Logo Suma

Kebijakan Kantong Plastik Berbayar, Berdampakkah?

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 April 2021
5 menit

Karyawan supermarket itu tampak kelelahan, ia baru saja rampung menghitung total harga barang belanjaan. Dari mulutnya keluar nada ramah-tapi-monoton yang menandai jenuhnya ia terhadap kalimat yang mesti ia lontarkan sekian ratus kali per harinya: “Bawa kantong belanja sendiri?”

Ilustrasi di atas adalah realitas sehari-hari yang kita alami sejak mulai diterapkannya kebijakan plastik berbayar terhitung mulai dari penghujung 2019. Kebijakan ini bukan muncul tanpa pro dan kontra, terlepas dari itu, seberapa efektif implementasi kebijakan tersebut?

***.

Hari Bumi, yang diperingati pada 22 April tiap tahunnya, diperingati untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Digagas oleh Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin, dirayakannya hari ini digadang-gadang dapat meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Terlepas dari perayaan tahunannya, bila kita renungkan, telah banyak upaya implementatif untuk meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat, salah satunya adalah kebijakan kantong plastik berbayar.

Kantong plastik menjadi salah satu ancaman untuk lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat terurai dan dicerna. Dilansir dari indonesia.go.id, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020, total produksi sampah nasional mencapai sekitar 67,8 juta ton sampah. Ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya yang dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018, produksi sampah nasional sudah mencapai 64 juta ton dari 267 penduduk. Adanya fenomena itu membuat pemerintah Indonesia akhirnya memberlakukan kebijakan penggantian penggunaan plastik menjadi tas yang dapat digunakan terus menerus, contohnya tote bag atau tas jinjing.

Kebijakan ini akhirnya dikeluarkan melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Kebijakan itu sebelumnya telah didorong oleh WALHI Jakarta (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) bersama lembaga jaringannya. Tuntutan ini disambut Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan komitmen akan mengeluarkan regulasi terkait larangan plastik sekali pakai pada awal 2019, tetapi nyatanya regulasi itu baru dikeluarkan pada akhir tahun 2019.

Berdasarkan survei yang dilakukan Indonesia National Plastic Action Partnership pada tahun 2017, hanya 10% dari 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya yang dapat didaur ulang di sekitar 1.300 pusat daur ulang di Indonesia. Sebagian besar sampah plastik yang tidak dapat diolah, dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir dan tak sedikit yang berakhir di lautan.

Intan Suci Nurhati, salah satu peneliti LIPI, melakukan survei tentang pentingnya memilah plastik di rumah tangga. Hampir 100% responden menjawab ‘“iya pada pertanyaan tersebut, tetapi nyatanya dalam praktik sehari-hari, hanya 50% responden yang benar-benar melakukan pemilahan sampah.

"Kami melihat ini ada perbedaan cukup tinggi antara kesadaran sama aksi nyata, kita sudah sangat sadar, tapi ketika berkaca ke diri sendiri apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mengurangi (sampah—red) plastik, ini masih banyak PR-nya," tambah Intan.

Kebijakan ini dapat menjadi salah satu cara untuk menyadarkan kembali masyarakat tentang penggunaan plastik. Masyarakat sekarang, khususnya anak muda, sudah mengalami perubahan tren gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan seperti membawa tas jinjing atau kantong belanja sendiri, membawa kotak bekal, hingga membawa botol minum dan sedotan sendiri. Selain itu, menurut data yang dihimpun WALHI, bila ditinjau dari segi kepemilikan, sebanyak 97,12% anak muda sudah memiliki KBRL (Kantong Belanja Ramah Lingkungan), dan hanya 8,64% anak muda yang tidak pernah membawa KBRL saat beraktivitas. Ini menandakan tingkat kesadaran dan inisiatif anak muda dalam membantu mengurangi penggunaan plastik sekali pakai sudah cukup tinggi.

Diberlakukannya kebijakan ini pun membantu mengurangi cost para pelaku usaha dalam menyiapkan kantong belanja sekali pakai. Dilansir dari Tirto.id, bagi para pelaku usaha yang mematuhi kebijakan ini, Pemprov DKI Jakarta akan memberikan insentif fiskal daerah, seperti pengurangan dan keringanan pajak. Sebaliknya, bagi yang tidak menjalankan kebijakan ini, akan diberikan sanksi teguran sebanyak tiga kali, denda berkisar 5 juta hingga 25 juta, bahkan pencabutan izin usaha.

Meskipun begitu, kebijakan ini kurang efektif dan tak lepas dari banyak kekurangan. Menurut WALHI, kebijakan ini belum sepenuhnya menyelesaikan permasalahan lingkungan terutama pencemaran sampah plastik, karena didalam kebijakan ini belum memuat tentang penggunaan sedotan dan styrofoam, padahal 2 jenis sampah ini paling banyak mencemari lingkungan, terutama sungai dan laut.

Selain itu, kebijakan pengurangan penggunaan kantong plastik ini dirasa belum efektif karena hanya menyasar pada pusat-pusat perbelanjaan, seperti minimarket dan swalayan. Padahal di sekitar kita, banyak sektor ekonomi yang belum mengindahkan kebijakan ini, seperti toko-toko kecil, warung, maupun online shop.

Wiega, mahasiswa Universitas Indonesia, ikut memberikan pandangannya tentang ketidakmerataan kebijakan ini, “Jadi, sebenarnya,  kalau hanya untuk mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dengan hanya menyasar ke pusat perbelanjaan aja sebenernya saya rasa nggak cukup sih karena penggunaan plastik kita tuh banyak banget di berbagai sektor lainnya,” ungkapnya.

Lalu, jika berbicara dari sisi sosial, kebijakan ini pun memberatkan pengusaha UMKM. Dilansir dari Tirto.id, Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, mengatakan pemerintah tidak menyediakan solusi untuk mengganti plastik sekali pakai, “Bagaimana cara mengganti plastik pada roti agar tampilannya tetap menarik? Bagaimana mengganti plastik untuk dagangan yang berkuah? Apabila tidak dapat dilakukan atau tidak ada solusi yang memadai, maka peraturan ini sebatas pepesan kosong,” tambahnya.

Menurut Alfiyyah, Deputi Sosling BEM FMIPA UI 2021, kebijakan ini seharusnya memikirkan kebiasaan masyarakat yang sangat bergantung dengan plastik, salah satunya adalah pemulung yang menganggap sampah plastik ini adalah mata pencaharian mereka. Jika ingin memperbaiki ini, tidak dapat sekadar memberikan kebijakan, tetapi harus ditelusuri sampai ke akar permasalahan dan dicari solusi dari berbagai faktor, seperti faktor pendidikan, ekonomi, dan sosialnya. “Mungkin pemerintah dapat melakukan sosialisasi dan menyediakan lapangan pekerjaan, juga pelatihan-pelatihan untuk para pemulung ini, agar mereka tetap mempunyai penghasilan,” ungkap Alfiyyah.

Toko-toko kelontong pun sebenarnya akan merasa cukup kesulitan jika menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, karena mereka berbeda pasar jika dibandingkan dengan swalayan. “Mereka kan nyari pembeli ya, nah kalau menyusahkan pembeli, pasti pembeli malas beli lagi di situ. Berbeda dengan minimarket atau supermarket gitu, mereka kan udah punya pasarnya sendiri, jadi kayak, ‘Kalo gua nggak nyediain kantong, lu bakal tetep beli dan balik lagi ke gua kok”. Jadi mereka nggak takut kehilangan pembeli gitu kan. Tapi kalo warung-warung kecil nerapin kebijakan kayak gitu, yang menyulitkan pembeli, kan mereka takut kehilangan pembeli,” tambah Alfiyyah.

Menyoal fenomena penggunaan kantong plastik yang rupanya masih terjadi pada toko kelontong, WALHI mengungkapkan beberapa solusi dalam upaya yang dapat dilakukan, seperti (1) Perlunya sosialisasi tentang bahaya plastik terlebih dahulu. Baik bahaya bagi lingkungan hidup dan bagi kesehatan juga; (2) Edukasi baik berupa penyuluhan ataupun pelatihan terkait pengelolaan sampah; (3) Penegakan peraturan terkait penggunaan kantong belanja sekali pakai.

Keberadaan sampah plastik tentunya sulit untuk dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Penumpukan sampah plastik tentunya dikarenakan oleh kurangnya kesadaran dan edukasi mengenai penanggulangan sampah plastik itu sendiri. Maka dari itu, perlu bagi setiap individu untuk sadar dan peduli dengan masa depan generasinya dalam upaya meminimalisasi keberadaan sampah plastik.

“Sebenarnya, mahasiswa sudah mulai aware dengan isu ini, kita sebagai BEM juga sering minta audiensi ke pemerintah terkait berbagai macam kebijakan. Itu juga termasuk salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membuat pemerintah lebih memperhatikan dan tegas tentang kebijakan dan sanksi yang mereka buat, mengingat ada produsen plastik yang hanya mementingkan profit pribadi, dan tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Walaupun kita sendiri bisa sadar, tetapi apakah orang lain (orang awam—red) bisa sadar?” pendapat Febby selaku, Deputi Sosling BEM FMIPA UI 2021.

“Menurut saya, kalau kita sudah memiliki sedikit awareness mending coba langsung paparkan di suatu tindakan, misalnya dengan mem-follow berbagai akun-akun di media sosial yang mendukung gaya hidup yang ramah lingkungan dan program pengurangan penggunaan kantong plastik, supaya awareness kita bisa jadi lebih kuat. Jadi memang harus start dari diri sendiri dulu. Dua, kalau menurut saya, isu lingkungan mengenai pengurangan penggunaan kantong plastik ini tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri, tapi memang harus kolektif. Mungkin bisa lewat komunitas atau lingkungan sekitar kita yang suportif tentang isu ini untuk meningkatkan awareness kita,” ungkap Wiega terkait pendapatnya mengenai aksi kecil yang dapat dilakukan oleh individu.

Teks: Malina Vrahma, Magdalena Natasya, Syifa Nadia
Kontributor: Faizah Diena
Foto: Tirto.id
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas