel. Jadi enggak boleh percaya dengan satu sumber informasi aja,” tutur Rafka.

Masa Depan di Tangan Rational Voters

Signifikansi partisipasi politik orang muda, antara lain melalui Pemilihan Umum, kembali ditegaskan Hurriyah. Menurutnya, ada kepercayaan teoretis dalam ilmu politik yang meyakini bahwa orang muda mempunyai peran sebagai agensi perubahan. Sebagai penyandang gelar itu, terbentuklah penggunaan hak pilih anak muda sebagai voters, yaitu dengan menjalankan kewajiban Demos (rakyat) dalam mengawasi praktik Cratos (kekuasaan).

Hal tersebut senada dengan pernyataan tertulis Try Luthfi Nugroho bahwa untuk bisa memilih dengan bijak, kita perlu mengetahui beberapa hal. Salah satunya dengan melakukan riset melalui internet terkait partai politik mana saja yang menaruh perhatian terhadap isu-isu penting. Ia menambahi, bahwa anak muda perlu melihat rekam jejak partai politik serta kandidat yang diusung oleh partai tersebut.

“Bijak Memilih telah meluncurkan website yang merangkum dan menguraikan informasi relevan serta kredibel untuk teman-teman pemilih muda. Mulai dari isu penting, rekam jejak partai politik, dan nantinya adalah terkait rekam jejak kandidat,” tulisnya.

Tsamara Amany, selaku politikus muda menyampaikan gagasan mengenai isu yang menurutnya perlu diprioritaskan anak muda dalam pemilu 2024. Pertama, mengenai masalah lapangan pekerjaan. Bagaimanapun, menurutnya, lapangan pekerjaan merupakan permasalahan yang perlu dikawal. Ia berpendapat bahwa anak muda perlu memastikan dan mengembangkan skill yang mereka miliki dengan menyesuaikan situasi zaman.

Kedua, bersuci dari korupsi. Tsamara menyatakan bahwa permasalahan transparansi dan akuntabilitas menjadi persoalan yang krusial dalam perpolitikan di Indonesia. Upaya memerangi korupsi haruslah menjadi prioritas utama bagi semua pemangku kepentingan. Hal ini, menuntut tindakan nyata dari para kandidat untuk memperkuat sistem pengawasan dan mendukung upaya pemberantasan praktik-praktik yang merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan.

Ketiga, isu mengenai perempuan. Isu ini kian memudar di tengah hiruk pikuk persoalan di Indonesia. Tsamara menyebut, banyak orang yang menyadari kegentingan mengenai isu perempuan dan lagi-lagi yang muncul untuk bersuara adalah aktivis-aktivis perempuan.

“Maka dari itu, Indonesia perlu wakil rakyat dan pemimpin yang mau mengedepankan isu perempuan secara progresif,” tuturnya saat diwawancarai di Balai Purnomo Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI pada Rabu (30/08/2023).

Terakhir, Tsamara menambahi bahwa terdapat satu isu yang tengah ramai dibicarakan di Indonesia, yaitu terkait polusi udara. Ia menganggap bahwa isu ini cukup memiliki pengaruh yang besar terhadap masa depan lingkungan, terutama di Indonesia. Menurutnya, polusi udara merupakan salah satu aspek dari banyaknya persoalan lingkungan yang mengendap di Indonesia.

“Jadi, 4 isu itu harus kita bicarakan sebagai anak muda karena at the end of the day, isu ini adalah isu masa depan dan yang akan hidup di masa depan ini adalah kita,” tutur Tsamara.

Pemilih muda Indonesia diharapkan dapat beralih dari pemilu berbasis tokoh ke pemilu berbasis isu, seiring dengan perannya selaku pemegang kontribusi suara terbesar pada pemilu 2024 mendatang. Pemilu berbasis isu dipandang sebagai pemilu yang ideal dengan terpilihnya seorang pelaku politik berdasarkan pertimbangan pemilih atas isu yang hendak diselesaikannya hingga tuntas, bukan karena identitas yang ia bawa atau pesona ketokohan yang dimilikinya.

Liputan ini merupakan kontribusi dari fellowship "Pemilu dan Anak Muda" yang diselenggarakan oleh Perludem dan telah ditayangkan pada 18 November di situs Rumah Pemilu.

Reporter : Choirunnisa Nur Fitria, Sarah Baasir
Editor  : Chris Wibisana
Ilustrasi  : Ferre Reza

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!