Kasus KS Dekan FISIP Unri: Antara Relasi Kekuasaan dan Keadilan Bagi Korban

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Juni 2022
5 menit

Sore itu, massa aksi yang berasal dari Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual berjalan sepanjang Jalan Veteran menuju ke arah Mahkamah Agung (13/06). Konon, di dalam gedung tersebut, tengah berlangsung proses kasasi terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswinya di Unri pada Oktober 2021 lalu. Dengan berbekal harapan untuk dapat menyuarakan keresahan mereka, massa aksi berjalan berbaris membawa berbagai macam poster dan buket mawar putih sepanjang jalan.

Naas, belum sempat menginjakkan kaki di depan Gedung Mahkamah Agung, datang segerombolan pasukan berseragam abu-abu menghadang langkah mereka dan membentuk barikade. Aparat kepolisian bersikeras bahwa massa aksi belum mengantongi izin untuk dapat menggelar aksi di depan Gedung Mahkamah Agung. Salah satu aparat kepolisian berargumen bahwa area Mahkamah Agung tergolong ke dalam ring I—artinya, segala tindakan demonstrasi tidak boleh dilakukan langsung di depan Mahkamah Agung, melainkan harus dengan jarak minimal 500 meter. Hal ini menjadi pertanyaan karena di tahun 2021 terdapat aksi yang diselenggarakan di depan MA tanpa adanya hambatan seperti ini.

Setelah melalui proses negosiasi yang cukup berliku, massa aksi akhirnya sepakat untuk berpindah lokasi ke Patung Kuda Arjuna Wiwaha.

Kilas Balik Kasus Unri

September 2021 lalu, media sosial diguncang dengan mencuatnya kasus kekerasan seksual yang diangkat oleh kanal Instagram @komahi_ur. Melalui video berdurasi sepuluh menit tersebut, kamera menyorot seorang perempuan yang bercerita mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbing terhadapnya.

Kasus ini berawal dari kejadian tak senonoh yang dilakukan pelaku kepada korban pada Rabu, 28 Oktober 2021 silam. SH yang merupakan dosen pembimbing korban dan Dekan FISIP Unri, melancarkan aksinya ketika korban sedang melakukan bimbingan skripsi di ruangan pelaku. “SH berkata, “mana bibir, mana bibir,” sambil memegang wajah, lalu mencium pipi, dan memegangi bahu korban dengan erat,” ujar Annisa Rumondang perwakilan Kepresma Trisakti. Setelah kejadian ini, korban merasakan trauma mendalam sehingga ia kesulitan melanjutkan studinya.

Tak tinggal diam, akhirnya korban melaporkan kekerasan seksual ini kepada pihak berwajib dengan bekal bukti lie detector (pelaku terbukti berbohong ketika menyangkal tuduhan), bukti tes psikologis, hingga saksi. Namun, Pengadilan Negeri Riau dengan komposisi tiga hakim yang semuanya laki-laki ini, berdalih bahwa tidak ada saksi yang menyaksikan langsung kejadian dan tidak ada kekerasan fisik yang terjadi. Sehingga, SH berhasil lolos dengan vonis bebas dari segala tuntutan.

Keterangan dari KOMAHI FISIP Unri

Sore itu, setelah orasi selesai, kami berkesempatan untuk sedikit berdialog dengan Agil, perwakilan KOMAHI Unri  (Himpunan Mahasiswa Internasional Unri) mengenai berbagai hal dari kasus tragis ini.

Pertama, tentang pelaku yang memiliki jabatan penting dan tuntutan balik kepada korban. SH yang notabene merupakan dosen sekaligus dekan FISIP Unri memiliki pengaruh yang cukup besar. “Mahasiswa Unri pasti tahu bahwa SH ini memang sering menunjukkan bahwa ia memiliki kekuasaan. Seperti memasang foto profil Whatsapp dirinya dengan berbagai tokoh penting, mulai dari Kapolda hingga foto bersama presiden,” terang Agil kepada kami.

Bahkan, SH juga digadang-gadang menjadi calon rektor Unri mendatang. Dengan status ini lah, SH memelintir dan mengklaim bahwa kasus ini merupakan politik kotor yang berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Tak sampai di situ, SH juga menuntut balik pihak korban beserta KOMAHI Unri dengan Undang-Undang ITE mengenai pencemaran nama baik.

Di samping itu, ada berbagai kejanggalan dalam proses pengadilan di Pengadilan Negeri Riau. Selain bukti lie detector dan tes psikologis yang tadi telah disinggung, pihak korban didampingi dengan KOMAHI Unri serta LBH Riau juga membawa 16 saksi ahli yang salah satunya merupakan sekretaris dari SH sang pelaku.

“Ada 16 saksi yang dipanggil, dan itu tidak dipertimbangkan sama sekali oleh para hakim. Padahal setiap saksi tersebut saling berkesinambungan. Salah satu saksi–yang merupakan sekretaris pelaku–telah menguak kebohongan licik pelaku yang mendesaknya untuk menyangkal kasus ini dengan dalih ia (sekretaris) berada di ruangan yang sama waktu kejadian terjadi. Akhirnya, saksi ini membongkar bahwa hal itu tidak benar, dan ia tidak ada di TKP. Hal itu pun bahkan tidak dihiraukan sedikitpun oleh para hakim,”  jelas Agil.

Tantangan korban dalam memperjuangkan keadilan tidak berhenti sampai di situ. Vonis bebas dari segala tuntutan bagi pelaku yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri Riau membuat korban sangat terpukul. “Setelah vonis bebas itu, kondisi psikis korban pastinya sangat menurun. Berbagai diagnosis baru muncul karena keadaan ini, bahkan korban  menunjukkan indikasi-indikasi menyakiti diri sendiri,” ujar Agil.

Hingga saat ini, pihak kampus juga bersifat sangat pasif dan tidak pernah sekalipun berusaha untuk turut membantu dan berpartisipasi agar keadilan di kasus ini dapat tercapai. Selain itu, semangat mahasiswa Unri yang awalnya menggebu-gebu untuk turut serta membantu korban mulai meredup. Hal yang sama juga terjadi di khalayak umum di mana euforia sudah tidak ada lagi untuk menyuarakan dan mendesak pihak berwajib dalam memberi keadilan bagi korban.

Kondisi Terkini

Aksi simbolik 13 Juni 2022 kemarin ini diselenggarakan untuk menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa kasus pelecehan seksual yang dulu sempat mendapat perhatian yang begitu besar belumlah berakhir. Justru pelaku dengan mudahnya melenggang bebas tanpa tuntutan. “Aksi ini dilakukan untuk meminta dukungan masyarakat lagi agar korban dapat segera mendapat keadilan yang sepatutnya.

Besok (14 Juni 2022) akan dilakukan eksaminasi, di mana putusan Pengadilan Negeri Riau diserahkan ke Mahkamah Agung untuk ditindak lebih lanjut,” terang Annisa.  Kuasa hukum korban memang mengupayakan langsung ke tindakan kasasi di Mahkamah Agung karena vonis yang diberikan oleh Pengadilan Negeri berupa vonis bebas dari segala tuntutan. Pihak korban sangat mengharapkan bagi majelis hakim di tingkat kasasi dapat melakukan proses pengadilan yang seadil-adilnya tanpa ada unsur-unsur lain.

Dalam aksi yang cukup panjang dan berliku ini, massa memiliki berbagai tuntutan yang disuarakan. Putusan vonis bebas bagi SH tidak akan hanya berdampak bagi kasus-kasus kekerasan seksual di Universitas Riau semata, tetapi juga memberikan nuansa yang begitu pesimistik bagi para penyintas yang ingin atau telah melaporkan kekerasan seksual ke pihak berwajib. Aksi ini juga merupakan bentuk kecaman dalam segala bentuk kekerasan seksual, khususnya di lingkungan kampus. Orasi selalu menekankan betapa kampus seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan inklusif bagi seluruh civitas akademika.

Massa juga menuntut agar majelis hakim selama proses pemeriksaan perkara dapat benar-benar melaksanakan nilai-nilai dari Perma No. 3 Tahun 2017 mengenai Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Dalam Perma dinyatakan bahwa asas majelis hakim dalam mengadili perempuan ialah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, serta kemanfaatan dan kepastian hukum. Disebutkan juga dalam peraturan tersebut bahwa majelis hakim harus mengidentifikasi fakta mengenai ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, dampak psikis yang dialami korban serta relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi berdaya.

Massa pun mendesak pemerintah untuk turut serta aktif dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual ini untuk dapat memulihkan rasa keadilan bagi korban. Tentunya, dengan adanya perhatian khusus dari pemerintah, korban dan penyintas lain merasa bahwa mereka didukung penuh oleh negara dalam memperjuangkan hak-haknya.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi juga tak luput dalam tuntutan aksi ini. Massa menuntut Kemendikbud Ristek untuk segera menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku pelecehan seksual ini. Dalam orasi Agil, perwakilan KOMAHI FISIP Unri juga menekankan agar kementrian  segera melakukan sikap karena pelaku sendiri telah mengakui di konferensi pers bahwa ia menyentuh bahu korban. Tindakan itu, dalam permendikbud termasuk dalam pelecehan seksual.

Teks : Dita Damara

Kontributor : Syifa Nadia

Foto : Aditya Gumay

Editor : Kamila Meilina

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!