Kebakaran Lapas Tangerang: Efek Puncak Pengabaian HAM dalam Penjara

Redaksi Suara Mahasiswa · 2 Oktober 2021
6 menit

Baru-baru ini, kita mendapatkan kabar duka dari dunia Lembaga Pemasyarakatan Indonesia. Pada 8 September 2021, Lapas Blok C II di Lapas Kelas I Tangerang dihuni oleh 122 warga binaan mengalami kebakaran. Insiden tersebut telah menewaskan 49 narapidana, sedangkan 73 lainnya mengalami luka-luka. Kebakaran tersebut disebabkan oleh korsleting arus listrik. Polisi menetapkan tiga petugas penjara sebagai tersangka karena telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian. Minimnya teknologi peringatan kebakaran dan pembuka otomatis sel penjara menunjukan kurangnya fasilitas pada penjara di Indonesia (BBC.com, 2021).

Dalam opini ini penulis tidak ingin membahas lebih jauh mengenai teknologi apa yang bisa menjadi solusi dalam mencegah kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan. Lebih dari itu, penulis ingin membahas lebih luas mengenai faktor struktural (hukum dan sosial) sebagai penyebab permasalahan Lapas di Indonesia. Laporan dari ICJR menunjukkan pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh Jaksa dan Hakim dari pada bentuk pidana lain (ICJR.com, 2021). Sistem peradilan pidana ini mengakibatkan beberapa Lapas di Indonesia mengalami overcrowding. Kondisi Lapas yang sudah overcrowding sendiri menghambat upaya mitigasi tahanan dalam kondisi darurat, misalnya kebakaran.

Narkoba dan berbagai jenis kejahatan jalanan sangat rentan mendapatkan putusan pemenjaraan. Hal ini disebabkan minimnya akses bantuan hukum di Indonesia terutama bagi mereka yang memiliki status ekonomi ke bawah. Padahal, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Melalui prinsip ini, seseorang berhak untuk diperlakukan sama, termasuk bagi rakyat miskin yang sedang bermasalah dengan hukum. Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Dalam laporan ICJR yang berjudul “Strategi Menangani Overcrowding di Indonesia: Penyebab, Dampak dan Penyelesaian” manipulasi dalam penyidikan berkontribusi pada meningkatnya jumlah tahanan. Dalam laporan ICJR, pada tahap penyidikan tidak jarang orang yang disangka melakukan kejahatan dipaksa untuk mengakui perbuatannya demi mempercepat proses persidangan. Prosedur administrasi yang dilakukan juga sering kali bertentangan dengan hukum sehingga memunculkan korban salah tangkap (ICJR, 2018:38).

Tingginya angka pemenjaraan di Indonesia juga menunjukan bahwa negara sering kali melupakan alternatif pemidanaan lain seperti rehabilitasi terutama pada kasus penyalahgunaan narkoba dan restorative justice.  Meskipun UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merumuskan dalam beberapa pasal soal pentingnya pendekatan kesehatan, namun hingga 26 Juli 2021 sekitar 51,8 persen atau terdapat 139.088 warga binaan kasus narkotika dari total 268.610 penghuni lapas dan rumah tahanan (rutan). Keberadaan UU ITE juga berpotensi munculnya praktik kriminalisasi. Meskipun pada awal 2021  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta mekanisme UU ITE mengutamakan prinsip restorative justice, disaat yang sama sudah tercatat 18 korban dikriminalisasi oleh pasal tersebut (Tirto.id, 2021).

Konsep restorative justice sendiri memandang kejahatan memerlukan penyelesaian yang melibatkan korban, masyarakat, dan pelaku. Fokus utama dari restorative justice bukan pada pemberian hukuman pemenjaraan, melainkan memperbaiki hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat (Braithwaite, 1996: 15). Korban kejahatan yang mengalami trauma akibat pengalaman viktimisasi membutuhkan dukungan dari komunitas dan keluarganya. Pemenjaraan terhadap pelaku sering kali mengabaikan hak korban. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban sering kali disalahkan atas viktimisasi yang dialaminya sendiri (victim blaming).

John Braithwaite (1996) kembali menegaskan bahwa membangun lebih banyak penjara menciptakan masalah kejahatan menjadi lebih buruk. Stigmatisasi terhadap tahanan memperkuat identitas kriminal di dalam penjara. Alih-alih berfungsi sebagai penggentarjeraan, penjara pada akhirnya hanya dimanfaatkan sebagai “lembaga pendidikan” untuk mempelajari keterampilan kejahatan baru (Braithwaite, 1996: 12). Hal ini bisa dibuktikan dari temuan beberapa kasus transaksi narkoba yang terjadi di dalam Lapas. Tertutupnya penjara juga berpotensi pada tidak terungkapnya berbagai praktik kekerasan, baik antara petugas sipir dengan narapidana maupun sesama narapidana.

Para penghuni Lapas merupakan kelompok rentan yang mengalami praktik kekerasan baik dari petugas sipir atau sesama tahanan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut kekerasan yang dilakukan oleh sipir di Lapas lebih banyak terjadi dibandingkan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berdasarkan data KontraS pada Juni 2018 hingga Mei 2019, penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sipir mencapai sebanyak 8,11 persen, sedangkan oleh TNI sebanyak 7,10 persen (CNN, 2021).

Manajemen penjara berkontribusi pada terbentuknya budaya perlakuan terhadap narapidana tertentu (misalnya, kualitas layananan, intensitas penggunaan kekerasan, dan cara komunikasi antara tahanan dan sipir). Budaya penjara dibentuk dan dibangun atas dasar kesepakatan bersama demi keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan di dalam Lapas (Wooldredge, 2020: 173). Subkultur narapidana umumnya digambarkan sebagai sistem sosial informal yang memperkuat seperangkat nilai dan norma (kode narapidana) yang bertentangan dengan itu didukung oleh staf penjara dan administrasi. Menurut perspektif ini, narapidana dapat mempertahankan rasa harga diri dan otonomi mereka dengan menjadi terpenjara, yaitu dengan berasimilasi ke dalam subkultur narapidana. Kesepakatan ini melibatkan narapidana dan petugas, bekerja sama dalam unit-unit kerja maupun ruang tertentu, tetapi tidak semua narapidana atau petugas ikut serta dan terlibat (Goodstein, 1979, 248).

Dalam studi etnografi yang dilakukan oleh Simon (2014) terhadap Lapas di Indonesia, praktik pemerasan, ancaman, kekuasaan, kerjasama dan fasilitas, sering kali digunakan oleh narapidana untuk membereskan persoalan di Lapas, misalnya terkait pemenuhan kamar sel. Hal ini menunjukan munculnya subkultur narapidana dalam penjara yang ditandai dengan adanya sistem sosial informal yang bertentangan dengan regulasi administrasi penjara. Subkultur penjara inilah yang melanggengkan adanya stratifikasi narapidana (Runturambi, 2014: 96). Kasus kekerasan yang dialami Muhammad Kece di dalam Lapas merupakan contoh kecil dari gambaran subkultur narapidana.

Berbagai praktik pelanggaran HAM yang terjadi di dalam penjara kerap kali ditutupi sehingga beberapa kasus tidak pernah muncul ke publik. Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya menemukan masih tingginya maladministrasi tindak penyiksaan di Rutan dan Lapas ataupun tempat serupa tahanan dilakukan anggota Polri. Sulitnya untuk mengawasi kinerja Lapas mengakibatkan munculnya praktik pengabaian terhadap perbaikan fasilitas-fasilitas penunjang di penjara. Dalam kasus Lapas Tangerang sendiri ditemui sejumlah fakta bahwa instalasi listrik di lembaga pemasyarakatan tersebut belum pernah diperbaiki sejak 1972 (CNN, 2021).

Pengabaian yang dilakukan oleh negara terhadap keselamatan para narapidana merupakan bentuk state crime. Menurut Green dan Ward (2004), kejahatan negara terjadi ketika negara melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerusakan, kerugian, hilangnya kepercayaan dari warganya. Kelalaian negara juga dikaitkan dengan pengabaian terhadap kondisi tidak aman dan berbahaya ketika terdapat tanggung jawab untuk membuat situasi menjadi lebih aman (Faust & Kauzlarich, 2008: 87-88).

Meskipun kejadian kebakaran Lapas Tangerang memicu beberapa politikus, misalnya Mahfud MD yang berencana untuk membangun Lapas baru untuk mengatasi masalah overcrowding. Solusi tersebut menimbulkan beberapa permasalahan. Selain biaya operasional pembangunan Lapas baru terbilang mahal (diperkirakan menurut Kemenkumham membutuhkan dana sebesar Rp300 miliar) dan rawan korupsi, solusi tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan sesungguhnya (Kompas.com, 2021). Penambahan bangunan penjara tidak akan memecahkan masalah overcrowding. Selama sistem peradilan pidana masih menjunjung tinggi pemenjaraan sebagai solusi pencegahan kejahatan dan upaya menutupi praktik pelanggaran HAM terhadap narapidana masih dilanggengkan, berbagai fenomena katastrofe dalam lembaga pemasyarakat masih terus berlanjut di masa depan.

Penulis menganggap menyalahkan sepenuh insiden kebakaran Lapas Tangerang terhadap tiga petugas sipir yang dianggap lalai bukan langkah yang tepat. Perlu ada perbaikan struktural dalam sistem peradilan dan lembaga pemasyarakat di Indonesia. Kebakaran Lapas Tangerang merupakan bentuk puncak dari pelanggaran HAM yang terjadi di dalam penjara. Kemunculannya diawali dengan praktik pengabaian pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di penjara dan ketidakadilan hukum. Mengerdilkan permasalahan kebakaran Lapas Tangerang menjadi masalah teknis berakibat pada terlupakannya masalah utama, yaitu kelalaian negara dalam menjamin hak hidup tiap orang termasuk narapidana dalam penjara.

Teks: Fauzan Dewanda
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi

Jurnal

Braithwaite, J. (1996). Restorative justice and a better future. The Dalhousie Review.

Faust, K. L., & Kauzlarich, D. (2008). Hurricane Katrina victimization as a state crime of omission. Critical Criminology, 16(2), 85-103.

Goodstein, L. (1979). Inmate adjustment to prison and the transition to community life. Journal of research in crime and delinquency, 16(2), 246-272.

ICJR. (2018). Strategi Menangani Overcrowding di Indonesia: Penyebab, dampak, dan Penyelesaiannya. http://icjr.or.id/wp-content/uploads/2018/04/Overcrowding-Indonesia_Final.pdf. Akses tanggal 29 September 2021, pukul 13:55 WIB.

Runturambi, J. S. (2014). Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasyarakatan “X”. Antropologi Indonesia.

Wooldredge, J. (2020). Prison culture, management, and in-prison violence. Annual Review of Criminology, 3, 165-188.

Berita

Aditya, NR. (2021). Akui Overcapacity, Mahfud Rencanakan Pembangunan Lapas Baru Usai Kebakaran. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/08/17264051/akui-overcapacity-mahfud-rencanakan-pembangunan-lapas-baru-usai-kebakaran. Akses tanggal 29 September 2021, pukul 19:49 WIB.

BBC News Indonesia. (2021). Kebakaran Lapas Tangerang Dua Napi Meninggal di RS dalam Sehari, Korban Tewas Bertambah Menjadi 48 Orang.   https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58471610. Akses tanggal 29 September 2021, pukul 20:27 WIB.

Briantika, A. (2021). Kapolri: Proses Hukum UU ITE Utamakan Pendekatan Restoratif. https://tirto.id/kapolri-proses-hukum-uu-ite-utamakan-pendekatan-restoratif-gawC. Akses tanggal 29 September 2021, pukul 19:00 WIB.

CNN Indonesia. (2021). Napi Narkoba Diusulkan Direhabilitasi Cegah Penjara Penuh. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210728005636-12-673053/napi-narkoba-diusulkan-direhabilitasi-cegah-penjara-penuh. AKses tanggal 29 September 2021, pukul 14:00 WIB.

______________. (2021). Instalasi Listrik Lapas Tangerang Belum Diperbaiki Sejak 1972. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210908141324-20-691444/instalasi-listrik-lapas-tangerang-belum-diperbaiki-sejak-1972. Akses tanggal 29 September 2021, 20:00 WIB.

______________. (2019). Sipir Disebut Lebih Banyak Lakukan Kekerasan daripada TNI. /https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190626195657-12-406754/sipir-disebut-lebih-banyak-lakukan-kekerasan-daripada-tni. Akses tanggal 29 September 2021, pukul 12:46 WIB.