Logo Suma

Keamanan di PSBB Transisi: Apakah Nongkrong Sudah Aman?

Redaksi Suara Mahasiswa · 29 Juli 2020
4 menit

By Trisha Dantiani H.

Sejak awal Juni, masyarakat di beberapa provinsi mulai memasuki masa PSBB Transisi, di mana bisnis-bisnis mulai beroperasi kembali. Oleh karena itu banyak yang mulai menjuluki periode ini sebagai new normal, sebagai tanda bahwa masyarakat telah menerima bahwa realita tidak akan kembali “normal” lagi dan kita harus mulai membiasakan diri dengan keadaan seperti sekarang.

Menurut Syahrizal Syarif, dosen Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, waktu pelonggaran pembatasan pergerakan atau PSBB Transisi masih belum tepat dilaksanakan di Indonesia. Alasannya, karena Indonesia belum memenuhi enam persyaratan WHO yang harus dipenuhi agar sebuah negara bisa melakukan pelonggaran pembatasan pergerakan.

“Nah itu kalau lihat dari 6 syarat itu, yang keenam adalah masyarakat yang berdaya dalam artian memahami betul bahaya COVID-19 dan mengikuti protokol kesehatan. Nah ini yang keenam ini parah banget, dari survei-survei perilaku diketahui baik masyarakat Jakarta maupun masyarakat Surabaya itu sangat tidak disiplin menggunakan masker, jaga jarak. Situasi itu diperparah karena saat ini kita sudah melonggarkan pergerakan dengan menetapkan kebijakan dan perhatian yang lebih dituju lebih terfokus pada pemulihan ekonomi, ya. Meskipun begitu, protokol kesehatan tetap harus diikuti tapi di situasi yang akan lebih longgar.” tutur Syahrizal

“Nah, prinsipnya, setiap ada pelonggaran. Setiap itu meningkatkan frekuensi pertemuan orang per satuan waktu. Meningkatkan probabilitas penularan, meningkatkan durasi orang sakit di masyarakat. Nah ketiga hal itu akan memicu penularan, jadi sudah pasti konsekuensi dari pelonggaran itu adalah penularan akan terus berlangsung dalam waktu yang lama. Engga akan bisa terjadi secara ajaib tiba-tiba kasus menghilang, itu engga mungkin.”

Salah satu perubahan yang paling terlihat dari pergerakan new normal ini adalah dibukanya kembali mall dan restoran atau kafe yang dilengkapi dengan protokol-protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran COVID-19 seperti adanya perbatasan jarak dalam antrian (1 meter), tempat duduk yang disilang dan diberi jarak, dan pembatasan angka pengunjung ke suatu restoran atau outlet belanja.

Saska Diandra, mahasiswa FEB 2016, sudah mengunjungi Pacific Place dan Kota Kasablanca masing-masing sekali selama PSBB Transisi mengenakan masker dan baju panjang.

“Protokolnya pake masker, hand sanitizer sebelum masuk toko, terus jaga jarak. Yang benar-benar baik kayanya gaada deh, soalnya density-nya masih tinggi tapi di mall yg gue datengin dua-duanya baik semua outlet-outlet-nya,” Ujar Saska.

Namun ia merasa yang perlu diperbaiki adalah jarak nya masih belum cukup dibatasi dan seharusnya tempat makan setelah pergantian orang disemprot desinfektan.

“Dibilang efektif gatau sih soalnya gatau apakah dengan protokol tersebut resikonya berkurang atau tidak.”  tambah Saska.

Dicky Ahmad Giffari, FISIP 2018, pernah memilih untuk duduk di sebuah kafe sekitar Kemang karena tempatnya terlihat cukup sepi dan nyaman, meski di awal ia hanya berniat take away.

“Kalo gue pribadi sih masih takut ya, kecuali tempatnya cukup sepi itu lumayan berani ‘deh. Yang gue takutin itu kalo gue bawa penyakit ke orang rumah sedangkan gue bisa jadi (terlihat -red) sehat-sehat aja,” kata Dicky

Tempat yang ia kunjungi memeriksa suhunya dengan thermogun, menyediakan hand sanitizer dan menerapkan protokol physical distancing pada meja dan tempat duduk, sehingga ia merasa cukup aman namun ia sadar bahwa peluang penyebaran virus akan tetap ada.

“Hmm, overall udah oke sih (penerapan protokol kesehatannya -red) jadi menurut gue ga ada yg perlu diperbaiki. Udah cukup konsisten aja untuk selalu menjalankan protokol ke pengunjung,” tambah Dicky.

Faris Abdurrachman, FEB 2017, mengakui sudah beberapa kali pergi ke Mall Margonda City untuk refreshing dan melepas diri dari kebosanan dalam kost

“Gue waktu itu visit ZARA, terus mereka implementasinya lumayan bagus, entry point tokonya dibatasi, terus selalu ada satpam yang jaga. Starbucks juga sama dan staf starbucks selalu ngasih peringatan ke orang-orang yang ngobrol berhadapan. Kalo yang buruk, fast food sih, mereka ga peduli sama customer yg deketan atau banyak ngobrol. Mungkin karena kurang orang (karyawan -red) juga sih,” ujar Faris

Faris mengakui ia tidak terlalu takut pergi ke tempat umum karena ia sadar risiko untuk golongan muda relatif rendah dan selama ia tetap menggunakan masker dan hand sanitizer ia rela menanggung risiko.

Syahrizal sendiri menyatakan bahwa dirinya sendiri sudah beberapa kali pergi keluar rumah dan ke mall seperti Grand Lucky.

“Nah kalau kamu menyebut mall, yang saya amati beberapa kali saya ke mall. Mall itu sebetulnya bukan lokasi yang beresiko, tidak. Beda kalau kita bicara di Singapura, ada yang namanya Mustafa, itu mall retail besar yang menjual barang-barang dengan harga terjangkau sehingga ramai sekali. Denagn kondisi seperti itu, susah menerapkan physical distancing dan akhirnya menjadi cluster kasus. Tapi kalau mall-mall di Jakarta, tepat sekali melakukan protokol kesehatan. Jadi saya lihat resikonya rendah (selama konsisten menjalankan protokol kesehatan -red).”

Namun, ia juga melihat adanya kekurangan sistem “Belanja Satu Arah” yang seharusnya diterapkan di mall dan pusat perbelanjaan dengan ditempelnya panah-panah pergerakan untuk diikuti pengunjung selama berbelanja agar orang tidak berpapasan muka karena hanya bergerak satu arah. Tetapi, hal tersebut sulit diimplementasikan karena masyarakat terkadang sulit mengikuti tanda tersebut dan banyaknya pintu keluar dan masuk di mall-mall tertentu.

“Di situasi saat ini, upaya kita menanggulangi COVID-19 berupaya mengurangi pergerakan. Tapi ternyata ‘kan dampaknya besar sekali ke sosial ekonomi. Pemerintah Indonesia sudah tidak sanggup lagi menanggung beban ekonomi sehingga ekonomi kita harus dipulihkan dalam situasi apapun. Oleh sebab itu, masyarakat kemudian dihimbau ataupun diperkenalkan dengan kata-kata adaptasi kehidupan baru, ya, hidup produktif tapi tetap jaga protokol kesehatan, new normal. Tapi intinya menurut saya adalah apapun kehidupan yang dijalani tidak boleh perilakunya turun dari protokol kesehatan yang minimal, apa yang minimal? Itu pakai masker, jaga jarak, kebersihan tangan. Tiga itu tidak bisa ditawar dalam situasi wabah,” Tutup Syahrizal.

Teks: Trisha Dantiani H
Foto: Anggara Alvin I.
Editor: Faizah Diena Hanifa

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, Berkualitas