Keberlangsungan Aksi 21 April, Kondusif namun Eksklusif

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 April 2022
4 menit

Menjunjung emansipasi rakyat, mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan menyelenggarakan aksi bertajuk "Habis Rezim Gelap Terbitlah Terang" pada hari Kamis, (21/04/2022). Massa aksi berkumpul di Patung Kuda, Jakarta untuk menyuarakan tuntutannya kepada pemerintah.

Dengan semangat Hari Kartini, massa aksi membawa tujuh tuntutan dalam menjunjung emansipasi terhadap rakyat, yakni: (1) Tindak tegas para penjahat konstitusi dan tolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden; (2) Turunkan harga kebutuhan pokok dan atasi ketimpangan ekonomi; (3) Menindak tegas segala tindakan represif terhadap masyarakat sipil dengan mekanisme yang ketat dan tidak diskriminatif; (4) Wujudkan pendidikan ilmiah, gratis, dan demokratis; (5) sahkan RUU pro rakyat, tolak RUU pro oligarki; (6) Wujudkan reforma agraria sejati, dan; (7) Tuntaskan seluruh pelanggaran HAM.

Kronologi Jalannya Aksi

Aksi dibuka dengan long march pada pukul 13.00 yang awalnya direncanakan dimulai dari I.R.T.I Monas menuju ke Istana Presiden. Mereka menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini sepanjang perjalanan, mengingat aksi bertepatan pada Hari Kartini dan lagu tersebut yang melambangkan perjuangan perempuan Indonesia. Akan tetapi di tengah perjalanan, long march sempat terhenti sementara di depan Monas ketika polisi tidak mengizinkan massa untuk masuk ke arah Istana Negara.

Kericuhan turut mewarnai blokade aksi tersebut ketika seorang laki-laki berinisial SH ditarik polisi ke area monas dan dimasukkan ke mobil tahanan setelah diduga melakukan provokasi. Kejadian diduga bermula dari ekspresi penolakan laki-laki tersebut terhadap orasi mahasiswa di atas mobil komando. SH yang berada di belakang blokade polisi tersebut berkata kasar sebelum akhirnya ditarik polisi. Kejadian tersebut sejenak menimbulkan kerumunan yang saling dorong, tetapi kembali kondusif dengan cepat. Yel-yel "hati-hati provokasi" digaungkan oleh massa aksi sebagai respons atas kejadian tersebut.

Negosiasi antara kelompok mahasiswa dan aparat yang cukup alot akhirnya berbuah. Massa aksi diizinkan untuk melaju ke arah istana meskipun akhirnya terhenti di bawah JPO. Massa yang hendak menuju ke Istana Negara itu terhenti akibat blokade jalan dengan kawat berduri yang dipasang oleh polisi. Di hadapan blokade, massa aksi tetap berorasi hingga sore hari.

Menjelang sore hari, banyak masyarakat hadir di sekitaran massa aksi yang mayoritas memakai jas universitas atau almamater. Setelahnya, muncul massa aksi lain yang juga memakai almamater beserta banner saat rombongan aksi mahasiswa sebelumnya sudah terlebih dahulu berjalan pulang ke arah monas. Rombongan aksi yang tiba-tiba datang ini diduga memicu kericuhan dalam barisan yang dibuat oleh massa aksi mahasiswa sebelumnya.

Budaya Elit dalam Demonstrasi: ‘Sekat’ dan Eksklusifitas Gerakan Mahasiswa

Esensi aksi menjunjung “suara rakyat” menjadi sebuah pertanyaan besar publik ketika melihat kondisi di lapangan demonstasi. Sekat besar antara barisan massa aksi mahasiswa yang memakai jas almamater dan massa aksi yang tidak memakai almamater menjadi pemandangan yang dijumpai selama Aksi 21 April kemarin berlangsung. Batas-batas dalam barisan massa aksi hari itu diklaim merupakan tindak preventif dari penyelenggara aksi agar tidak ada penyusup dan provokator kericuhan yang mungkin dapat mengakibatkan aksi berjalan dengan tidak kondusif.

Kendati demikian, eksklusifitas tersebut justru dikritik sebagai sebuah praktik oligarki mahasiswa sebagai kelompok elit yang merasa menjadi satu-satunya kelompok yang berhak mengusung aksi dan menyuarakan tuntutan rakyat. Hal ini terlihat jelas saat orator di mobil komando terus menerus menyerukan agar massa mahasiswa mengeratkan pegangannya dan mewaspadai kelompok-kelompok atau individu yang tidak mengenakan almamater. Salah satu juru bicara dari Blok Politik Pelajar turut menyampaikan kritiknya perihal aksi yang hanya sedikit melibatkan kelompok masyarakat non-mahasiswa,

“Tanggal 11 diinisiasi oleh BEM SI Rakyat Bangkit dan hari ini diinisiasi oleh BEM SI Kerakyatan dan AMI (Aliansi Mahasiswa Indonesia), dalam aksinya masih cenderung tidak melibatkan masyarakat dan masih ada sekat serta ketakutan terhadap kelompok non mahasiswa, tetapi pada tanggal 11 April bisa dikatakan sekatnya tidak terlalu ketat ketimbang demo pada hari ini (red: Demo 21 April),” tegas Delpedro selaku juru bicara Blok Politik Pelajar.

Penangkapan SH, massa aksi yang tidak menggunakan jas almamater merupakan salah satu bukti nyata dari besarnya sekat yang diciptakan oleh penyelenggara aksi antara mahasiswa dan kalangan massa aksi yang bukan mahasiswa. SH dibekuk dan dituduh sebagai provokator dan penyusup setelah ia mengekspresikan kekecewaannya terhadap salah satu orasi yang terus menerus menegaskan jarak antara massa mahasiswa dan masyarakat, “... jangan sampai ada pihak-pihak di luar mahasiswa yang bisa masuk dalam barisan mahasiswa,” seru seorang orator dari atas mobil komando.

Dilansir dari instagram resmi Blok Politik Pelajar, @blokpolitikpelajar, SH bukanlah seorang provokator dan penyusup, ia adalah salah satu rekan dari Blok Politik Pelajar (BPP), yang juga BPP tergabung di dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia. Dengan demikian, kehadiran SH dalam aksi tersebut merupakan kapasitasnya sebagai massa aksi yang tergabung dalam BPP dan AMI.

“Salah satu teman dari Yogyakarta karena tidak menggunakan almamater dituduh sebagai provokator dan dilakukan tindakan represif oleh aparat. Namun, tidak ada massa aksi yang membantu menyelamatkan.” Ungkap Delpedro dari Blok Politik Pelajar.

Masalah mengenai ekslusifitas mahasiswa diangkat bukan kali ini saja. Problematika ini sejak dulu memang sudah sering menjadi diskursus kritik di kalangan aktivis. Tidak heran saat budaya elit ini terulang kembali, berbagai pihak menyayangkannya.

“Yang ingin saya sampaikan adalah aksi ini memang diinisiasi oleh mahasiswa, tetapi gerakan ini adalah gerakan pemuda. Masih banyak sekat-sekat antara masyarakat dan mahasiswa,” tambahnya.  

Dualisme BEM SI, Dua Gerakan untuk Aksi Senada

Tidak hanya antar massa aksi, ‘sekat’ juga hadir antar sesama kelompok gerakan mahasiswa itu sendiri. Dua gelombang aksi dengan tuntutan yang sama ini kembali membuat publik mempertanyakan dualisme gerakan mahasiswa tersebut. Kendati idealnya gerakan mahasiswa dibentuk dari konsensus bersama antar berbagai kampus di Indonesia untuk menyatukan visi dalam membela tuntutan rakyat.

Pada bulan April ini, gerakan mahasiswa secara nyata memperjelas gambaran akibat dari dualisme gerakan yang diprakarsai oleh dua unsur mahasiswa yang berbeda—BEM SI Kerakyatan dan Rakyat Bangkit—keduanya menggelar aksi di dua tanggal yang berbeda, yakni tanggal 11 April yang dipekikan oleh BEM SI Kerakyatan dan tangga 21 April oleh BEM SI Rakyat Bangkit dan AMI (Aliansi Mahasiswa Indonesia). Lantas, apakah dualisme gerakan ini mempengaruhi substansi dan resonansi dari gerakan mahasiswa itu sendiri?

Nyatanya dualisme BEM SI menjadikan gerakan yang seharusnya bertumpu pada konsolidasi berbagai unsur mahasiswa justru menghadirkan fokus dan eksekusi gerakan menjadi terbagi-bagi.

Untuk menanggapi persoalan dualisme tersebut, Delpedro Marhaen dari Blok Politik Pelajar menegaskan pentingnya konsolidasi gerakan pemuda untuk bersama-sama menegakkan keadilan, namun Ia pesimis gerakan mahasiswa dapat melebur kembali dalam satu komando.

“Kalau untuk menyatukan dan meleburkan gerakan bisa dikatakan mustahil, tidak apa terbagi-bagi yang paling penting gerakan harus terkonsolidasi dan satu visi. Persoalan metode aksi dan cara menyampaikan aspirasi tidak apabila memiliki perbedaan.” Ujarnya.

Teks : Kamila Meilina, M. Akhtar, Humairah Dila

Kontributor : Luthfi Sadra

Foto : Afrida Dwi

Editor : Dian Amalia

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!